Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di luar dalih tersebut, ada alasan lain yang membuat partai pantas merasa terancam. Di PDIP, kasus suap kuota impor bawang putih yang melibatkan bekas anggota Komisi Perdagangan DPR dari fraksi partai itu, I Nyoman Dhamantara, yang ditangkap KPK pada 9 Agustus lalu, berpotensi menjadi “tsunami”. Dalam gelar perkara di KPK pada pekan pertama Agustus lalu, nama putra seorang petinggi partai itu disebut sebagai orang yang akan menerima setoran dari Chandry Suanda alias Afung, pengusaha pengimpor bawang putih.
Upeti itu untuk membantu memuluskan jatah kuota perusahaan Chandry. Untuk 2019, perusahaan Chandry mengincar jatah kuota 20 ribu ton yang dimiliki para petinggi partai tersebut. Menurut penegak hukum di KPK, jatah kuota impor bawang putih di Kementerian Perdagangan telah dikaveling oleh pejabat dan orang partai. Bagi pengusaha, salah satu cara paling gampang untuk mendapatkan kuota adalah membeli jatah impor mereka.
Chandry mengontak Nyoman untuk mencari-cari kuota. Dialah yang kemudian menawarkan jatah kuota putra petinggi partai itu kepada Chandry. Nyoman melalui Mira, menurut penegak hukum KPK, meminta jatah Rp 3,6 miliar untuk mengunci kuota buat Chandry dan mengurus surat persetujuan impornya. Tapi belum lagi duit itu disetorkan kepada si “pemilik” kuota, Nyoman dan Chandry digulung KPK.
Ditanyai soal kasus ini, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan tak mengetahui perkara itu lebih jauh. “Yang detail begini penyidik yang tahu,” ujar Agus. Pada Agustus lalu, Chandry alias Afung dan Nyoman bungkam saat ditanyai soal kasus ini.
Sejak Nyoman Dhamantra ditahan, 10 Agustus 2019, penyidik KPK baru dua kali memeriksanya sebagai tersangka. Pertama, pada malam saat Nyoman datang ke KPK dalam rangka klarifikasi sesudah mengikuti pembukaan kongres PDIP di Bali karena salah satu anaknya dibawa penyidik ke KPK. Nyoman berada di KPK bukan karena operasi tangkap tangan, melainkan atas kesadarannya sendiri untuk mengklarifikasi penangkapan anaknya di suatu pusat belanja.
Ketika pada 10 September 2019, saat saya mendampinginya, penyidik juga menanyakan apakah Nyoman mengenal tersangka lain, yaitu Elviyanto, Mirawati Basri, Zulfikar, Doddy, dan Chandry Suanda alias Afung. Nyoman menjelaskan bahwa dia hanya mengenal Elviyanto dan Mirawati Basri, yang dalam pasal yang disangkakan dinyatakan bersama ia menerima hadiah atau janji atau suap dari Zulfikar, Doddy, dan Chandry selaku pemberi suap.
Nyoman membantah keterangan bahwa ia mengenal Zulfikar, Doddy, dan Chandry sebagai penyuap. Hal ini dijelaskan juga oleh Chandry, yang baru pertama kali bertemu dengan Nyoman di rumah tahanan. Elviyanto, yang ditempatkan sekamar dengan Nyoman di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Selatan, pun telah meminta maaf karena nama Nyoman dibawa-bawa olehnya.
Dalam pemeriksaan sebagai tersangka di KPK pada 10 September 2019, Nyoman tidak pernah ditanyai penyidik tentang penerimaan janji atau hadiah dari Chandry, yang tidak dikenalnya. Yang ditanyakan adalah apakah dia pernah berjanji kepada seseorang melalui Mirawati Basri untuk kuota impor bawang putih.
Nyoman membantah dengan tegas karena tidak mengenal orang-orang yang menurut KPK sebagai pihak swasta yang menyuap Nyoman itu. Karena itu, atas pemeriksaan yang tidak terfokus tersebut, Nyoman menyurati pimpinan KPK pada 16 September 2019 untuk meminta penjelasan tindak pidana gratifikasi yang dituduhkan kepadanya, yaitu kapan, di mana, dari siapa, bagaimana cara Nyoman berjanji atau menerima suap, dan bagaimana cara uang suap diterima Nyoman.
Sebab, faktanya, uang sebesar Rp 2 miliar yang dijadikan barang bukti tersebut milik Zulfikar yang dipinjamkan kepada Doddy dan Doddy mentransfernya dari rekening BCA miliknya ke rekening BCA salah satu pegawai money changer Indocev, yang dikelola anak Nyoman, atas arahan Mirawati dalam rangka pembelian valuta asing. Nyoman sendiri tidak mengenal Zulfikar, Chandry, dan Doddy yang, menurut KPK, merupakan pihak pemberi suap kepada Nyoman melalui Mirawati. Hal ini telah dibantah Mirawati. Hingga kini, surat-surat yang kami kirimkan tidak pernah dijawab KPK.
Petrus Bala Pattyona, SH, MH
Penasihat hukum Nyoman Dhamantra
Terima kasih atas penjelasan Anda. Informasi itu merupakan hasil gelar perkara seperti tertulis dalam laporan tersebut dan sudah dibenarkan tiga sumber di KPK.
Proses Pengadilan yang Lama
UNTUK kesekian kalinya saya kembali menulis surat pengaduan ini, yang berkenaan dengan pelaksanaan peradilan yang tidak sesuai dengan asas pengadilan yang ringkas, cepat, dan berbiaya murah.
Saya, pemohon peninjauan kembali nomor 121/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel tertanggal 31 Januari 2019, merasa sangat dirugikan dan dikecewakan selama proses persidangan yang berjalan sejak 2011. Persidangan tidak ringkas dan cepat karena telah melewati dua kali proses kasasi meskipun telah ada alat bukti dan hukum yang dilanggar. Ihwal penyampaian surat pemberitahuan putusan dalam enam bulan hingga setahun terhitung sejak putusan dinyatakan pun menurut saya sangat lama. Soal biaya yang murah, bagi saya, yang tinggal di luar Jakarta, biaya itu tidaklah murah karena saya harus mengeluarkan ongkos untuk transportasi, akomodasi, persidangan, bahkan pencarian alat bukti.
Saya berharap putusan peninjauan kembali ini bisa obyektif dan berkeadilan serta disampaikan dalam waktu yang lebih cepat. Sebab, setidaknya saya masih bisa merasakan adanya bukti cepat dalam penyampaian surat pemberitahuan putusan.
Toni Layitno
Indramayu, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo