ARNOLD Mononutu yang biasa dipanggil Oom No, bujangan 83 tahun
itu, mengaku dulu punya banyak pacar. Ketika umur 20-an misalnya
(dia lahir di Manado 4 Desember 1896), setamat HBS (1918) dan
melanjutkan ke Middelbaar Handelschool di Jakarta (tamat 1920),
dia pacaran dengan 2 nona Minahasa.
Ketika masuk Middelbaar Nederlandse School untuk mempelajari
kesusastraan Inggris, Belanda dan Prancis (1920-1924) di Den
Haag, lalu kuliah pada l'Ecole Libre des Science Politique et
Morale di Paris untuk mempelajari hukum internasional, dia punya
pacar 3 orang: 1 di Den Haag, 2 di Paris.
"Waktu itu, pacaran paling hanya sampai cubit-cubitan saja,"
ujar Arnold, yang ketika itu lebih merasa sebagai orang Indo
--sehingga lebih suka memakai nama kecil ayahnya, Wilson, di
belakang namanya. Tapi sejak bertemu dengan Bung Hatta,
Soebardjo dan Natsir Pamuncak di Hotel Twee Steden, 1923, di Den
Haag, dia berubah sikap dan mulai memasang nama marganya. Dan
sejak jadi anggota Perhimpunan Indonesia, "saya lebih tertarik
pada perjuangan daripada pacaran," katanya.
Kembali ke Indonesia 1927, lalu menjadi penterjemah pada sebuah
perusahaan Jepang dengan gaji lebih besar dari gaji camat yang
f.400. "Ketika saya ditawari kedudukan lebih tinggi, saya minta
berhenti. Lebih baik saya membantu pendidikan," katanya. Diapun
menjadi direktur Perguruan Rakyat di Jakatra (1928-1930) dengan
gaji 40 gulden.
"Itulah yang menyebabkan saya tidak pernah kawin," katanya.
Ketika dia berolah gaji yang lebih besar lagi, yaitu setelah
diangkat menjadi menteri penerangan dalam Kabinet Wilopo (1952),
"umur saya sudah limapuluh enam," -- meski waktu itu "ada empat
orang janda yang bersedia menjadi istri saya. Tapi untuk apa?
Mereka hanya mau menjadi nyonya menteri. Untuk etiket keluarga
mungkin itu perlu, tapi jika dalam kamar tidur mereka cuma untuk
pijat-pijat saja, buat apa?"
1953-1955 dia menjadi Dubes RI pertama untuk RRC. Sepulang dari
sana sempat menjadi rektor Universitas Hasanuddin di
Ujungpandang (1960-1965). Sesudah itu menjadi pegawai tinggi
utama madya yang diperbantukan pada Menteri PTIP (1965 -1971) .
Lantas pensiun setelah sebelumnya mendapat Bintang Mahaputera RI
tingkat III dan diakui sebagai Perintis Pergerakan dan
Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
Sebuah panitia menamakan hari ulantahunnya di Balai Pertemuan
DKI 6 Desember lalu, dihadiri kawan-kawan seperjuangannya --
antara lain Wilopo, Roeslan Abdulgani, Mas Agung, Soedjatmoko,
Rosihan Anwar, Tjokropranolo, LN Palar, Ny. Poppy Syahrir dll.
Oom No malam itu mengenakan kopiah, berjas coklat dan bersepatu
putih, dan tak ketinggalan sekuntum mawar tersemat di dada.
Dalam pidatonya yang cukup singkat dan berapi-api, Oom No antara
lain mengatakan: "Oom No sudah delapanpuluh tiga tahun, masih
mau berjuang? Saya bukan Khomeini Indonesia, tetapi seorang
pejuang tidak dapat epensioneerd. Seorang pejuang besar tidak
dapat pensiun, tidak dapat dibeli. Kalau dia lihat yang tidak
beres, dia mesti bicara!" Hadirin riuh bertepuk. Dan
Tjokropranolo memberi komentar: "Mungkin itulah resep umur
panjang Oom No."
Semangat Oom No agaknya memang tak rapuh. Pikirannya masih
jernih dan terang. Dia pun masih aktif membaca -- misalnya
majalah Time, yang uang langganannya dibayari Mas Agung
(distributor Time di Indonesia) sampai 1982.
Suaranya yang masih lantang pun bisa bikin keder 4 pembantu
rumahtangganya, bila mereka terlambat datang memenuhi
panggilannya. Dia tinggal di rumah instansi Pertamina di
bilangan Tebet, dan hidup tenteram dengan uang pensiun berbagai
jabatan yang sebulan berjumlah sekitar Rp 500 ribu.
Rumah itu terawat bersih. Di dinding ruang tamu tergantung
lukisan Henk Ngantung dan Trubus. Ada hadiah dari Chou En-lai
dan seperangkat perabot dari jati yang dikombinasi dengan
beludru.
Kalau mandi, Oom No dibantu seorang pelayan laki-laki.
Sarapannya jam 9, roti dan telur dadar. Makan siang jam 13,
makan malam jam 21, dengan nasi tim. Sebulan dia menghabiskan
uang belanja Rp 100 ribu. Di rumah itu ada 6 orang mahasiswa
yang numpang tinggal. Oom No juga suka makan buah-buahan,
terutama anggur dan apel yang sering dikirim orang kepadanya.
Meski dulu mempelajari kesusastraan, dan menyukai karya Rendra
serta Chairil Anwar, juga pernah menulis skripsi tentang
pengaruh Kesusastraan Jerman, Prancis, Inggris dan Skandinavia
atas Kesusastraan Belanda, dia toh mengaku selalu malas menulis.
Pun untuk menulis memoar.
"Garis besarnya memang sudah ada. Tapi saya akan percayakan pada
orang lain untuk penulisan lengkapnya," katanya sambil mengisap
rokok kalem. Mas Agung katanya akan menerbitkan memoar itu
tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini