Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Si Komo Menghitung Hari

Pulau Padar menjadi saksi kepunahan komodo. Kini, dua pulau kecil lainnya—Gili Motang dan Nusa Kode—mengikuti jejak yang sama. Ada rencana mendatangkan komodo dari kebun binatang.

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penumpang kapal motor yang melintasi perairan Pulau Rinca, Nusa Teng­gara Timur, takjub. Selama sepuluh menit, mereka menyaksikan pa­norama tak biasa: komodo menyelam di laut. Komodo yang bermain-main itu kemudian kembali ke rumahnya di Pulau Nusa Kode, pulau kecil di sebelah selatan Rinca.

Jeri Imansyah menceritakan kejadian setahun lalu itu. Jeri bersama tim dari Zoological Society of San Diego, Amerika Serikat, saat itu meneliti komodo di Nusa Kode. Ia menyaksikan betapa mudahnya menemukan komodo di dua pulau tersebut. Kini? Tim yang sama datang. Tapi mereka menyaksikan panorama berbeda. Alih-alih menonton akrobat si Komo—begitu sebuah lagu anak memberi julukan binatang ini—di laut.

Tim peneliti menemukan ­indikasi terancam punahnya komodo di Pulau Nusa Kode dan Pulau Gili Motang. Di Nusa Kode, jumlah biawak raksasa ini tinggal 75 ekor. Di Gili Motang, jumlah yang tersisa masih lebih banyak, 115 ekor. ”Ambang batas teoretis dalam menentukan gejala kepunahan biasanya di bawah 100 individu dalam suatu populasi,” kata Jeri kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Biawak komodo (Varanus komodoensis) merupakan hewan langka. Maklum, di seluruh dunia, hewan ini hanya ada di lima pulau Indonesia, yaitu Komodo, Rinca, Gili Motang, Nusa Kode, dan Flores. Empat pulau pertama merupakan bagian dari Taman Nasional Komodo. Di Pulau Rinca kini ada 615 individu dan di Pulau Komodo ada 628 individu. Sementara itu, di Pulau Flores, hewan ini ditemukan di cagar alam Wae Wuul (pantai barat) dan Wolo Tado (pantai utara).

Sayangnya, dalam se­puluh tahun terakhir, komodo tak ditemukan­ lagi di Flores bagian timur laut. Fakta ini terungkap dari penelitian gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur dan Zoological Society of London. ”Kami tak menemukan bukti kehadiran komodo di sepuluh lokasi tempat diletakkan perangkap-pe­rangkap selama masa survei,” kata Jeri, yang juga ikut dalam penelitian ini.

Tak hanya itu, survei menemukan indikasi penurunan populasi komodo di pantai utara dan barat Flores. Lokasi penelitian hewan yang disebut juga sebagai naga komodo ini adalah di Kota Baru dan Detusoko. Mereka menduga di lokasi ini populasi komodo sepuluh kali lebih rendah ketimbang di Taman Nasional Komodo.

Raibnya komodo yang mampu berenang sejauh 300 meter juga terjadi di Pulau Padar. Pulau ini terletak di antara Pulau Komodo dan Pulau Rinca. ”Punah total, tak ada lagi kotoran komodo yang ditemukan di pulau ini,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Balai Taman Nasional Komodo Ramang Isaka. Padahal, sebelum 2000, populasi hewan ini di Pulau Padar masih banyak. Dia tidak mengetahui apa penyebab punahnya binatang langka ini. Balai Taman Nasional Komodo masih mencari penyebab merosotnya jumlah biawak raksasa ini.

Zoological Society of San Diego dan Zoological Society of London menemukan sejumlah petunjuk yang menarik. Pertama, kehidupan satwa komodo ditentukan oleh keberadaan mangsanya. Rusa merupakan makanan utama komodo dewasa. Sejumlah ahli menyimpulkan, untuk mempertahankan hidupnya, seekor komodo dewasa memerlukan minimal satu rusa dewasa setiap tahun.

Kedua, komodo dewasa yang panjangnya mencapai 3 meter merupakan­ satwa pemakan sesama. Karena itu, anak-anak komodo yang ukurannya di bawah 1,5 meter menyelamatkan diri dengan cara memanjat pohon. Di atas dahan ini, mereka memakan cecak, tokek, telur burung, dan serangga.

Ketiga, hewan langka ini membutuhkan naungan pepohonan. Maklum, komodo tak kuat terus-menerus tinggal di tempat terbuka yang panas. Di Pulau Komodo, Rinca, Gili Motang, dan Nusa Kode, hewan ini hidup di lembah-lembah yang relatif sejuk dan memiliki sumber air. Mereka tak bermigrasi melewati punggung bukit dan tempat terbuka yang panas. ”Sekitar 80 persen dari waktunya tinggal di hutan,” ujar Jeri, lulusan Jurusan Biologi Universitas Udayana. Pada pagi hari, hewan ini biasanya berjemur.

Di Pulau Komodo, hewan ini tinggal di kawasan timur yang banyak ditumbuhi pepohonan. Di Loh Liang dan Kampung Komodo, misalnya, binatang langka ini sering mendekati permukim­an warga dan kantor perwakilan PT Putri Naga Komodo. Tempo, yang pernah berkunjung ke Loh Liang, menyaksikan sejumlah komodo berada di sekitar kantor milik perusahaan yang me­ngelola kawasan taman nasional. Pada bagian belakang bangunan, wisatawan dapat menyaksikan komodo mencabik-cabik kambing mati yang sengaja digantung di pepohonan.

Ramang Isaka mengakui rusa dan babi hutan hilang dari Pulau Padar. Dia ingat, antara 1980 dan 1990-an, banyak pemburu rusa masuk ke pulau ini. ”Mereka juga membakar hutan,” katanya. Akibatnya, pepohonan tempat anak-anak komodo berlindung dan berteduh musnah. Tak hanya itu, sejumlah komodo ikut terbakar akibat ulah nakal pemburu dari Nusa Tenggara Barat.

Jeri khawatir bencana serupa di Pulau Padar bakal terjadi di Gili Motang dan Nusa Kode. Maklum, dua pulau ini terisolasi dan jarang dikunjungi petugas Balai Taman Nasional Komodo. Dalih yang diajukan adalah tiada­nya dana operasional. Dia pernah menyaksikan sejumlah nelayan mendarat di pulau tersebut dan menebang pohon untuk membakar hasil tangkapan mereka. Selain itu, sumber air terbatas.

Dari penelitiannya, Jeri melihat bah­wa komodo di kedua pulau ini menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Karena jumlah rusa sangat sedikit, hewan buas ini lantas memakan tikus atau tokek. Alhasil, kata dia, bentuk fisik hewan langka ini lebih kecil ketimbang di Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Rata-rata panjangnya cuma 2,2 meter pada saat dewasa.

Menurut Widodo Ramono, Gili Motang dan Nusa Kode terhitung rawan huni bagi komodo. ”Makin kecil pulau, makin besar ancamannya bagi komodo,” kata Widodo, yang menjabat Direktur Kebijakan The Nature Conservancy. Gili Motang memiliki luas 10,3 kilometer persegi dan Nusa Kode seluas 9,3 kilometer persegi. Bandingkan dengan Pulau Komodo yang luasnya 393,4 kilometer persegi dan Pulau Rinca yang 278 kilometer persegi.

Untuk mengerem laju penurunan populasi biawak raksasa, banyak pihak berharap pada Balai Taman Nasional Komodo. Tim peneliti Zoological So­ciety of London mengusulkan agar pemerintah daerah menghentikan perburuan rusa oleh warga. Tak hanya itu, petugas juga diminta melarang pembakaran padang savana, ladang berpindah di pantai barat Flores. Kasus ini sering terjadi di Nisar hingga Cagar Alam Wae Wuul dan pantai utara dari Pota hingga Riung. Mereka juga meminta Balai Taman Nasional Komodo meningkatkan frekuensi pemantauan ke Gili Motang dan Nusa Kode.

Ramang Isaka menjelaskan pihaknya akan melakukan survei di Pulau Padar pekan depan. Langkah itu dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab musnahnya komodo dan mengumpulkan data tentang jenis-jenis makanan yang masih tersisa. Memang tahun lalu, pernah ada gagasan memasukkan komodo dari luar ke Pulau Padar. Ketika itu, pengelola kebun binatang di dalam dan luar negeri mengaku kelebihan komodo yang menjadi koleksinya. Setelah didata, ada 80 komodo yang siap diserahkan pengelola kebun binatang.

Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam lantas meminta saran ke Zoological Society of San Diego. Para pakar di lembaga ini menyarankan agar pemerintah Indonesia lebih berhati-hati. Mereka menjelaskan keturunan komodo di kebun binatang tak baik lagi karena sudah terjadi perkawinan keluarga, antara anak dan ibu.

Widodo juga menyarankan hal yang sama. Apalagi pepohonan di Pulau Padar habis terbakar. ”Kita harus memikirkan kelanjutannya setelah komodo dewasa didatangkan ke pulau itu,” ujarnya. Menurut Widodo, langkah yang perlu dilakukan saat ini adalah menjadikan Balai Taman Nasional Komodo mandiri dari segi keuangan agar mereka bisa menata taman nasional dengan lebih baik.

Untung Widyanto, Jems de Fortuna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus