Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMAM berdarah memang tidak pandang bulu. Dua pekan lalu serangan virus dengue yang muncul setiap kali musim hujan ini membuat Presiden Direktur PT Astra International Michael D. Rusmin meninggal. Agak muskil seorang petinggi perusahaan bergengsi bisa ”kecolongan” dengan gejala demam berdarah yang umum dan sudah banyak diketahui publik, yaitu panas tinggi 2-7 hari, keluar bintik merah, mual, pusing, dan tulang ngilu. Tapi begitulah. Menurut berita di media massa, laki-laki 56 tahun itu hanya merasa tidak enak badan—tak ada demam tinggi. Beberapa hari setelah merasa meriang itu, dia baru dibawa ke sebuah rumah sakit di Jakarta, lalu pindah ke Singapura.
Kasus itu menunjukkan betapa penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti ini makin mengecoh. Awalnya, demam berdarah hanya menyerang anak-anak dan remaja muda. Kemudian orang dewasa tak luput dari ancaman. Lalu, akibat suhu udara yang makin meningkat, nyamuk juga bisa bertahan di daerah yang lebih tinggi—sehingga wabah demam berdarah menjangkau hingga daerah pegunungan. Nyamuk juga ditengarai mampu beradaptasi, berbiak di air yang tidak terlalu jernih. Yang juga merupakan manuver baru: bintik merah—yang selama ini menjadi pertanda pasti—tak muncul. ”Bahkan demam yang biasa-biasa saja, yaitu 37,5 derajat Celsius, sudah bisa dicurigai sebagai gejalanya,” kata dokter Nazir, ahli penyakit dalam dan infeksi Rumah Sakit Tarakan, Jakarta Pusat.
Menurut dokter Ari Fahrial, yang sudah bertahun-tahun menangani pasien demam berdarah, memang ada perubahan karakter pemunculan gejala penyakit ini. Demam tinggi (39-40 derajat Celsius) biasanya terjadi hanya pada hari pertama. Lima hari berikutnya demam turun-naik, tapi tidak pernah mencapai batas tinggi. Pada hari ketiga, trombosit merosot di bawah 100 ribu per milimeter kubik darah—normalnya lebih dari 150 ribu per milimeter kubik darah. ”Tapi harus ada penelitian lebih lanjut,” kata dokter ahli penyakit dalam dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ini.
Penjelasan datang dari Surabaya. Ahli penyakit tropis Profesor Doktor Soegeng Soegijanto yakin telah muncul varian baru virus dengue yang dia beri nama virus metropolis. Disebut metropolis karena ”penyimpangan” karakter virus dengue memang terdapat di kota-kota besar yang tingkat mobilisasi penduduknya tinggi.
Soegeng, yang sehari-hari bekerja sebagai peneliti senior di Institut Penyakit Tropis Universitas Airlangga, Surabaya, tentu saja tidak sembarangan memberikan nama dan berkesimpulan. Dia dan timnya sudah meneliti perubahan ”perilaku” nyamuk ini sejak 2004. Mereka, yang umumnya melakukan riset untuk mendapat gelar S-3, melakukan penelitian di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Manado, Medan, Semarang, Malang, dan Denpasar. ”Sebab, di tempat-tempat yang dinamika populasinya tinggi, kemungkinan virus mengalami mutasi juga tinggi,” katanya.
Di kota-kota besar nyamuk tidak hanya menggigit penduduk lokal, melainkan juga orang dari kota lain, dan luar negeri. ”Nyamuk bisa menggigit orang Afrika, bule,” kata pria 69 tahun itu. Nah, dalam tubuh orang yang digigit itu mungkin juga ada virus dengue yang ”tidur”. Karena digigit nyamuk Aedes aegypti, lalu nyamuk itu menggigit orang lain, saat itulah terjadi perkawinan antarjenis virus dengue itu. Proses berantai dari gigitan nyamuk Aedes aegypti kota besar dari masa ke masa inilah yang diperkirakan sebagai penyebab mutasi.
Apakah mungkin dalam darah seseorang yang sehat bersemayam virus dengue yang ”tidur” itu? Menurut Soegeng, teori lama tidak mempercayainya. Paham yang dulu beranggapan, bila orang sakit demam berdarah lalu sembuh, virusnya pun musnah tak berbekas. Namun, menurut teori baru yang berkembang satu atau dua tahun belakangan ini, anggapan itu tak berlaku lagi. ”Tetap ada virus dengue. Tapi pandangan ini masih diperdebatkan,” Soegeng, yang setuju dengan pemahaman kedua, menjelaskan.
Logikanya, virus dengue adalah makhluk hidup yang bisa berevolusi seperti makhluk hidup lainnya. Sejak pertama kali ditemukan secara medis pada 1968 di Surabaya, penyakit demam berdarah sudah bertahan 42 tahun sebagai endemi di negara ini. ”Adanya interaksi antara host, agent, dan lingkungan, itulah yang membuat perubahan,” kata Soegeng. Agent adalah mikroba penyebab penyakit; host adalah makhluk yang menjadi tempat tumbuh atau ”pelindung” (harboring) penyakit; lingkungan merupakan faktor eksternal yang memungkinkan penyakit berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Memang, virus metropolis ini masih memerlukan penelitian lebih jauh. Tapi, paling tidak, penyimpangan gejala demam berdarah dari pakem semula, yang bermunculan beberapa tahun belakangan ini, menurut Soegeng, harus membuat kita makin waspada. ”Panas tubuh biasa, tapi kemudian si penderita mengalami perdarahan,” katanya. ”Bahkan ada rekan saya, seorang dokter di Malang, meninggal akibat demam berdarah.”
Harus diakui, dokter pun bisa luput mengenali demam berdarah—hal yang sering terjadi. Menurut Soegeng, ada kasus seseorang didiagnosis terkena leukemia, tapi ternyata demam berdarah. Mengapa? Sebab, virus menyerang tulang belakang. Yang diketahui lebih dulu merosot bukan kadar trombosit, tapi sel darah putihnya. Dan si pasien pun meninggal.
Menurut Soegeng, karena virus dengue mengalir bersama aliran darah, virus ini bisa menyerang bagian tubuh mana pun, seperti hati, paru, dan limpa. Sifat umum virus memang tidak mampu mereproduksi diri, tapi ketika virus menginfeksi sel dan mengambil alih kemampuan reproduksinya, virus itu pun menjadikan sel sebagai alat berkembang biak.
Nah, virus dengue ini pun punya tempat-tempat favorit dalam tubuh. Pertama, virus menyukai hidup di endotil (endothelium), yaitu jaringan epitel (epithelial) yang membungkus organ dalam, terutama di pembuluh darah. Epitel merupakan lapisan pelindung, yang menjaga organ yang dilapisinya dari berbagai serangan virus dan penyakit lainnya. Tempat kesukaan berikutnya adalah hati. Yang terakhir adalah tulang belakang. ”Virus dengue menyukai ketiga tempat itu karena di sana virus sulit mati,” kata Soegeng.
Karena sampai saat ini belum ada obat penyembuh demam berdarah, yang bisa dilakukan adalah mencegah serta melakukan deteksi dini dan penanganan yang tepat. Mencegah dilakukan dengan menutup kemungkinan jentik-jentik nyamuk berkembang. Jadi jangan biarkan ada air bersih tergenang tenang dalam keadaan terbuka lebih dari seminggu.
Nah, soal deteksi dini ini yang harus teliti benar. Teorinya adalah memeriksakan darah pada hari ketiga sejak serangan demam datang pertama kali. Seperti kata dokter Ari, bila hari Minggu sehat, Senin mulai demam atau meriang biasa, Selasa adalah demam hari kedua, dan Rabu yang ketiga. ”Meski panas sudah turun, tidak ada panas tinggi, hari ketiga itu tetap harus periksa darah,” kata Ari. Menurut dokter Nazir, bahkan pemeriksaan darah sebaiknya dilakukan berseri, hari ketiga, lalu keempat. Namun Soegeng menyarankan agar periksa darah sejak hari pertama demam, yang dilanjutkan pemeriksaan pada hari-hari setelahnya.
Adapun untuk penanganan, bila trombosit drop, yang diperlukan adalah cairan infus. Selanjutnya bergantung pada perjuangan pertahanan tubuh sendiri. Namun ada satu catatan dari Soegeng, dokter juga harus memperhatikan kondisi hati (lever) pasien. Alasannya, bila organ itu terganggu, cairan infus, seperti ringer lactate, bisa membahayakan hati.
Yang paling penting sebenarnya adalah daya tahan tubuh. Sebab, bila daya tahan tubuh kuat, gigitan nyamuk Aedes aegypti tak akan mempan. Dokter Ari menambahkan, tingkat stres juga wajib dijaga. Selain menurunkan daya tahan tubuh, stres membuat lambung terganggu. Kondisi seperti ini merupakan sasaran empuk virus dengue. ”Bisa mengakibatkan perdarahan pada lambung,” kata Ari. Jadi jelas mengapa virus metropolis mengakibatkan demam berdarah yang lebih ganas: virus ini menghinggapi orang-orang di kota besar dengan tingkat mobilitas tinggi, sibuk, dan stres tinggi pula.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo