Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menganggap peraturan baru tersebut mengebiri kekuatan Komisi Pemberantasan Korupsi memberangus rasuah di negeri ini. “Ini jelas melemahkan,” ujar Joko Anwar kepada wartawan Tempo, -Aisha Shaidra, Sabtu, 21 September lalu.
Sutradara Gundala: Negeri Ini Butuh Patriot itu menyebutkan sederet poin dalam undang-undang tersebut yang mengerdilkan fungsi KPK, seperti syarat persetujuan dewan pengawas untuk menyadap. Di tengah promosi film terbarunya itu, dia menyelipkan kemarahannya di depan 1,74 juta pengikutnya di Twitter.
Joko, 43 tahun, melanjutkan kritiknya dengan membantu menyebarkan petisi online yang meminta Presiden Joko Widodo menolak revisi Undang-Undang KPK. Tuntutan tersebut sudah mendapat lebih dari 500 ribu tanda tangan. Meski mengaku sebagai pendukung Jokowi, Joko tidak segan melontarkan komentar pedas, seperti saat meminta sang Presiden mengatasi intoleransi pada 2015. “Aku punya kebebasan untuk mengkritik,” ujar sutradara Pengabdi Setan (2017) itu.
Joko Anwar. TEMPO/Hilman Fathurrahman
Angga Dwimas Sasongko, 34 tahun, sependapat dengan Joko Anwar. Sutradara Filosofi Kopi (2015) dan Wiro Sableng 212 (2018) ini menilai penerbitan undang-undang baru tersebut merupakan pelemahan sistematik dan menjadi pintu masuk untuk menghancurkan agenda besar pemberantasan korupsi. Berbagai kritik Angga di media sosial kerap memancing hujatan. Dalam hati, dia mengaku ciut karena berhadapan dengan pemerintah dan pendukungnya. “Tapi saya lebih takut kalau anak saya tinggal di Indonesia yang suram, di mana kebebasan berpendapat dan hak asasi tidak lagi dihargai,” kata ayah satu putra itu.
Penulis Okky Madasari punya keresah-an serupa. Terlebih dia memiliki ikatan emosional dengan KPK karena kerap meliput di sana saat menjadi wartawan pada 2005-2009. Novel keduanya, 86, yang terbit pada 2011, terinspirasi komisi antirasuah itu. “KPK itu bayi reformasi yang dipaksakan lahir di tengah orang dewasa yang tidak menginginkan keberadaannya,” tutur Okky, 34 tahun.
Okky Madasari. TEMPO/Nurdiansah
Ada juga selebritas yang melangkah lebih jauh dari media sosial. Musikus Ananda Badudu menuangkan kekecewaannya via tembang. Dikenal sebagai penyanyi dan pencipta lagu folk lewat duo Banda Neira, kali ini dia membuat lagu rap dengan pertimbangan mengakomodasi lirik yang panjang dan tegas. Judulnya: Pemakaman Harapan. Dia menunjuk KPK sebagai simbol harapan Indonesia. “Aku enggak rela ha-rapan itu dimatikan,” ucapnya.
Ananda Badudu. instagram.com/bandaneira_official
Ananda, 32 tahun, kemudian melihat demonstrasi mahasiswa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, yang di antaranya memprotes Undang-Undang KPK, sebagai tindakan yang lebih nyata. Dia pun menggalang donasi terbuka lewat KitaBisa.com. Dalam dua hari, terkumpul Rp 175 juta untuk kebutuhan logistik, transportasi, dan sewa mobil pengeras suara dalam unjuk rasa terbesar setelah 1998 tersebut. “Selama ini enggak ada kekuatan riil yang bisa membuat pemerintah keder,” ujarnya. Tindakan itu membuatnya diciduk polisi pada Jumat, 27 September lalu. Dia dibebaskan setelah diperiksa sekitar lima jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo