Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERPINDAH tugas dari satu negara ke negara lain membuat diplomat menghadapi bermacam kultur dan kejadian unik. Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Inggris dan Irlandia Desra Percaya, misalnya, mengenang pengalamannya saat menjalani tugas belajar di Durham University, sekitar 430 kilometer di utara London, jauh sebelum ia ditunjuk sebagai duta besar di Inggris.
Selama tujuh bulan pada 1997-1998, ia bekerja sebagai petugas kebersihan di toko retail ternama Marks & Spencer di Kota Durham. Ia bekerja paruh waktu karena duit beasiswanya mepet. Apalagi ia membawa serta istri dan dua anaknya saat menempuh studi untuk meraih gelar PhD itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desra bekerja sebelum toko buka dan setelah tutup. Ia melakoninya di sela kegiatan riset dan konsultasi dengan dosen pembimbing. Dari pekerjaan itu, ia memperoleh upah sekitar 82 pound sterling tiap pekan. “Persis seperti buruh lepas,” kata Desra, 59 tahun, saat dihubungi Tempo, Selasa, 10 November lalu.
Bekerja sebagai petugas kebersihan membuat Desra lihai mengepel, mengelap debu, hingga mengkilapkan lantai dengan mesin. Salah satu kisah yang tak terlupakan adalah ketika ia harus bekerja pada Ramadan saat musim dingin. Saat itu suhu di bawah nol derajat dan angin berembus kencang. Adapun jam kerja dimulai sebelum imsak. “Ketika subuh, saya harus mencuri-curi waktu dan mencari tempat untuk menunaikan salat,” kata pria yang gemar meniup saksofon ini.
Status pekerja itu membuat bangga anak perempuannya yang mengira Desra menganggur karena selalu pergi ke perpustakaan. Sang putri bahkan menceritakan pekerjaan ayahnya itu kepada gurunya, Madame McKitterick. “Bapak saya mendapat pekerjaan sebagai cleaner,” Desra menirukan putrinya.
Desra menganggap kisah masa lalunya itu sebagai kenangan manis. Ia ingin mendatangi lagi toko Marks & Spencer di Durham dan berfoto di depannya. Tentu kali ini ia datang sebagai tamu, bukan untuk mengepel dan mengelap debu.
Mohamad Wahid Supriyadi, 61 tahun, memiliki seabrek pengalaman yang tidak kalah seru. Diplomat yang baru pensiun ini meluncurkan buku Diplomasi Ringan dan Lucu pada akhir Oktober lalu. Buku setebal 340 halaman itu berisi kisah nyata selama Wahid menjadi konsul jenderal di Australia serta dua kali menjadi duta besar, yakni di Uni Emirat Arab dan Rusia. “Sengaja saya ambil angle yang tidak terlalu serius. Cerita-cerita ringan, lucu, dan itu memang terjadi,” kata Wahid, Selasa, 10 November lalu.
Saat berdinas di Rusia, suatu ketika Wahid berkunjung ke Kota Makhachkala di Republik Dagestan, salah satu negara bagian dengan penduduk mayoritas muslim. Di sana ia dipertemukan dengan sepasang anak bernama Sukarno bin Kamilevich dan Sukarno bin Magomedovich. “Kalau keduanya berumur 80-an tahun masuk akal. Lha, ini mereka masih berusia 12 dan 10 tahun,” kata pria asal Kebumen, Jawa Tengah, ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohammad Wahid Supriyadi berpose dengan bukunya yang bertajuk “Diplomasi Ringan Dan Lucu” di kediamannya, Depok, Jawa Barat, Rabu, 11 November 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Rupanya kakek buyut dua saudara sepupu itu, Musa Gashimovich, sangat terkesan oleh Presiden Sukarno yang pernah hadir di sidang Kongres Partai Komunis Uni Soviet pada 1961 di Moskow. Saat memasuki waktu zuhur pada hari Jumat, Sukarno meminta izin keluar sidang untuk salat. Musa, yang datang mewakili kelompok tani Dagestan, takjub dengan peristiwa itu. “Sukarno berani minta izin kepada Sekretaris Jenderal Partai Komunis untuk salat,” ujar Wahid terkekeh. Sejak saat itulah Musa melanggengkan nama Sukarno turun-temurun hingga ke cicitnya.
Wahid juga mendapati bahwa warga Rusia sangat menghargai budaya. Museum sesak oleh pengunjung. Terinspirasi fenomena itu, Wahid menggelar Festival Budaya Indonesia di Taman Krasnaya Presnya, Moskow. Ia juga menggagas pembentukan Tim Kesenian Gamelan Dadali pada 2017, yang nyaris semua 30-an pemainnya orang Rusia. Grup ini mengiringi dalang kondang Ki Anom Suroto yang pertama kali mementaskan wayang di Moskow sekitar 1,5 tahun kemudian. “Pak Anom sampai nangis. Katanya orang Jawa saja belum tentu bisa, lho,” ucap Wahid.
Wahid, yang selama ini terbiasa membagikan cerita uniknya kepada orang lain, menghimpun lagi kisah-kisah yang terserak itu. Total ada 83 cerita yang dibukukan. Pandemi membuat Wahid bisa berfokus menuntaskan penulisan buku hanya dalam waktu 2,5 bulan. Bukunya rampung saat ia memasuki masa purnatugas, Juli lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo