Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua hari setelah Gunung Merapi meletus, Hudson Prananjaya, 31 tahun, sudah berada di Yogyakarta. Kota kelahirannya itu bak kota mati. Debu menyelimuti setiap sudut kota. Dari sekadar ingin menengok keluarga, pria yang dikenal dengan karakter dua rupa-dua suara ini langsung menghubungi rekan-rekannya untuk terjun sebagai relawan membantu para pengungsi.
Berbagai kebutuhan, seperti perlengkapan mandi, obat-obatan, selimut, dan susu cair siap minum, pun diborongnya. Bersama teman-temannya, Hudson menyambangi kawasan yang belum tersentuh bantuan. "Aku sengaja cari daerah-daerah pelosok. Kalau di kota, sudah banyak bantuan," ujarnya. Hatinya miris melihat bayi, anak-anak, dan orang tua menanti bantuan di tempat pengungsian.
Ada alasan lain yang membuat alumnus Sekolah Menengah Musik Yogyakarta ini memilih daerah terpencil. Rupanya, Hudson enggan ketahuan sebagai artis. Ketika berada di tempat pengungsian di pendapa rumah Bupati Sleman, dia sengaja tidak mau turun dari mobil agar tak dikenali orang. "Ternyata ketahuan juga. Pak Bupati langsung memanggil aku," katanya. "Aku tak mau dinilai membantu sebagai artis. Aku membantu karena aku bagian dari Kota Yogyakarta," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo