Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA akhir Oktober 1964, impian saya sejak remaja untuk menuntut ilmu di Sorbonne, Paris, menjadi kenyataan. Saya pergi ke kota di Eropa Barat itu ditemani istri saya, Sri Soelastri, dan putri tunggal saya, Sri Sulaksmi Damayanti, yang masih berumur satu tahun dua bulan. Saya mendapat kesempatan belajar ekonomi di Universite Pluridisiplinaire de Paris I, Pantheon-Sorbonne, dengan beasiswa Ford Foundation dan persetujuan pemerintah.
Di Sorbonne, saya mengambil dua program doktoral: satu untuk ilmu hubungan internasional dan keuangan internasional, satu lagi doktor untuk ilmu ekonomi. Kepergian saya ke Paris agak terlambat beberapa bulan karena dihalangi oleh pimpinan fakultas ekonomi tempat saya menimba ilmu sebelumnya. Dia lebih setuju saya meraih gelar doktor di Amerika Serikat, seperti Berkeley atau kampus lain di sana, bukan di Prancis.
Di Prancis, saya aktif dalam organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Saya menjadi Ketua PPI Prancis. Saya mengajak teman-teman untuk rutin setiap tahun menggelar seminar ilmiah secara berkala dan bergiliran di semua negara yang memiliki PPI. Eropa itu gudang ilmu, jadi jangan pulang hanya berbekal titel, tapi membawa segudang ilmu. Kegiatan itu akhirnya terwujud. Seminar tidak menghasilkan kesimpulan yang merupakan kesepakatan bersama, apalagi resolusi. Tujuan konferensi ini adalah berbagi pengetahuan.
Pada 1967, kami menggelar seminar ilmiah untuk kedua kalinya. Seminar yang diadakan di Belanda itu mengusung topik ”Pertahanan dan Keamanan Indonesia”. Saya sebelumnya menceritakan ide itu kepada atase militer RI di Paris, Kolonel Supartono, supaya tidak dianggap ”melangkahi”. Tapi rupanya reaksi sang Kolonel tidak ramah. Dengan angkuhnya dia menyatakan kok berani-beraninya saya mengajak para mahasiswa membahas masalah pertahanan. Tanpa gentar saya katakan kepadanya, tema pertahanan dan keamanan itu bukan bahan kajian yang hanya diperuntukkan bagi para dewa.
Saya merasa perlu mendiskusikan masalah ini karena peperangan di masa depan pasti bersifat menyeluruh. Setiap warga negara, entah sipil entah militer, punya peluang sama untuk mati. Jadi, setiap warga negara berhak membahas cara hidup-mati tersebut. Saya juga menjelaskan kepadanya bahwa dia dan semua atase militer yang bertugas di Eropa tidak perlu khawatir saya dan teman-teman mahasiswa PPI Eropa Barat akan mencampuri perang mereka.
Rencana seminar itu rupanya sampai ke Tanah Air. Mungkin karena beritanya dipelintir, terkesan ada perpecahan di kalangan mahasiswa di Eropa dan saya dianggap sebagai biang keladinya. Ali Moertopo, yang waktu itu menjabat asisten pribadi Presiden Soeharto, muncul di Paris. Dia sedang dalam perjalanan pulang dari misinya ke beberapa negara dan singgah di ibu kota Prancis itu. Saya diajak Sofjan Wanandi berkenalan dengannya. Kami terangkan sejelas-jelasnya apa yang sebetulnya terjadi. Kami tidak pernah punya niat memberontak. Kami tidak memegang senjata, tapi konsep pertahanan dan keamanan. Untunglah dia mengerti dan justru mendukung rencana tersebut. ”Lo, itu kan apik,” katanya waktu itu.
Dari diskusi dengan Ali Moertopo, muncullah ide melembagakan kelompok diskusi tersebut, semacam think tank. Kebetulan di Jakarta ada kelompok cendekiawan muda yang berpikiran sama. Mereka biasa menerima makalah konferensi ilmiah yang memang kami kirim ke Indonesia.
Pada akhir 1971, dibentuklah Center for Strategic and International Studies (CSIS) oleh para intelektual yang dulu turut mendukung konferensi ilmiah di kalangan anggota PPI se-Eropa Barat dan para cendekiawan muda di Jakarta, seperti Jusuf Wanandi, Sofjan Wanandi, Djisman Simandjuntak, dan Hadi Susastro. Ketika saya pulang ke Tanah Air dua tahun kemudian, mereka meminta saya menjadi Ketua Dewan Direktur CSIS. Kebetulan saya memang tidak berminat kembali ke almamater saya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Lagi pula jurusan saya, ekonomi pemerintahan (public economic administration), sudah ditutup. Saya tidak tahu kapan, tapi kami memang dimusuhi karena dianggap penganut ekonomi liberal.
Saya terima ajakan mereka setelah berkonsultasi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarif Thayeb. Ternyata Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, Wakil Ketua Bakin, turut aktif mensponsori pendirian CSIS. Berbeda dengan Ali, saya mengenal Soedjono secara pribadi setelah tiba di Tanah Air. Saya diperkenalkan oleh Sofjan Wanandi. Saya diajak ke rumahnya di daerah Jatinegara. Keduanya lantas kami angkat sebagai ”ketua kehormatan” dalam jajaran kepemimpinan CSIS. Saya pikir para peneliti dan analis sipil di lembaga pengkajian ini dalam kerjanya sehari-hari memerlukan mitra kerja militer yang berpandangan tak picik.
Pilihan kami ternyata memang tak salah. Baik Ali maupun Soedjono ternyata memang orang yang gemar belajar. Terutama Ali Moertopo. Dia sangat agresif mengajukan pertanyaan dan mengajak berdebat, bahkan sampai kami tidak punya waktu untuk bekerja. Saya masih ingat, setiap kali ajudannya menelepon untuk memberitahukan bahwa dia mau datang ke kantor di Tanah Abang III, saya sengaja mengunci kamar kerja dan mematikan lampu. Saya tahu banyak teman yang juga bersembunyi di perpustakaan untuk mengelak dari ”gangguan” Pak Ali.
Temperamen Soedjono berbeda dengan Ali. Tindak-tanduknya sama sekali tak menunjukkan ciri-ciri kemiliteran. Baik pertanyaan maupun jawaban diajukan dengan sangat hati-hati agar tak menyinggung perasaan. Kalaupun dia membantah, itu selalu diucapkan dengan lemah lembut. Belakangan, setelah saya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, hubungan kami makin akrab.
Sayangnya, banyak yang mencurigai lembaga ini. Saya tidak tahu kenapa. Bahkan, ketika Ali dengan caranya sendiri mulai mengkritik konsep pembangunan yang berlaku, beredar rumor bahwa CSIS berkomplot hendak menggoyahkan kepemimpinan Presiden Soeharto. Ketika Ali Moertopo meninggal, menyebar pula desas-desus bahwa CSIS bakal segera mati karena telah kehilangan ”pelindungnya”. Toh, lembaga ini tetap eksis, karena kami tidak bergantung pada individu tertentu. Kami tak menggunakan nama seseorang. Lembaga ini juga didirikan bukan untuk mengidolakan tokoh. Yang ditonjolkan oleh nama dan kegiatan CSIS adalah kegiatan studi.
Makanya, ketika ada yang mengusulkan agar dicari ketua kehormatan yang baru, kami menolak. Kami tidak perlu pelindung. Pelindung kami cukup otak kami. Kami mengandalkan kekuatan nalar individu. Saya ingat perkataan Ali Moertopo kurang dari lima bulan sebelum wafat: ”Saya bisa mati, tetapi ide jalan terus.”
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo