Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 1970-an, di Kalimantan Timur, terjadi penolakan keras saat teater tradisional mamanda berevolusi menjadi sandiwara mamanda (sandima). Mereka yang menolak menganggap variasi dan versi baru mamanda merusak pakem. Tapi sebagian lain menerima. Nyatanya, sandima kemudian populer. Lakon-lakon baru, seperti sandima Batu Banawa dan sandima Kakamban Habang, diterima khalayak.
Seni tradisi selalu menarik diperbincangkan selama ia dipandang sebagai tubuh yang terbuka. Pekan Teater Nasional 2019 di Taman Budaya Samarinda, Kalimantan Timur, yang diselenggarakan Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 19-27 September 2019, menampilkan teater tradisi belian-mamanda, dalupa, ubrug, topeng dhalang, kondobuleng, dan sarandaro. Mengangkat tema “Tubuh Gunung, Resonansi Teater Tradisi”, para kurator (Afrizal Malna, Benny Yohanes, Dindon W.S., dan Wahdat) menempatkan enam teater tradisi terpilih tersebut dalam kategori platform “Kanon Tradisi”.
Tidak semua mengalami hal serupa dengan mamanda. Variasi-variasi dalam dalupa, teater rakyat dari Aceh Barat, tak pernah mengalami penolakan keras atas nama pakem. Pentas dalupa muncul dalam banyak narasi yang berbeda. Begitu pula ubrug, sandiwara rakyat dari Banten. Pergeseran budaya dan permintaan pasar membuat kelompok-kelompok ubrug tampil lebih simpel, dengan hanya menghadirkan jaipong, dangdut/organ, dan lawak. Ini malah membuat ubrug kian eksis di panggung-panggung hajatan. Juga topeng dhalang dari Sumenep, Jawa Timur, berkembang dinamis agar terus dapat diterima khalayak.
Teater rakyat kondobuleng, yang lahir dari masyarakat pesisir Bugis-Makassar, diperkirakan muncul 300 tahun lalu. Teater yang awalnya hanya boleh dimainkan oleh keluarga keturunan sedarah ini juga mengalami pengembangan. Begitu pun sarandaro, prosesi adat penyerahan anak dengan nyanyian dan tarian dari Papua, menjelma dalam struktur pertunjukan yang sangat longgar menggunakan teks lakon baru.
Pertanyaan penting yang muncul dalam Pekan Teater Nasional adalah sejauh mana eksplorasi terhadap “tubuh terbuka” dalam teater tradisi telah dilakukan? Juga bagaimana seniman masa kini melakukan pembacaan warisan tradisi dalam konteks kebudayaan mereka masing-masing?
CUY-Gang X Tanah Tinggi karya sutradara Yola Yulfianti./ Marhalim Zaini
SELAIN menampilkan “Kanon Tradisi”, kuratorial menampilkan tema “Post Tradisi” dan “Teater Riset”. Ini digunakan untuk memetakan teater tradisi dalam resonansi tumbuh, bergerak, dan bergeser. Post Tradisi atau penciptaan ulang tradisi diwakili oleh Komunitas Rumah Banjarsari (Surakarta), Wayang Kampung Sebelah (Solo), Otniel Dance (Banyumas), Komunitas Odah Bulanku (Tenggarong), dan Anka Andika Production (Bandung). Sedangkan platform Teater Riset (penciptaan teater berdasarkan riset pertunjukan tradisi) diwakili oleh Komunitas Seni Hitam Putih (Padang Panjang), Rokateater (Yogyakarta), dan Misswati Dance Teater (Jakarta).
Kerja penciptaan ulang tubuh tradisi ini memang diandaikan sebagai proses paling dekat dengan tubuh tradisi yang lama. Maka, ketika menonton pertunjukan, kita seperti masih berada dalam atmosfer tradisi itu, seperti mengembalikan ingatan kolektif masa lalu dalam ruang sosial yang baru. Jelitheng Suparman, dalang Wayang Kampung Sebelah, misalnya, menciptakan wayang kulit baru dengan karakter-karakter manusia keseharian. Dia berhasil membawa penonton ke dalam realitas sosial yang sakit, tidak semata melalui cerita, tapi juga lewat tubuh-tubuh wayang kulit ciptaannya.
Akan halnya suara aneh yang dihadirkan dari gesekan batu penggiling jagung, lengking suara manusia yang menyayat, dan serakan biji jagung yang menghantam atap seng dalam pertunjukan Tools karya Misbach Daeng Bilok dari Komunitas Rumah Banjarsari. Kita seolah-olah mendengar suara, sebagai bagian penting dari tubuh tradisi, menemukan ruang paling sublim dari proses komunikasi masa lalu dan masa kini. Sementara itu, kita akan melihat bagaimana dalam pertunjukan Entrance karya Otniel Dance, improvisasi-improvisasi yang menjadi kekuatan dari seni tradisi masih terus hadir dan makin liar dalam gerakan-gerakan yang mengurai batas-batas gender.
Dua pertunjukan lain dalam platform Post Tradisi mencoba masuk ke tubuh mitos: Lembuswana karya Ari Ersandi dari Komunitas Odah Bulanku dan Sangkuriang Si Kabayan oleh Anka Andika Production. Dua mitos ini bisa jadi menarik dibongkar dalam tafsir bebas yang memungkinkan terbukanya jalan penciptaan mitos-mitos baru. Karena bermain di wilayah nilai, irisan-irisannya yang tipis terasa masih kuat membayang, merembes, bahkan tak mampu keluar dari kerangkeng tafsir komunal. Lembuswana, wujud binatang sapi memiliki belalai dan bertaring serupa gajah, yang menjadi ikon Kota Kutai Kartanegara, semestinya lebih menghadirkan narasi dramatis yang kaya.
Platform Teater Riset menarik karena dalam sesi ini kita diajak mengamati dinamika pergeseran penciptaan tubuh tradisi yang lebih kompleks dalam perkembangan teater mutakhir. Tubuh Padang karya Yusril Katil dari Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang, yang berangkat dari riset seni tradisional randai Minangkabau, misalnya, menghadirkan kompleksitas tubuh kultural dalam gerakan-gerakan plastis-atraktif yang sangat dinamis. Keterampilan gerak tubuh aktor-aktor yang terlatih mampu menghadirkan komposisi tak terduga sebagai representasi ketidakterdugaan perubahan sosial masyarakat Minang modern.
Sementara itu, kita melihat lalu lintas gagasan yang bertumbuhan, kadang berbenturan, dalam pertunjukan berjudul Otobiografi (Selepas Melodrama Itu Berlalu) karya Shohifur Ridho’i dari kelompok Rokateater. Kethek ogleng adalah seni tradisi yang menjadi sumber riset mereka, salah satu karakter dalam epik Ramayana yang bernama Hanoman. Kethek ogleng dalam pertunjukan ini adalah tokoh kera putih sebagai protagonis. Kisah antara Dewi Sekartaji dan Panji Asmarabangun menjadi titik berangkat untuk menampilkan narasi-narasi kekuasaan monarki atas tubuh tradisi. Maka yang menguat dalam pertunjukan ini adalah dramaturgi gagasan.
Misswati Dance Teater tampil lebih cair dengan pola permainan lenong dalam repertoar berjudul CUY-Gang X Tanah Tinggi, yang disutradarai Yola Yulfianti. Tony Broer sebagai pemain utama dalam pertunjukan ini berhasil membawa penonton ke ruang sosial masyarakat miskin kota dengan dialog yang interaktif dan menghibur. Kostum warna mencolok, rambut kuning, dan karakter yang khas kampungan yang kekota-kotaan mewartakan tubuh tradisi urban sekaligus tubuh tradisional. Dari lenong ke ondel-ondel, pertunjukan ini sesungguhnya sedang menertawakan problematika kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural.
Platform Teater Riset tampaknya memerlukan satu formula penciptaan yang lebih spesifik. Tantangannya adalah bagaimana Teater Riset tidak cenderung menjadi “teater akademis”, yang justru menjebak para seniman untuk masuk ke satu penjara konseptual. Dari tiga platform yang ditawarkan kurator, bisa disaksikan melalui pertunjukan-pertunjukan tubuh-tubuh teater tradisi, apabila memiliki sikap terbuka akan menjadi jagat luas yang senantiasa memproduksi pengetahuan-pengetahuan baru, nilai-nilai baru. Penolakan keras terhadap perubahan pakem dalam mamanda di atas, yang juga dipaparkan oleh Hamdani dalam sarasehan, tidak serta-merta membuat mamanda berdiam dan mati dalam habitatnya, tapi malah keluar menjelma menjadi tubuh yang baru.
MARHALIM ZAINI, PENYAIR, PENGAMAT TEATER
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo