Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Berulang tahun

Arnold mononutu, 83, ulang tahunnya diramaikan di balai pertemuan dki, dengan dihadiri kawan-kawan seperjuangannya. masih tetap membujang dan sehat. memoarnya akan diterbitkan mas agung, tahun depan. (pt)

15 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARNOLD Mononutu yang biasa dipanggil Oom No, bujangan 83 tahun itu, mengaku dulu punya banyak pacar. Ketika umur 20-an misalnya (dia lahir di Manado 4 Desember 1896), setamat HBS (1918) dan melanjutkan ke Middelbaar Handelschool di Jakarta (tamat 1920), dia pacaran dengan 2 nona Minahasa. Ketika masuk Middelbaar Nederlandse School untuk mempelajari kesusastraan Inggris, Belanda dan Prancis (1920-1924) di Den Haag, lalu kuliah pada l'Ecole Libre des Science Politique et Morale di Paris untuk mempelajari hukum internasional, dia punya pacar 3 orang: 1 di Den Haag, 2 di Paris. "Waktu itu, pacaran paling hanya sampai cubit-cubitan saja," ujar Arnold, yang ketika itu lebih merasa sebagai orang Indo --sehingga lebih suka memakai nama kecil ayahnya, Wilson, di belakang namanya. Tapi sejak bertemu dengan Bung Hatta, Soebardjo dan Natsir Pamuncak di Hotel Twee Steden, 1923, di Den Haag, dia berubah sikap dan mulai memasang nama marganya. Dan sejak jadi anggota Perhimpunan Indonesia, "saya lebih tertarik pada perjuangan daripada pacaran," katanya. Kembali ke Indonesia 1927, lalu menjadi penterjemah pada sebuah perusahaan Jepang dengan gaji lebih besar dari gaji camat yang f.400. "Ketika saya ditawari kedudukan lebih tinggi, saya minta berhenti. Lebih baik saya membantu pendidikan," katanya. Diapun menjadi direktur Perguruan Rakyat di Jakatra (1928-1930) dengan gaji 40 gulden. "Itulah yang menyebabkan saya tidak pernah kawin," katanya. Ketika dia berolah gaji yang lebih besar lagi, yaitu setelah diangkat menjadi menteri penerangan dalam Kabinet Wilopo (1952), "umur saya sudah limapuluh enam," -- meski waktu itu "ada empat orang janda yang bersedia menjadi istri saya. Tapi untuk apa? Mereka hanya mau menjadi nyonya menteri. Untuk etiket keluarga mungkin itu perlu, tapi jika dalam kamar tidur mereka cuma untuk pijat-pijat saja, buat apa?" 1953-1955 dia menjadi Dubes RI pertama untuk RRC. Sepulang dari sana sempat menjadi rektor Universitas Hasanuddin di Ujungpandang (1960-1965). Sesudah itu menjadi pegawai tinggi utama madya yang diperbantukan pada Menteri PTIP (1965 -1971) . Lantas pensiun setelah sebelumnya mendapat Bintang Mahaputera RI tingkat III dan diakui sebagai Perintis Pergerakan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Sebuah panitia menamakan hari ulantahunnya di Balai Pertemuan DKI 6 Desember lalu, dihadiri kawan-kawan seperjuangannya -- antara lain Wilopo, Roeslan Abdulgani, Mas Agung, Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Tjokropranolo, LN Palar, Ny. Poppy Syahrir dll. Oom No malam itu mengenakan kopiah, berjas coklat dan bersepatu putih, dan tak ketinggalan sekuntum mawar tersemat di dada. Dalam pidatonya yang cukup singkat dan berapi-api, Oom No antara lain mengatakan: "Oom No sudah delapanpuluh tiga tahun, masih mau berjuang? Saya bukan Khomeini Indonesia, tetapi seorang pejuang tidak dapat epensioneerd. Seorang pejuang besar tidak dapat pensiun, tidak dapat dibeli. Kalau dia lihat yang tidak beres, dia mesti bicara!" Hadirin riuh bertepuk. Dan Tjokropranolo memberi komentar: "Mungkin itulah resep umur panjang Oom No." Semangat Oom No agaknya memang tak rapuh. Pikirannya masih jernih dan terang. Dia pun masih aktif membaca -- misalnya majalah Time, yang uang langganannya dibayari Mas Agung (distributor Time di Indonesia) sampai 1982. Suaranya yang masih lantang pun bisa bikin keder 4 pembantu rumahtangganya, bila mereka terlambat datang memenuhi panggilannya. Dia tinggal di rumah instansi Pertamina di bilangan Tebet, dan hidup tenteram dengan uang pensiun berbagai jabatan yang sebulan berjumlah sekitar Rp 500 ribu. Rumah itu terawat bersih. Di dinding ruang tamu tergantung lukisan Henk Ngantung dan Trubus. Ada hadiah dari Chou En-lai dan seperangkat perabot dari jati yang dikombinasi dengan beludru. Kalau mandi, Oom No dibantu seorang pelayan laki-laki. Sarapannya jam 9, roti dan telur dadar. Makan siang jam 13, makan malam jam 21, dengan nasi tim. Sebulan dia menghabiskan uang belanja Rp 100 ribu. Di rumah itu ada 6 orang mahasiswa yang numpang tinggal. Oom No juga suka makan buah-buahan, terutama anggur dan apel yang sering dikirim orang kepadanya. Meski dulu mempelajari kesusastraan, dan menyukai karya Rendra serta Chairil Anwar, juga pernah menulis skripsi tentang pengaruh Kesusastraan Jerman, Prancis, Inggris dan Skandinavia atas Kesusastraan Belanda, dia toh mengaku selalu malas menulis. Pun untuk menulis memoar. "Garis besarnya memang sudah ada. Tapi saya akan percayakan pada orang lain untuk penulisan lengkapnya," katanya sambil mengisap rokok kalem. Mas Agung katanya akan menerbitkan memoar itu tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus