Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Dari Allan Pope sampai Kartosuwiryo

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBERANTASAN korupsi bukan hal asing bagi saya. Pada saat menjadi jaksa di Bandung, Jawa Barat, pada 1956-1957, saya sudah masuk dalam tim pemberantasan korupsi di bawah koordinasi Mayor Jenderal Roesli, Komandan Corps Polisi Militer Seluruh Indonesia. Ketika itu, dengan niat membentuk pemerintah yang bersih, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution melancarkan Ope­rasi Budhi.

Waktu itu kami menemukan banyak sekali penyimpangan, mulai pemberian kredit kepada teman sendiri yang dilakukan menteri-menteri Orde Lama sampai penyelundupan yang dibekingi aparat militer. Markas tim yang berada di Hotel Telaga Sari, Bandung, sampai penuh oleh menteri yang ditahan, antara lain Mr Ishak Tjokroadisurjo dan Dr Ong Eng Djie.

Ketika hal ini dilaporkan kepada Bung Karno, ia tampak kecewa. Sebab, banyak menteri yang ditangkap ber­asal dari Partai Nasional Indonesia atau partai kecil lainnya. Menteri dari lawan politik Partai Nasional Indonesia, yakni Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, tidak ada yang ditangkap. Bung Karno sempat bertanya: mana menteri dari Masyumi dan Partai So­sialis Indonesia?

Kemudian keluar perintah atasan kepada saya untuk menangkap Mohammad Natsir dan Sumitro Djojohadikusumo—keduanya pentolan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. ­Ketika saya tanyakan apa kesalahan mereka, jawaban atasan: tangkap saja, titik. Meski ragu, saya berangkat juga ke Jakarta untuk menangkap kedua tokoh itu.

Pertama saya pergi ke rumah Natsir di Jalan Jawa (sekarang Jalan Co­kroaminoto), Menteng, Jakarta Pusat. Di sana keluarganya menyatakan beliau masih berada di Sumatera Barat. Saya lega, karena berarti tidak harus menangkapnya. Kemudian saya pergi ke rumah Sumitro di Jalan Si­singamangaraja, Kebayoran Baru, ­Jakarta Selatan.

Mas Cum, demikian panggilan akrabnya, bukan orang asing bagi saya. Saya mengenal baik Ibu Mang, bibi Profesor Sumitro. Ketika meneruskan sekolah di Jakarta, pada 1950-an, saya menumpang di rumah Ibu Mang, dan beliau banyak membantu kesulitan ekonomi saya ketika itu.

Setiba di rumah Sumitro, saya katakan terus terang bahwa saya dipe­rintahkan untuk menangkapnya. Soe­mitro sempat bertanya, apa kesalahannya. Saya jelaskan sesuai dengan perintah: pokoknya tangkap, titik. Ia menyatakan tidak mau ditangkap. Saya menyarankan kepadanya untuk ”menghilang”. Mas Cum lalu pergi ke Anyer, Banten, dan selanjutnya menghilang ke luar negeri.

Tindakan membebaskan Sumitro saya lakukan dengan keyakinan dan kesadaran bahwa ia tidak bersalah. Saya juga pernah melepas Mochtar Kusumaatmadja pada saat ia dituduh anti-Manipol-USDEK pada 1961. Sebenarnya tuduhan itu diembuskan Partai Komunis Indonesia dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, karena mereka tidak menghendaki Mochtar diangkat menjadi Rektor Universitas Padjadjaran. Mereka sudah memiliki calon dari kalangan sendiri. Mochtar saya biarkan lari ke luar negeri, bahkan saya bantu agar istri dan anaknya bisa menyusul.

Selain memberantas korupsi, tugas lain yang berkesan adalah ketika menjadi jaksa kasus Allan Pope, penerbang Amerika yang membantu pemberontakan PRRI-Permesta. Bersama Letnan Sukardi, yang kelak menjadi Kepala Staf Angkatan Udara, saya terbang ke daerah-daerah yang pernah dibom pemberontak, seperti Kendari, Manado, Balikpapan, Gorontalo, Ambon, dan Halmahera. Pada saat itu wilayah tersebut sebenarnya masih dikuasai Angkatan Udara Permesta, tapi alhamdulillah tidak terjadi sesuatu.

Dalam pemeriksaan saya ketahui, tembakan pertama ke pesawat Pope datang dari darat, yakni di sekitar wilayah Ambon, tapi tembakan penentu yang me­ngenai ekor pesawat dilakukan Mustang TNI-Angkatan Udara yang dikemudikan Komodor Dewanto. Pesawatnya terbakar, dan ia terpaksa meloncat keluar, alias bailout. Kakinya tersabet ekor ketika melompat dan di­sambung dengan paku oleh dokter militer Indonesia—improvisasi medis yang sangat dikagumi Pope. Pilot asal Amerika yang ganteng itu akhirnya divonis 20 tahun penjara.

Karena pertemuan yang intens, saya menjalin pertemanan dengan Pope. Se­telah ia dihukum, saya sempat mengunjunginya di penjara di Yogya. Ia menyatakan bahwa ia akan dibebaskan berkat negosiasi pemerintah Amerika dengan Republik Indonesia, yakni ia akan ditukar dengan ratusan senjata untuk 20 batalion Tentara Nasional Indonesia dan enam pesawat angkut Hercules. Istrinya juga datang untuk ikut membujuk Presiden Soekarno. Nyatanya, ia memang dibebaskan dan kembali ke Amerika. Beberapa waktu kemudian, dalam salah satu suratnya, ia menyatakan sudah bercerai dengan istrinya dan menjadi pendeta. Selanjutnya, surat-menyurat di antara kami terhenti. Mungkin ia sudah tiada.

Kasus high profile lain yang saya ta­ngani adalah pembunuhan tokoh nasional Otto Iskandardinata. Kabar pem­bunuhannya sudah lama saya dengar ketika masih menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia pada saat aksi Bandung Lautan Api, 1946. Ketika itu go­sip menyebut dialah yang menyerahkan Bandung kepada Belanda sehingga ditangkap laskar, dibawa ke Mauk, Ban­ten, dan dibunuh di sana. Tapi sampai sekarang tak jelas di mana Otto dikuburkan.

Tidak disangka, ketika menjadi jaksa, pada 1959, saya menyidangkan perkaranya. Dari pemeriksaan terungkap, Otto diculik di Bandung serta dibawa ke Mauk, dan akhirnya dibunuh di sana oleh anggota polisi bernama Mujitaba. Pelaku mengaku membunuh Otto karena mendapat perintah dari orang yang tidak terungkap keberadaannya. Dalam persidangan yang berlangsung di Jakarta, Mujitaba akhirnya divonis 15 tahun penjara.

Ketika menjadi jaksa tinggi di Bandung, saya sering diajak Panglima Divisi Siliwangi, Pak Ibrahim Adjie, ikut terjun mengikuti operasi melawan kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Ketika itu, kepala stafnya adalah Ishak Djuarsa, yang menggantikan H R. Dharsono. Menurut berita, Ishak adalah penggagas strategi ”pagar betis” untuk mengepung DI/TII. Keduanya adalah kawan saya di masa revolusi kemerdekaan. Saya pernah menginap di markas wilayah operasi yang batalionnya dipimpin oleh Mayor Herman Sarens Sudiro.

Pada waktu pasukan Siliwangi berhasil menangkap Kartosuwiryo, Pak Adjie mengajak saya menemuinya. Penampilannya sangat jauh dari gambaran saya tentang pemimpin Darul Islam yang garang. Waktu saya datang, Kartosuwiryo sedang tidur, sedangkan istrinya duduk termenung di sampingnya. Ia tampak sangat tua, rambutnya putih dan hampir gundul. Badannya kurus kering. Pengikut-pengikutnya juga kurus kering dan kumal. Telapak kaki mereka saya lihat tebal dan tertusuk duri, karena keluar-masuk hutan.

Belakangan, ketika Ishak Djuarsa dan H R. Dharsono disisihkan pemerintah Orde Baru, saya dan teman-teman bekas Batalion 2, Resimen VIII, Divisi Siliwangi di masa revolusi tetap menjaga silaturahmi dengan mereka. Dipimpin Peste Marpaung, kami bahkan pernah mengunjungi Mas Ton (H R. Dharsono) saat ia dipenjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus