Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang kita kenal sebagai Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi alias Jabodetabek masa kini pernah terbagi menjadi wilayah-wilayah kecil bernama tanah partikelir. Menginjakkan kaki di Jawa pada 1806, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels berperan paling besar dalam penjualan tanah-tanah di Batavia dan sekitarnya kepada orang kaya Eropa, Cina, juga pribumi guna memperoleh modal untuk membangun infrastruktur pertahanan. Ada tanah partikelir yang luasnya hanya 4-5 hektare, ada pula wilayah yang mencapai ribuan hektare dan diolah menjadi perkebunan teh, karet, atau biji pala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiap bidang tanah dikuasai oleh tuan tanah yang bebas melakukan dan menerapkan aturan apa saja terhadap warga di atas tanah miliknya. Pemerintah kolonial pun tak dapat campur tangan dalam struktur negara kecil ini. Para tuan tanah memungut pajak kelewat tinggi, memaksa penduduk bekerja tanpa upah, serta mengupah mandor serta centeng untuk memukul dan menyiksa mereka yang tak mau tunduk. Di tengah praktik sewenang-wenang itulah muncul sosok bernama Pitung. Perampok yang jago “maen pukulan” itu menjelma menjadi pahlawan di mata penduduk yang paling menanggung nestapa akibat kekejaman tuan tanah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jan Fabricius, jurnalis dan penulis naskah dram asal Belanda, antara 1920-1930. KITLV
Abdul Chaer dalam buku terbarunya berjudul Mencari Si Pitung: Kontroversi Jago-Jago Betawi mengawali cerita Pitung dari latar sosio-kultural ini. Satu bab awal ia dedikasikan khusus untuk memaparkan fakta dan data tentang tanah partikelir yang luasnya pernah mencapai 63 juta bau di seluruh Pulau Jawa (1 bau = 0,8 hektare). Dia juga merujuk pada berbagai catatan sejarah tentang laku para tuan tanah masa itu. Dari pilihan ini, tertangkap maksud Chaer menempatkan Si Pitung yang riwayatnya telah terbaur di antara mitos dan fakta ke dalam sebuah konteks sejarah.
Meski berangkat dari dokumen sejarah, buku Mencari Si Pitung tak ditujukan untuk menguji mana konstruksi tentang Si Pitung yang paling benar dan dapat dipercaya. Sebagai penulis puluhan judul buku tentang sejarah dan tradisi Betawi, Chaer telah mengumpulkan banyak sekali arsip, cerita rakyat, dan tuturan lisan yang berkembang di masyarakat mengenai berbagai topik dalam budaya Betawi, termasuk seputar Si Pitung. Dalam buku itu, penulis 80 tahun ini memilih membeberkan secara lugas macam-macam versi kisah Si Pitung yang dia kumpulkan. “Untuk mencari versi yang benar secara historis, kita serahkan saja kepada sejarawan,” kata Chaer.
Artikel di surat kabar De Tijd bertanggal 18-11-1893 yang berisi pergulatan antara Hinne dan Pitung, serta kematian Pitung. Wikipedia
Mula-mula, Chaer menuturkan riwayat Si Pitung yang paling diterima luas oleh masyarakat. Tak dijelaskan dari mana sumber cerita ini. Namun Chaer dengan lancar mengisahkan bahwa Pitung adalah nama panggilan untuk Salihun yang lahir di Tangerang pada 1864. Ayahnya, yang bernama Piun, berasal dari Cikoneng, sementara Pinah ibunya adalah orang Rawa Belong. Setelah kedua orang tuanya bercerai, Pitung ikut ibu dan kakeknya tinggal di Rawa Belong.
Titik balik kehidupan Salihun terjadi ketika dia dibegal sepulang menjual kambing-kambing milik kakeknya di Pasar Tanah Abang. Tak berani pulang dengan tangan kosong, Pitung memutuskan mengembara untuk mempelajari ilmu bela diri agar dapat membalas para begal itu. Pitung berguru kepada jawara dari Kemayoran, Pecenongan, dan Jembatan Lima. Setelah merasa cukup kuat, dia kembali ke Rawa Belong. Selain membalas dendam terhadap para preman, rentenir, dan mandor, Pitung memulai sebuah perlawanan yang membuat namanya terus dikenang hingga kini. Dia merampok para tuan tanah yang bergelimang harta di seantero Batavia hingga Tangerang, kemudian membagi-bagikan rampokannya kepada rakyat miskin.
Pitung segera menjadi sosok yang diburu kepolisian Batavia sekaligus dielu-elukan kaum pribumi miskin. Schout Hinne, kepala kepolisian distrik Tanah Abang, memimpin perburuan terhadap Pitung. Setelah berkali-kali berhasil meloloskan diri dengan berbagai tipu muslihatnya, Pitung akhirnya bisa dipojokkan Hinne di sebuah kompleks makam di Tanah Abang. Hinne melepaskan tiga tembakan, satu mengenai dada Pitung dan mencabut nyawanya. Dalam versi ini, Chaer menyebut Pitung wafat pada Oktober 1893.
Artikel di surat kabar Hindia Olanda edisi 16 Oktober 1893 yang memberitakan penangkapan dan kematian Si Pitung. Dok. Perpusnas
Setelah menceritakan versi umum itu, barulah Chaer memaparkan dengan runtut berbagai versi lain yang dia temukan. Chaer mengelompokkan setiap versi dalam judul kecil, seperti “Orang Tua Si Pitung”, “Postur Tubuh Si Pitung”, serta “Tempat Tertembak dan Makam Si Pitung”.
Misalnya, pada bagian “Tempat Tertembak dan Makam Si Pitung”, Chaer menjelaskan bahwa ada versi cerita yang menyebut Pitung tertembak di Pondok Kopi dan tak langsung tewas. Dia dibawa ke rumah sakit militer Weltevreden dan sempat minum tuak dengan polisi yang mengawalnya sebelum menemui ajal. Versi lain mengatakan jasad Pitung dimutilasi oleh polisi kolonial dan dikubur di tempat berbeda karena mereka meyakini Pitung dapat hidup kembali jika dikubur dalam keadaan utuh. Berbagai versi lain menyinggung cerita tentang Pitung yang hanya dapat dibunuh jika ditembak dengan peluru emas atau dilempar telur busuk lebih dulu.
Suasana jalanan Batavia pada 1892. KITLV
Menariknya, ada satu bab yang berisi penolakan tegas Chaer atas salah satu versi Pitung yang dimuat dalam buku Iwan Mahmoed Al-Fattah berjudul Pitung (Pituan Pitulung) yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar pada 2017. Saat memaparkan ragam versi cerita lain, tak terlihat upaya Chaer menggiring pembaca memilih mana yang paling akurat. Namun, ketika membahas cerita Pituan Pitulung yang dikemukakan Iwan Mahmoed, Chaer menyebutnya “menumpang ketenaran nama Si Pitung”.
Bertolak belakang dengan berbagai versi cerita yang menampilkan Si Pitung sebagai sosok tunggal, Iwan Mahmoed menyatakan bahwa “Pitung” adalah akronim dari “Pituan Pitulung”, dari bahasa Jawa Cirebon yang berarti tujuh orang penolong. Menurut Iwan, Pitung merupakan sebuah organisasi yang berdiri pada 1880 dan beranggota murid-murid Haji Naipin yang memiliki ilmu agama dan kemampuan bela diri paling tinggi. Pemimpin kelompok ini adalah Radin Muhammad Ali Nitikusuma, murid terbaik Haji Naipin yang hafal Al-Quran dan menguasai 70 jurus silat.
Iwan menyandarkan tulisannya pada kitab Al-Fatawi yang ditulis Datuk Meong Tuntu, adik Raja Syah Khan Mahmud Majidilah dari Kesultanan Aru Barumun di wilayah Pasai. Disebut dalam buku Iwan bahwa Meong Tuntu membuat kitabnya dalam huruf Wesig menggunakan bahasa Melayu bercampur Sunda Buhun. Kitab ini menceritakan silsilah para pejuang Jayakarta, termasuk tentang gerakan Pituan Pitulung. Kitab Al-Fatawi lalu disalin ke dalam bahasa Arab Melayu oleh Kiai Haji Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma pada 1910.
Sampul buku Mencari Si Pitung, Kontroversi Jago-jago Betawi, karya Abdul Chaer.
Anggota Pituan Pitulung selain Radin Muhammad Ali Nitikusuma adalah Radin Muhammad Roji’ih Nitikusuma, Ki Abdul Qodir, Ki Saman, Radin Rais Sonhaji Nitikusuma, Ki Somad, dan Ki Dulo atau Jaebulloh. Ketujuh lelaki ini disebut sebagai keturunan mujahidin dan bangsawan Jayakarta. Alih-alih menjadi perampok harta tuan tanah, Pituan Pitulung dicitrakan dalam buku Iwan sebagai pejuang yang sewaktu malam diam-diam mengambil kembali harta benda rakyat yang dirampas tuan tanah pada siang harinya. Menurut buku ini juga, tak ada satu pun anggota Pituan Pitulung yang bisa ditangkap, apalagi tewas di tangan Schout Hinne.
Buku Pituan Pitulung juga menyinggung sosok bernama Solihun, yang oleh banyak orang dipercayai sebagai nama asli Pitung. Iwan menulis bahwa Solihun sebenarnya bernama lengkap Ratu Bagus Solihun dan merupakan saudara sepupu Radin Muhammad Ali Nitikusuma, Ketua Pituan Pitulung. Mengikut jejak sepupunya, Solihun gencar melawan penjajah, tapi dia tak pernah bergabung dengan Pituan Pitulung. Solihun belakangan dijuluki “Pitang”, akronim dari “Pituan Menantang”, karena sering menantang Belanda secara terbuka. Maka Pitung dan Pitang merujuk pada dua hal yang sama sekali berbeda, berdasarkan buku Iwan.
Sesungguhnya, bukan Iwan Mahmoed yang pertama kali memunculkan istilah Pituan Pitulung. Dalam In Search of Si Pitung: The History of an Indonesian Legend, Margreet van Till mengutip Koesasi yang menyebut Pitung merupakan kependekan dari Pituan Pitulung atau Kelompok Tujuh. Anggota kelompok ini menyamar dengan pakaian yang amat serupa dengan Si Pitung untuk membuat musuh-musuhnya bingung.
Penduduk kampung di Batavia, 1892. KITLV
Windoro Adi dalam buku Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi yang terbit pada 2010 juga menduga Pitung bukanlah nama orang, melainkan sebuah kelompok. Namun narasi yang dikemukakan Windoro masih bermuara pada Si Pitung yang kita kenal saat ini. Windoro menulis, kelompok ini bermula saat Pitung dan sahabatnya, Jiih, bertemu dengan lima preman pasar saat hendak menjual kambing di Tanah Abang. Dua orang itu berhasil mengalahkan gerombolan preman yang dipimpin oleh Rais. Rais dan anak buahnya yang salut akan ketangguhan Pitung dan Jiih kemudian meminta diajari ilmu bela diri. Demikianlah cerita terbentuknya Pituan Pitulung yang kemudian menjadi komplotan Pitung saat merampok rumah tuan tanah.
Karena dua versi itu masih berakar pada sosok tunggal Si Pitung atau Solihun, Chaer tak mempersoalkan betul. Namun dia mengupas tuntas versi yang disampaikan Iwan Mahmoed dan memaparkan bagian-bagian yang meragukan. Misalnya, nama-nama yang disampaikan Iwan adalah nama yang telah ditambahi embel-embel bangsawan dari orang-orang Betawi biasa yang juga muncul dalam kisah Si Pitung. “Dalam kisah Si Pitung ada nama Salihun, Jiih, Rais, dan Jebul, maka dalam Pituan Pitulung nama-nama itu dilengkapi dengan gelar kebangsawanan: Ratu Bagus Salihun Nitikusuma, Ratu Bagus Raden Muhammad Rojiih Nitikusuma, Ki Rais/Raden Rais Sonhaji Nitikusuma, Ki Dulo alias Jaebullah,” tulis Chaer.
Chaer mengakui salah satu tujuan utamanya menerbitkan buku Mencari Si Pitung memang menjawab argumen Iwan Mahmoed dalam buku Pituan Pitulung. Saat buku itu terbit, sejumlah sejarawan dan tokoh Betawi mempertanyakan klaim-klaim Iwan. “Teman-teman di Lembaga Kebudayaan Betawi yang mendorong saya menulis counter buku ini agar narasinya tidak dibiarkan menyebar begitu saja,” tutur Chaer.
Naskah asli dari kitab Al-Fatawi tentang Pituan Pitulung yang ditulis ulang pada 1910 oleh Kiai Haji Ratu Bagus Ahmad Syar’i Mertakusuma. Dok. Al-Fatawi di Buku Pitung (Pituan Pitulung).
Sejarawan dan penulis buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi, Gusman Nawi, dengan tegas menyebut buku Pituan Pitulung ahistoris dan tak sesuai dengan logika sejarah. Selain itu, banyak tuturan lisan di dalamnya yang tak dilengkapi dengan sumber pembanding.
Salah satu yang disoroti Gusman adalah saat Pituan Pitulung dalam buku itu dikisahkan melawan pasukan Marechaussee atau Marsose pada 1893. Pasukan ini adalah kelompok elite militer Belanda yang terkenal akan kekejamannya saat menghadapi gerilyawan Aceh dalam Perang Aceh pada akhir abad ke-19. Gusman mengungkapkan, menurut fakta sejarah, pasukan ini baru ada di Pulau Jawa pada 1916 berdasarkan Besluit Gubernemen Nomor 19 Tanggal 5 Oktober 1916. “Penyusun buku ingin melebih-lebihkan gengsi Pituan Pitulung,” ucap Gusman. “Sementara Si Pitung cuma berhadapan dengan opas atau polisi biasa dari distrik Tanah Abang, yang dihadapi Pituan Pitulung adalah Marsose.”
Sejarawan JJ Rizal juga menyebut buku Pituan Pitulung lebih banyak berisi khayalan ketimbang kenyataan. Buku ini bahkan dikatakan berupaya menarik sosok Si Pitung yang tadinya milik rakyat menjadi bagian dari kelompok elite bangsawan. “Sebelum buku Iwan Mahmoed, cerita Pituan Pitulung sudah banyak beredar di media sosial,” ujar Rizal. “Saya menghargai respons Abdul Chaer sebagai intelektual yang membalas buku dengan buku.”
•••
BERAGAM versi narasi seputar Si Pitung tak dapat terhindarkan. Jika merujuk pada fakta keras dalam sejarah, sebenarnya sedikit saja yang diketahui tentang sosok yang disejajarkan dengan Robin Hood, pencuri baik hati dari Yorkshire, Inggris, ini. Hal yang diketahui dengan pasti adalah benar pernah ada seorang perampok yang dijuluki “Si Pitoeng”. Koran-koran Melayu, seperti Hindia Olanda dan Bintang Barat, pernah memuat berita tentang pencarian perampok ini.
Dalam penelitiannya, Margreet van Till menemukan sosok Pitung pertama kali muncul dalam koran Hindia Olanda bertanggal 18 Juli 1982. Awalnya, penyebutan namanya berubah-ubah dari “seorang Bitoeng”, “Pitang”, hingga akhirnya konsisten menjadi “Si Pitoeng”. Dia muncul beberapa kali dalam berita sepanjang 1892-1893 karena rumahnya digeledah polisi, kabur dalam penangkapan, ada detektif yang ditunjuk untuk memburunya, serta iming-iming hadiah besar bagi yang berhasil menangkapnya dan Jiih.
Lambang gerakan Pituan Pitulung (Pitung) yang ditulis pada 1910 oleh KH Ahmad Syar'i. Dok. Al-Fatawi di Buku Pitung (Pituan Pitulung).
Surat kabar juga merekam peristiwa kematian Pitung. Koran Lokomotief bertanggal 19 Oktober 1893 yang dikutip Van Till menceritakan kronologi Pitung menemui ajal di tangan Schout Hinne. Setelah ditembak bertubi-tubi oleh Hinne dan anak buahnya, Pitung jatuh tak berdaya. Dia dibawa ke rumah sakit, tapi meninggal tak lama kemudian. Disebutkan juga bahwa permintaan terakhir Pitung adalah segelas tuak dengan es. Koran Lokomotief menulis permintaan terakhir Pitung itu dikabulkan, tapi koran Hindia Olanda pada hari yang sama menyebutnya ditolak.
Adapun cerita tentang kemurah-hatian Pitung berbagi harta rampokan dengan rakyat kecil ataupun kesaktian dan kekebalan tubuhnya sama sekali tak dapat dibuktikan secara ilmiah. Cerita ini berkembang kemudian dan makin dikekalkan karena kebutuhan masyarakat akan sosok seorang pahlawan.
Sampul buku Pitung (Pituan Pitulung), karya Iwan Mahmoed Al-Fattah.
Gusman Nawi menyebutkan dua sumber utama yang dia duga menjadi awal mula berkembangnya mitos tentang Si Pitung. Pertama, film Si Pitoeng produksi Wong Brothers pada 1932. Ini adalah film pertama yang dibuat berdasarkan riwayat Si Pitung. Film ini diproduksi warga Cina peranakan dan ditujukan pula bagi penonton Cina. Herman Shim berperan sebagai Si Pitung. Film ini menginterpretasikan secara bebas sosok Pitung dan memasukkan unsur roman klasik Cina tentang seorang bandit baik hati seperti Robin Hood. “Narasi bandit menjadi hero dalam cerita Pitung dimunculkan oleh film ini,” kata Gusman. “Setelah film ini dirilis, banyak bandit memunculkan diri agar dianggap sebagai pahlawan.”
Bangunan cagar budaya Betawi Rumah Si Pitung di kawasan Marunda, Jakarta Utara, Juli 2015. Dok.TEMPO/M Iqbal Ichsan
Selanjutnya, cerita tentang kesaktian Pitung justru diembuskan oleh seorang wartawan Belanda bernama Jan Fabricius. Menurut Gusman, Fabricius sempat tinggal di Batavia pada saat yang bersamaan dengan periode Pitung. Dia banyak menulis dengan melebih-lebihkan kejahatan dan keseraman Pitung. Tulisan-tulisan ini yang menyebarkan desas-desus tentang kemampuan Pitung menghilang dan kebal senjata.
Bagi Gusman, pencarian rekonstruksi berdasarkan fakta sejarah tentang Pitung sebenarnya sudah selesai. Hal yang masih terus berkembang adalah mitos-mitos yang berkaitan dengan sosok yang dianggap pahlawan oleh banyak orang itu. JJ Rizal mengamini hal ini. “Orang sekarang tak lagi mencari history, tapi story tentang sosok yang dapat dijadikan pahlawan di tengah kemiskinan, perampasan ruang, dan marginalisasi,” tutur Rizal.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo