Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

<font color=#FF3300>Daoed Joesoef</font> Kontroversi Sang Menteri

Dia ekonom dan seniman. Dia doktor alumnus Sorbonne, Prancis, yang ”tersesat” menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan—yang berani mengambil kebijakan kontroversial pada masa itu: mengubah awal tahun ajaran baru, menghapus libur sekolah pada bulan puasa, melarang aktivitas politik mahasiswa di kampus melalui Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).

Pemikiran-pemikiran Daoed Joesoef—kini jalan 84 tahun—tergolong nyeleneh pada zamannya. Dia pernah melontarkan gagasan menghapus pendidikan agama di sekolah. Juga, menentang surat keputusan bersama tiga menteri tentang pendirian rumah ibadah. Pekan lalu, Daoed berbicara panjang tentang hidupnya, pemikirannya, dan banyak hal lain kepada Nunuy Nurhayati dan Yophiandi dari Tempo. Ini sebagian petikannya.

1 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

22 Maret 1978. Hari itu pukul 14.50 saya menerima telepon dari ajudan Presiden Soeharto. Dia mengatakan Pak Harto meminta saya datang ke rumah di Jalan Cendana pukul 19.00. Waktu itu saya sedang bekerja di kantor Center for Strategic and International Studies. Teman-teman sekantor gembira ketika saya beri tahukan kabar itu. Mereka mengatakan saya pasti dicalonkan menjadi menteri. Saya buru-buru pulang ke rumah dan menceritakan kabar itu kepada istri saya, Sri Soelastri. Dia hanya berpesan: jangan masuk ke departemen dengan kepala kosong.

Pukul 18.45 saya tiba di Jalan Cendana. Setelah saya menunggu beberapa menit, Presiden Soeharto menerima saya di ruang kerjanya. Ternyata Soeharto meminta saya membantunya di bidang pendidikan, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Tatkala saya hendak membeberkan konsep pendidikan saya, Soeharto dengan cepat berkata, ”Saya sudah tahu.”

Sampai saat ini peristiwa tersebut masih menyisakan misteri bagi saya. Siapa yang memberi tahu Soeharto? Sebelumnya saya tidak pernah bertemu muka dengan beliau. Saya tak tahu apa pertimbangan dia memilih saya. Ingatan saya melayang ke peristiwa beberapa tahun sebelumnya. Waktu itu saya baru saja tiba di Tanah Air setelah delapan setengah tahun menempuh pendidikan doktoral di bidang ekonomi di Universite Pluridisciplinaires de Paris I-Pantheon-Sorbonne, Paris, Prancis.

Tiba-tiba saya mendapat undangan dari bekas wakil presiden Mohammad Hatta untuk datang ke rumahnya di Jalan Diponegoro. Undangan tersebut bagi saya amat membanggakan, karena saya sangat mengagumi beliau. Saya tiba di sana dengan segudang konsep pembangunan ekonomi di kepala saya sesuai dengan pikiran Bung Hatta. Ternyata di ruang tamu sudah menunggu Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Bertiga kami berbincang-bincang. Dugaan saya bahwa kami akan berdiskusi masalah ekonomi ternyata meleset. Saya malah dicecar pertanyaan tentang konsep pendidikan. Dengan senang hati saya menjelaskannya. Soalnya, sejak kuliah di Sorbonne saya sudah menyiapkannya. Kami mengobrol sampai tengah malam. Menurut sekretarisnya, Bung Hatta belum pernah menerima tamu selama itu.

Saya sempat bertemu Bung Hatta di Paris pada 1970. Pada saat itu dia tengah berobat ke Belanda. Sebelum pulang, dia melawat ke Prancis untuk bernostalgia. Pada zaman mahasiswanya dulu, di sela-sela konferensi Liga Anti-Imperialis, Hatta pernah berkumpul dengan sejumlah tokoh pemuda dari negeri jajahan lain seperti Ho Chi Minh dari Vietnam, Nehru dari India, dan Chou En Lai dari RRC di sebuah restoran kecil di pinggiran Kota Paris.

Di restoran itulah saya, Hatta, dan kemenakan Sjahrir, Akbar Djoehana, makan siang sekaligus berbincang-bincang seputar perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Apakah Hatta yang merekomendasikan saya kepada Soeharto? Saya tidak tahu. Bagaimanapun saya merasa bahagia diberi kesempatan oleh Tuhan untuk ikut mewarnai sejarah Indonesia. Kesempatan itu saya gunakan sesuai dengan kesadaran dan pengetahuan saya.

Saya telah melewati tiga zaman. Dilahirkan di Medan, 8 Agustus 1926, sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Moehammad Joesoef dan Djasiah, saya sempat mencicipi pendidikan Belanda, Jepang, serta pendidikan semasa kemerdekaan. Saya pernah menimba ilmu di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pada masa kolonial Belanda—Red.), Akademi militer di Medan, SMA di Yogyakarta, dan perguruan tinggi di Akademi Nasional dan Universitas Indonesia sebelum terbang ke Sorbonne.

Saya memilih Sorbonne karena nama itu sudah saya kenal sejak masa sekolah dasar. Saya juga ingin belajar kebudayaan. Nah, kalau kita bicara tentang kebudayaan dunia, kita harus pergi ke Prancis. Dan kalau membicarakan kebudayaan Prancis, kita harus ke Paris. Lalu, jika ingin belajar tentang kebudayaan di Paris, kita harus pergi ke Sorbonne. Tujuan pendidikan di Sorbonne bukan cuma menghasilkan man of science melainkan juga man of culture. Dan, pendidikan bagian dari kebudayaan. Maka saya tidak setuju kebudayaan dipisahkan dari pendidikan.

Di Sorbonne, saya membuat konsep pembangunan tanpa diminta. Yakni, konsep pembangunan nasional berdasarkan ekonomi, konsep pembangunan pertahanan, dan pembangunan pendidikan nasional. Rupanya di Tanah Air saya mendapat kesempatan membenahi pembangunan pendidikan. Bagi saya konsep pendidikan amatlah fundamental karena menentukan masa depan kita. Ibaratnya, kalau kita tahu akan tinggal di satu rumah, kita harus menyiapkan rumah itu senyaman mungkin agar kita betah tinggal di sana. Jadi harus ada pembaharuan.

Konsep itulah yang saya bawa ketika masuk ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk memasyarakatkan konsep tersebut, saya membentuk Komisi Pemba ruan Pendidikan Nasional, yang diketuai Profesor Slamet Imam Santoso dan wakilnya, Profesor Soemitro. Semua anggotanya dari luar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Salah satunya Profesor Andi Hakim Nasution. Rencananya, bila tim ini sudah selesai membuat konsep, minimal dua, saya tawarkan ke masyarakat untuk didiskusikan. Terserah masyarakat mau pilih mana. Kalau sudah cocok, kami rumuskan dan dibawa ke DPR.

Ternyata pekerjaan menyusun konsep tidak gampang. Kami baru selesai pada tahun keempat. Padahal, saya tahu, saya tak akan lama menjadi Menteri Pendidikan karena sering bertengkar dengan Pak Harto. Bukan menyangkut masalah pendidikan tapi persoalan agama dan ekonomi. Itu membikin jengkel Pak Harto. Untuk bidang pendidikan, dia amat memberikan dukungan.

Saya ingat, pada tahun kedua saya menjabat menteri, Soeharto memberikan anggaran pendidikan Rp 1,3 triliun. Suatu jumlah yang amat besar. Departemen lain mendapat jatah paling tinggi setengahnya. Malamnya, saya berkunjung ke Cendana untuk mengucapkan terima kasih, tapi dengan jujur saya bilang anggaran itu masih kurang. Soeharto menjawab, anggaran akan ditambah bila pembangunan sudah lancar. Saat itu saya mengatakan, pembangunan di Indonesia tidak lancar, mirip tumpukan kartu yang gampang rontok.

Soeharto kaget. Dia lalu mengatakan, ”Doktor Daoed sebaiknya berkonsentrasi saja pada pembangunan pendidikan, soal ekonomi sudah diurus oleh menteri-menteri teknokrat yang kapabel.” Saya bilang, sebagai menteri saya merasa bertanggung jawab karena berada dalam satu perahu. Dan saya sampaikan, kalau mengurus masalah ekonomi saya juga tahu. Para teknokrat itu doktornya cuma satu, saya punya dua doktor di bidang ekonomi. Ternyata belakangan gara-gara itu saya dianggap tidak njawani, sombong. Yah, mau bagaimana? Saya orang Sumatera dan saya tak mau berbohong. Kalau saya punya dua doktor, masa saya bilang satu.

Sambil menunggu konsep baru, saya lantas melakukan sejumlah pembenahan. Saya mulai di perguruan tinggi dengan menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Pada saat itu kampus tidak normal, dianggap sebagai ajang politik oleh mahasiswa. Tanpa sadar, mahasiswa dimanfaatkan politikus pengecut yang tak berani beradu langsung dengan Soeharto. Mereka lantas mengipasi mahasiswa untuk melawan Soeharto. Setelah itu, mahasiswa dijadikan pahlawan. Mahasiswa lupa, memang tak semua dari mereka harus jadi ilmuwan, tapi seharusnya mereka tahu apa itu ilmu pengetahuan.

Sampai saya menjadi menteri, ilmu pengetahuan hanya dilihat sebagai produk. Mahasiswa diajari ilmu yang sudah jadi, tinggal mengunyah-ngunyah. Padahal yang seharusnya diajarkan adalah ilmu sebagai proses. Dosen mesti membimbing mahasiswa melakukan penelitian. Untuk bisa meneliti, lingkungan kampus perlu tenang.

Saya tidak melarang mahasiswa berpolitik. Tapi itu sebaiknya dilakukan di luar kampus dengan menggunakan bendera organisasi mahasiswa, seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Mahasiswa Nasionalis, Mahasiswa Katolik. Yang bisa dilakukan di kampus adalah politik dalam arti konsep, bukan aksi. Konsep dalam pengertian belajar secara benar apa itu ilmu politik. Jangan melakukan aksi politik sebelum punya konsep jelas. Hatta dan Sjahrir sebelum berpolitik sudah punya konsep. Politik juga ada ilmunya. Tapi yang terjadi kemudian mahasiswa ribut, saya dianggap mengekang kebebasan.

Hal lain yang saya benahi adalah tahun ajaran. Ketika saya kembali ke Tanah Air, saya heran mengapa tahun ajaran seperti pembukuan perusahaan, dari Januari sampai Desember. Ini merugikan pelajar yang hendak melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Sebab, di luar negeri tahun ajaran baru dimulai sekitar Juli-Agustus. Karena itu, awal tahun ajaran baru saya geser ke bulan Juni.

Saya kerap mendapat tentangan dari kelompok Islam. Misalnya sewaktu saya minta pada bulan puasa murid sekolah tetap masuk. Protes muncul pula ketika saya mengusulkan pelajaran agama tidak diberikan di sekolah. Anak-anak bisa belajar mengaji di surau, gurunya didatangkan dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atas biaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Aturan surat keputusan bersama tiga menteri tentang pembuatan rumah ibadah juga membuat saya berseteru dengan Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara. Saya bahkan sempat adu mulut dengan Alamsjah di rapat kabinet. Waktu itu saya katakan kepada Presiden Soeharto, mengapa harus ada izin dari orang sekitar bila orang akan menyembah Tuhan. Kenapa hal itu tak berlaku dalam pembangunan masjid atau surau? Soal liburan Natal yang tak sepanjang libur Syawal juga jadi sumber konflik saya dan Alamsjah.

Saya juga berkonflik dengan Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud. Dulu Undang-Undang Otonomi sudah ada, termasuk di bidang pendidikan. Sekolah dasar secara administratif ada di bawah Departemen Dalam Negeri tapi anggarannya tetap dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Memang idenya bagus, yakni agar dekat dengan rakyat. Tapi pelaksanaannya sering tidak benar. Misalnya soal gaji guru. Pada saat saya jadi menteri, gaji guru sudah saya serahkan ke Departemen Dalam Negeri dua bulan sebelumnya untuk mencegah keterlambatan. Ternyata anggaran yang saya titipkan digunakan untuk hal lain.

Sampai sekarang saya tetap ingin belajar, karena bagi saya kewajiban ilmu secara eksplisit harus bisa meramalkan apa yang akan terjadi. Berdasarkan nalar, artinya bisa diuji oleh orang lain dengan hasil yang sama. Manusia tak pernah tidak memanfaatkan kekuatan: kekuatan Tuhan, kekuatan militer, dan kekuatan produktif. Saya waktu itu berpendapat untuk bisa maju pada zaman modern, kita harus membangun kekuatan nalar (the power of reason) sebagai kekuatan keempat, yaitu pengetahuan. Pengetahuan ini melahirkan anak, yaitu teknologi: kalau pengetahuan bobrok, teknologinya juga cacat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus