Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU pagi, seorang utusan Presiden Soekarno tergopoh datang ke sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) Cabang Yogyakarta. Dia meminta beberapa lukisan dibawa ke Istana Negara untuk dipamerkan kepada para tamu asing. Saya bingung karena permintaan itu mendadak sekali dan saya cuma sendirian di sanggar. Tak ada waktu untuk memberi tahu seniman senior dan teman-teman junior karena mereka sedang berlibur ke Kaliurang. Sementara dalam dua jam, lukisan mesti sudah ada di Istana.
Saya memutuskan pergi ke Istana sendirian. Menumpang andong, membawa beberapa lukisan. Lukisan kami memang sering dipamerkan di Istana, atau para tamu asing yang diajak protokol Istana ke sanggar kami.
Baru saja selesai ditata di serambi Istana, muncul ketiga Bung Besar: Bung Karno, Bung Hatta—Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Bung Sjahrir—Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Mereka ingin melihat lukisan sebelum dipamerkan.
Bung Karno dan Bung Sjahrir berdiskusi tentang beberapa lukisan. Mereka memang andal dalam seni, tapi memiliki perbedaan. Bung Karno mirip pencinta seni, yang menghargai seni sebagai keindahan visual, sebuah hal yang natural. Bung Sjahrir mirip seorang yang paham kesenian. Pengetahuannya tentang karya seni sangat dalam. ”Mungkin karena dia sudah melihat berbagai lukisan ternama di museum Eropa kala belajar di Belanda,” ujar saya dalam hati.
Saya mendapat kehormatan karena diminta berpendapat juga tentang keindahan visual. Bung Karno menantang saya berpendapat karena, menurut dia, sebagai pemimpin organisasi besar kesenian di Yogyakarta—saya Ketua SIM Cabang Yogya—saya mesti mengutarakan pendapat.
Saya berkeringat dingin justru karena kami bertiga terus diamati Bung Hatta. Tak banyak cakap, dia seperti guru yang sedang mengamati murid-muridnya bertengkar. Saya tahu, Bung Hatta juga jagoan seni. Saat malam deklamasi di gedung Jong Islamieten Bond dan Jong Sumatranen Bond, di Medan, dia bersama beberapa tokoh, seperti Muhammad Yamin, Sanusi, dan Armyn Pane serta Sutan Takdir Alisjahbana, membacakan puisi. Tanda tangannya juga perpaduan antara huruf Latin dan kaligrafi huruf Arab.
Dari mereka, saya paham intelektualitas yang digerakkan nalar dan seni yang digerakkan rasa mesti padu untuk menjadi seorang manusia. Bung Karno juga mengajarkan sifat humanis dan kebapakan. Pernah suatu kali, istri Affandi sakit keras. Saya mengantarnya ke Istana. Bung Karno memberikan uang belanja istrinya, Fatmawati, untuk Affandi.
Ada sikap Bung Karno yang tak saya setujui di kemudian hari ketika dia menghancurkan tugu proklamasi buatan Sjahrir di Jalan Pegangsaan, tempat kemerdekaan diproklamasikan. Saat itu hubungannya dengan Sjahrir mulai retak. Adapun pertemuan dengan Bung Hatta berlanjut menjadi diskusi ekonomi saat saya menjadi mahasiswa dan asisten dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sebetulnya saya datang ke Yogyakarta sebagai perwira militer yang hendak belajar di Akademi Militer. Inilah akademi militer yang betulan di Indonesia saat itu. Saya dikirim bersama empat perwira pelajar lain yang sudah belajar kemiliteran di Akademi Militer Darurat Brastagi, Medan.
September 1946, kami berangkat ke Yogya. Saya ditemani sesama pelukis dari Medan, anggota Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI), Alamsyah Djamin alias Nasya dan Soeharto. Mereka ingin belajar melukis dari para maestro di tanah Jawa. Ada Affandi, Basoeki Abdullah, dan Soedjojono. Maklum, maestro di Sumatera cuma Wakidi, yang tinggal di Bukittinggi.
Di Yogyakarta, kami tinggal di rumah penduduk dekat Stasiun Tugu. Melihat tingginya gairah belajar di kalangan remaja di kota ini, kami berpikir di sini belajar adalah ibadah. Saat itu juga saya ingin mundur dari Akademi Militer. Saya hendak menuntut ilmu sambil tetap berjuang mengusir Belanda. Kepada Kapten Mardianto, perwira di Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat, saya jelaskan permenungan saya dan meminta izin batal masuk akademi. Saya ingin masuk Tentara Pelajar saja, supaya bila diperlukan, bisa dikirim bertempur ke garis depan.
Tak disangka, dia merestui. Dia malah bilang, Indonesia yang merdeka tak cuma butuh tentara, tapi juga dokter, insinyur, guru, dan tenaga hukum. Saya langsung mendaftar ke Sekolah Menengah Atas Kota Baru. Di sini pula saya bertemu dengan cinta saya sampai sekarang, Sri Soelastri. Tapi suasana revolusi membuat kami tak bisa sering bertemu.
Kehidupan seni saya tertampung juga di Kota Gudeg ini—setelah bakat seni itu ditemukan emakku, Djasi’ah. Kami diajak pelukis senior Harijadi—pembuat relief Hotel Indonesia—bergabung dalam organisasi seniman. Dalam konferensi pembentukan organisasi itu, Seniman Indonesia Muda, saya menyanggah Soedjojono yang sangat dihormati seniman se-Jawa saat itu.
Pak Djon, begitu dia biasa dipanggil, mengatakan organisasi se-Jawa itu perintis dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Indonesia. ”Tidak betul!” kataku, karena sudah ada ASRI di Sumatera. Setelah pembuatan perangkat organisasi, disepakati pusat organisasi di Solo dengan Pak Djon sebagai ketua. Cabang Madiun diketuai pelukis senior Soedibjo, dan saya memimpin cabang Yogya.
Sanggar kami adalah salah satu bangunan milik keraton di Alun-alun Selatan. Setiap hari kami melukis, membuat patung dan puisi. Masyarakat boleh melihatnya gratis. Selain itu, kami membuat poster-poster perjuangan permintaan Kementerian Pemuda, yang akan menyelundupkannya ke daerah-daerah yang masih diduduki Belanda. Imbalannya, kami diberi bahan lukisan dan honor bulanan. Dari sebagian uang inilah, saya membiayai sekolah.
Dari sekian banyak orang yang memperhatikan kegiatan kami di sanggar, ada seorang pemuda kurus dan berpakaian lusuh. Dia pemberi makan kuda andong yang biasa parkir di dekat alun-alun. Pemuda itu mengangguk ketika saya tanya apakah ingin melukis. Saya ajak ke sanggar, memberinya konte—pensil hitam—dan kertas. Dia bertanya bagaimana cara melukis karena belum pernah melakukannya. Saya jawab, lukis saja yang dilihat: meja, kursi, gentong, kuda, orang. Dia memperkenalkan diri, ”Troeboes… dari desa.”
Troeboes ternyata sangat berbakat. Affandi dan Roesli kerap memujinya. Dia sangat menikmati proses melukis, sampai kelihatan jengkel jika mesti berhenti untuk memberi makan kuda. Saya mengusulkan Troeboes menjadi anggota SIM, dan diterima yang lain. Sebagai anggota SIM, dia mendapat honor dan tak perlu lagi memberi makan kuda. Sebagai bentuk ”kebebasan” memberi makan kuda, dia melukis self portrait di kayu yang diambil dari satu sisi kotak makan kuda. Lukisannya bergaya Rembrandt.
Cuma sekitar enam bulan saya di SIM, karena berbeda pendapat dengan Pak Djon. Dia tak suka pelukis junior melukis lanskap alam, karena meninabobokan semangat perjuangan. Dia menyuruh semua pelukis junior di Madiun dan Yogya bergabung ke Solo untuk belajar melukis dengan betul. Saya menolak pindah. Dia menilai saya bukan seorang seniman, karena lebih tertarik pada ilmu pengetahuan. Dia menuduhku cuma memanfaatkan fasilitas sanggar. Saya memang banyak membaca buku, terutama tentang seni dan filsafat, tapi juga produktif melukis.
Dalam rapat besar SIM di Solo, Soedjojono memecat saya, setelah pembela saya kalah voting. Saya sempat mengecam mereka yang sok mempertontonkan kesenimanan mereka dengan rambut gondrong, pakaian lecek, serta memakai anting sebelah dan kalung emas. Sebelum keluar dari ruangan, saya datangi meja Soedjojono, menggebrak mejanya sambil berkata, ”Persetan!”
Troeboes juga ingin keluar sebagai rasa solidaritas. Saya membujuknya untuk bertahan. Sebagai tanda perpisahan dia memberikan lukisannya di kayu kotak makan kuda. Dia menjadi pelukis terkenal—menjadi pembuat patung Selamat Datang bersama seniman lain.
Ketika Troeboes dikabarkan tewas karena tersangkut Gerakan 30 September 1965, Nasya tak percaya. Sebab, dia menemukan beberapa lukisan yang belum pernah kami lihat, yang dijual dengan coretan dan tanda tangan khas milik Troeboes. Berita kematiannya pun cuma ditandai dengan kaus berlumur darah yang diserahkan tentara kepada tetangganya.
Ketika saya jatuh sakit karena dipecat SIM, muncul Tino Sidin, kawan sesama pengurus organisasi Mempertinggi Latihan Timur di Sumatera, pengganti kepanduan yang dibubarkan Jepang. Saya diajaknya tinggal di kediaman Darmosoegito, wartawan koran Merdeka, di Wirogunan. Rumahnya bertetangga dengan rumah Ki Hajar Dewantara, pendiri sekolah Taman Siswa. Celoteh para pendiri Taman Siswa dan tokoh perjuangan di pendapa sekolah membuat saya semakin paham kaitan pendidikan dan kebudayaan.
Yophiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo