Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBULAN terakhir, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati seperti berkantor di jalanan. Bersama rekan-rekannya di Koalisi Masyarakat Sipil, dia bolak-balik berdemonstrasi.
Awalnya, mereka berkonsentrasi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka menolak calon pemimpin KPK dan Rancangan Undang-Undang KPK. Asfinawati, 42 tahun, menilai dua poin itu sebagai pelemahan secara menyeluruh. “Diserang dari dalam seperti kuda troya dan dari luar lewat peraturan,” katanya dalam wawancara khusus dengan Tempo. Setelah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan rancangan undang-undang tersebut pada 17 September lalu, mereka menggelar “permakaman” di teras gedung KPK.
Dari Kuningan, perhatian Koalisi tertuju ke Senayan. Di Gedung Parlemen, para wakil rakyat tiba-tiba bekerja serba cepat. Namun berbagai kalangan menilai sebagian besar regulasi yang ditetapkan DPR berpotensi mengebiri penegakan hukum, melanggar hak asasi manusia, dan membungkam kritik masyarakat. “Demokrasi bisa mundur,” ujar Asfinawati.
Saat itu, mahasiswa sudah mulai bergerak. Unjuk rasa berlangsung mulai Kamis, 19 September lalu, meski dalam kelompok kecil. Koalisi Masyarakat Sipil bergabung saat aksi massa memuncak pada Selasa, 24 September lalu. Ingatan Asfinawati terlempar mundur ke 21 tahun lalu, saat dia dengan jaket kuningnya berada di lautan Gerakan Mahasiswa 98. “Ini seperti 1998, genuine. Anak yang kuliah-pulang-kuliah-pulang pun ikut demo,” ucapnya. Indikasi lain, kata dia, adalah unjuk rasa yang nyaris tanpa komando. Tiap kelompok datang sendiri-sendiri dan kerap kebingungan mencapai lokasi karena jalan sudah dipenuhi kelompok lain. Menurut dia, mereka digerakkan oleh keresahan yang sama.
Setelah unjuk rasa mereda, Asfinawati sibuk memberi bantuan hukum bagi aktivis dan mahasiswa yang dicokok polisi. Saat menerima wartawan Tempo, Reza Maulana dan Aisha Shaidra, di kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat pagi, 27 September lalu, dia baru tidur sejenak setelah begadang mendampingi aktivis Dandhy Dwi Laksono yang terjerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik karena cuitannya tentang Papua dituding sebagai provokasi. Asfinawati baru sampai rumah dan kehabisan energi saat mendapat kabar pencidukan Ananda Badudu, musikus yang menggalang dana untuk gerakan mahasiswa. Menurut dia, penangkapan tersebut sama seperti kekerasan polisi terhadap pengunjuk rasa. “Ini upaya pembungkaman berpendapat,” ujarnya.
Sejumlah pejabat tinggi menyebut demonstrasi mahasiswa ditunggangi. Tanggapan Anda?
Itu pernyataan yang tidak menghormati kesadaran mahasiswa, dosen, dan pihak kampus yang memberikan ruang. Aksi ini genuine. Orang datang begitu saja. Anak yang kuliah-pulang-kuliah-pulang pun ikut demo. Orang datang begitu saja. Terpanggil dari berbagai daerah karena keresahan yang sama. Aksi itu menunjukkan tempat penyaluran rasa keadilan masyarakat bermuara.
Ada bukti lain yang lebih konkret?
Aksi ini begitu mudah dipukul mundur. Selain karena ada tindakan represif dari aparat, demo langsung bubar karena tidak ada koordinasi di lapangan. Tidak ada komando yang sama. Pada Selasa, 24 September lalu, di depan gerbang utama gedung DPR saja ada tiga mobil komando. Koalisi Masyarakat Sipil sampai harus mengatur waktu orasi dari tiap mobil supaya suaranya tidak bertumpukan. Lihat poster-poster yang dibawa peserta aksi itu. Sangat genuine, ditulis tangan dan lucu-lucu sekali. Ini betul-betul gerakan baru, yang segar diwarnai orisinalitas anak zamannya. Tulisan-tulisan itu menunjukkan spontanitas. Kalau fenomena ini tidak ditangkap, kita bisa mempertanyakan seberapa besar rasa keadilan dan sensitivitas dari pemerintah dan anggota DPR. Namun yang terjadi sebaliknya. Sedang ada upaya mengerdilkan gerakan ini dengan mengatakan ada yang mendalangi.
Siapa yang mengkoordinasi pergerakan massa itu?
Tidak ada. Mereka datang sendiri-sendiri. Ini seperti Gerakan Mahasiswa 98. Saat sampai, banyak yang kebingungan tidak bisa mencapai lokasi pertemuan karena di depannya sudah penuh oleh kelompok mahasiswa lain. Bedanya waktu itu belum ada WhatsApp. Demonstrasi ini organik. Kalau mau dibandingkan dengan demo 1998, ini ada kesamaan spontanitas dan orisinalitas. Saat itu banyak pihak terlibat, bukan hanya mahasiswa. Kalau orang banyak mau bergerak bersama-sama, pasti ada sesuatu yang penting. Ini jadi pelajaran menarik bagi saya. Ternyata dalam suatu kondisi tertentu akan ada semacam nalar publik yang sama. Ada semacam keadilan masyarakat yang menyatu karena ada pada kondisi yang sama. Itu seperti yang terjadi pada 1998.
Lebih besar dari sisi skala jumlah massa?
Banyak orang berpendapat lebih besar, baik dari jumlah massa maupun varian keterlibatan daerah-daerah. Dan yang saya harapkan, suara publik didengar, ini ada kemacetan politik di Indonesia.
Anda sempat mengkoordinasi di lapangan?
Yang kami lakukan sebatas mengatur waktu orasi tiap mobil komando. Sebelumnya tidak ada. Kami baru mengenal di lapangan.
Koalisi Masyarakat Sipil lebih dulu berdemonstrasi menolak pelemahan KPK. Di mana titik temu dengan gerakan mahasiswa?
Nyaris tak ada pertemuan. Ini yang menakjubkan. Kalau menganggap mahasiswa tidak punya pemikiran sendiri dan disetir Koalisi, itu meremehkan mahasiswa sekaligus menilai Koalisi terlalu tinggi. Memang ada beberapa mahasiswa yang berdomisili di Jakarta dan bertemu kami dalam acara lain, misalnya “Pemakaman KPK”, tapi kami tidak pernah mengetahui seperti apa rencana para mahasiswa. Kami terkejut saat melihat di lapangan bisa sebanyak itu.
Bagaimana dengan perumusan tujuh tuntutan mahasiswa?
Ini proses yang menarik. Banyak sekali orang yang tiba-tiba punya pikiran yang sama tanpa pernah bertemu. Koalisi Masyarakat Sipil punya tujuh tuntutan. Kelompok mahasiswa ada yang membawa empat atau lima tuntutan. Semuanya punya kesamaan, hanya ada beberapa varian berbeda.
Sempat duduk bersama mahasiswa untuk merumuskannya?
Seingat saya, ini bergulir bareng-bareng. Tujuh tuntutan koalisi dengan tuntutan milik mahasiswa itu sama. Kami semua juga terkejut. Cuma ada perbedaan di formulasinya.
Berdasarkan pantauan Anda di lokasi, mengapa terjadi kekerasan saat demonstrasi?
Saya berada di dekat gerbang utama gedung DPR, Selasa siang itu (24 September lalu). Sempat ada dorong-dorongan, ada lempar-lemparan. Seorang rekan dan teman-teman dari Lembaga Bantuan Hukum Indonesia terluka di tangan kiri akibat kayu yang dilempar dari barisan aparat. Kami tidak melihat siapa pelemparnya. Tapi keadaan kembali tenang setelah kami menyanyikan Indonesia Raya. Bahkan mahasiswa sempat menggelar konferensi pers. Namun tiba-tiba kami disiram water canon. Semua langsung evakuasi. Saya berlari lewat depan Taman Ria menuju Plaza Senayan.
Karena waktu unjuk rasa habis pada pukul 18.00?
Saya tidak melihat jam. Tapi yang jelas saat itu masih terang. Malah belum pukul 17.00.
Ada dalih polisi bertindak represif sebagai reaksi dari tindak kekerasan yang lebih dulu dilakukan pengunjuk rasa.
Aturannya, kalau ada massa yang dianggap melakukan suatu kekerasan, misalnya melempar batu, orang itu saja yang ditarik, dipisahkan dari kelompok. Bukan semuanya. Banyak orang yang hanya berdiri di tengah tapi tiba-tiba disiram water canon dan diserang gas air mata. Padahal kondisinya saat itu tenang.
Artinya, polisi salah dalam penanganan unjuk rasa ini?
Pengunjuk rasa diminta melapor ke polisi sebelum melakukan aksi sebenarnya supaya ada pengawalan dan merasa aman selama aksinya. Itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Jadi tugas polisi itu mengawal dan memfasilitasi, bukan menghalang-halangi.
(Pasal 13 ayat 3 undang-undang itu berbunyi, “Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.”)
Asfinawati (tengah) saat menolak Calon Pimpinan KPK bermasalah, di Jakarta, Selasa (3/9/2019). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Yang terjadi malah sebaliknya....
Teman-teman LBH pernah mengalami masa damai dalam mendampingi unjuk rasa. Misalnya demonstrasi Hari Buruh setiap 1 Mei. Massa ribuan, kami dikawal sampai depan Istana Negara, semuanya damai. Praktik itu mulai berubah sekitar 2015. Mulai banyak batasan, seperti hanya boleh sampai Patung Kuda Arjuna Wiwaha (sekitar 800 meter di selatan gerbang Istana) dan sebagainya. Tampak ada pergeseran penanganan terhadap penyampaian pendapat di muka umum. Padahal itu adalah salah satu esensi dari demokrasi. Mereka punya aturan soal itu tapi tidak dilaksanakan.
(Asfinawati menunjukkan Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas, tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Peraturan Kepala Polri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.)
Menurut Anda, apa yang menyebabkan pergeseran penanganan unjuk rasa itu?
Idealnya, polisi tak boleh menjadi kepanjangan tangan siapa pun. Polisi merupakan kepanjangan dari hukum. Kalau, misalnya, pemerintah, diwakili pernyataan Presiden, menyebutkan tak mau ada demo lagi, polisi tak seharusnya tunduk pada itu. Polisi adalah penegak hukum, bukan penegak kata presiden, apalagi penegak kata DPR.
Termasuk imbauan untuk tidak berdemonstrasi karena dapat memicu kerusuhan?
Itu narasi yang selalu dibangun pemerintah: jika ada banyak orang berkumpul, akan menyebabkan kerusuhan. Kami membuktikan sebaliknya dengan bertahun-tahun mendampingi buruh dalam demonstrasi May Day. Kerusuhan biasanya dipicu kekerasan oleh aparat.
Anda setuju pengunjuk rasa yang melakukan kekerasan dan merusak fasilitas umum ditangkap?
Jika terbukti melakukan itu, segera lokalisasi pelaku dan tarik dari barisan. Tapi yang terjadi sekarang adalah penangkapan yang meluas. Mahasiswa yang beristirahat di restoran ditangkapi hanya karena memiliki olesan odol di pipi sebagai pereda efek pedih gas air mata. Hal ini menunjukkan polisi melakukan tindakan melawan hukum.
Termasuk saat menangkapi aktivis setelah demonstrasi?
Ini bukan hanya kriminalisasi aktivis, tapi ada upaya menghalangi menyampaikan pendapat di muka umum. Menyampaikan pendapat, seperti yang dilakukan Dandhy Dwi Laksono, bukan perbuatan salah. Malah dijamin konstitusi dan undang-undang. Apa yang dilakukan Ananda Badudu itu terbuka, transparan, dan publik terlibat secara sukarela.
Kalau membantu demonstran dianggap melanggar hukum, Awkarin (selebritas Internet Karin Novilda) juga bisa terjerat....
Ha-ha-ha.... Ya. Selasa siang itu, Awkarin sempat mampir di kantor LBH sebelum membagi-bagikan nasi kotak kepada pengunjuk rasa. Sayangnya, kami semua sudah berangkat dan tidak sempat bertemu di lapangan.
Bagaimana proses pendampingan terhadap pengunjuk rasa yang ditangkap polisi?
Saya enggak mendampingi langsung dan tidak mengetahui detailnya. Ada tim advokasi yang terdiri atas LBH masyarakat, LBH Jakarta, LBH Apik, Institute for Criminal Justice Reform, Walhi. Ada juga dari bantuan pro bono. Kata polisi, semua mau dibebaskan, tapi ada beberapa yang belum. Koalisi membantu pendampingan hukum. Sebab, mahasiswa tidak punya banyak akses ke pengacara. Banyak pula yang bukan dari Jakarta.
YLBHI mencatat ada sekitar 50 pengunjuk rasa yang diduga hilang. Bagaimana proses pendataannya?
Ada tim kami dan banyak orang bersukarela melakukan ini semua. Ini memang dilakukan tergopoh-gopoh, menunjukkan kurang adanya rencana yang detail.
Mengapa bisa kurang koordinasi?
Ini terjadi karena kami tidak saling kenal. Hampir tidak ada koordinasi. Ini justru makin membuktikan gerakan ini tidak ditunggangi. Kalau kami dan mahasiswa bertemu secara intens sebelumnya, pasti kami sekarang sudah ada di dalam gedung DPR, bukan dipukul mundur dengan mudah seperti ini.
Ramai tudingan mahasiswa, apalagi pelajar, berdemonstrasi tanpa pengetahuan yang cukup mengenai penolakan terhadap undang-undang bermasalah. Anda sepakat?
Itu tidak benar. Pertama, tuntutan mahasiswa lebih dari sekadar pasal-pasal teknis di undang-undang. Tuntutannya luas, sampai ke penanganan kebakaran hutan dan lahan. Kedua, mahasiswa sudah mengkaji pasal-pasal itu dengan benar. Cuma, beberapa pasal ada yang sudah diubah oleh DPR. Perubahan ini berlangsung dalam waktu sangat singkat. Jadi kalau mahasiswa, apalagi masyarakat umum, tidak sampai mendapat draf terbaru, itu salah siapa? Kalau kita jeli melihat jawaban dari tim perumus undang-undang itu, mereka juga kerap tidak ingat aturan-aturan yang mereka buat, apalagi masyarakat biasa. Kesilapan ini diolah oleh para buzzer untuk mendangkalkan aksi mahasiswa. Lama-lama kita bisa menjadi negara gagal karena setiap kritik didangkalkan.
Apa implikasinya jika rancangan undang-undang tersebut disahkan?
Intinya, sumber-sumber kehidupan kita akan direnggut untuk korporasi. Di Rancangan Undang-Undang Pertanahan, ada soal hak guna usaha (HGU) selama 90 tahun, banyak detailnya. RUU Sumber Daya Air membuka peluang privatisasi. RUU Minerba melihat bumi sebagai sumber pengerukan tambang. RUU KUHP, ini sudah banyak dibicarakan, menjadi alat pengendalian publik. Yang utama dari semua ini adalah perampasan hak-hak rakyat melalui undang-undang.
Semuanya berhubungan?
Ya. Untuk mendukung perampasan hak, negara perlu rakyat yang tidak bisa melawan. Maka perlu KUHP.
Apakah juga berhubungan dengan Undang-Undang KPK yang baru?
Semua rezim yang menitikberatkan pembangunan yang tidak berperspektif manusia, hanya pada investasi, menganggap pemberantasan korupsi sebagai penghambat. Pernyataan ini pernah disampaikan Fadli Zon (Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra) dan Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan). Pemerintah dan oposisi bersatu. Pemberantasan korupsi dinilai mengganggu investasi maka perlu dilemahkan, ditundukkan. Caranya dengan melemahkan lembaganya dan melemahkan fungsinya lewat undang-undang. Ini semua satu cerita.
Apakah permintaan Presiden Joko Widodo untuk menunda pengesahan sejumlah undang-undang tersebut cukup buat menghapus kekhawatiran itu?
Dalam undang-undang, tidak ada kata penundaan. Pertama, yang meminta menunda Presiden, padahal yang akan mengesahkan DPR. Kedua, sehari setelah Presiden mengeluarkan pernyataan, DPR melakukan lobi dengan Presiden. Apa hasil lobinya? Masa sidang diperpanjang sampai 30 September. Ini sinyal apa? Masih ada peluang untuk mengesahkan. Tidak perlu orang pinter-pinter amat buat baca situasi ini.
Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah dan DPR?
Seharusnya mereka mendengarkan suara rakyat yang menolak rancangan undang-undang tersebut. Ini yang gagal dilihat pemerintah dan DPR. Dan itu diperburuk oleh orang-orang bayaran, buzzer, yang menggaungkan opini sepihak.
Anda berulang kali menyinggung buzzer. Seberapa besar efek kerja mereka?
Mereka mengaburkan tuntutan rakyat. Masyarakat perlu menyadari bahwa politikus yang menyewa buzzer telah memanipulasi suara karena mereka menggunakan akun bot, bukan suara betulan.
Faktanya, tulisan dan poster buzzer banyak juga dibagikan oleh orang yang kita kenal....
Para pembagi perlu berpikir ulang, apakah buzzer mengeluarkan pernyataannya dengan bayaran atau tidak. Kalau ya, itu yang disebut dalam delik korupsi sebagai memperdagangkan pengaruh, trading in influence. Orang seperti itu tidak bisa dipercaya karena mereka berpendapat seperti itu karena dibayar. Bayarannya tidak selalu uang, tapi juga janji mendapat kedudukan.
Asfinawati | Tempat dan tanggal lahir: Bitung, Sulawesi Utara, 26 November 1976 | Pendidikan: SMPN 68 Jakarta (1989-1992) l SMUN 6 Jakarta (1992-1995) l Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1995-2002) | Karier: Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (2017-2021) l Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (2006-2009)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo