Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ay Tjoe yang Melingkar dan Menyatu

Pameran tunggalnya kali ini hanya menampilkan satu karya, 20 meter, dipajang menyambung di dinding ruang silinder. Ada ”kisah” dari satu garis ke garis yang berikut, dari satu bentuk ke bentuk berikut.

1 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA seperti berada dalam ruang yang menjadikan kita ”terpaksa” melihat yang ditempelkan di dinding. Itulah pertama-tama yang terkesan begitu memasuki ruang berbentuk silinder dengan luas sekitar 200 meter persegi tersebut. Di dinding dalam dipasang melingkar utuh lukisan Ay Tjoe, menurut katalog, sepanjang 20 meter tanpa sambungan. Di dalam ruang yang dibangun dengan tripleks dan kayu di tengah ruang Galeri Sigiarts, Jakarta Selatan, ini memang ke mana mata memandang adalah lukisan Ay Tjoe. Kita dibujuk atau terpaksa memperhatikan karya itu. Anda tertarik, silakan meneruskan mengamati satu per satu bentuk di bidang gambar itu. Anda tidak tertarik, tak ada larangan untuk keluar dari silinder ini.

Memberikan kebebasan tentulah bukan monopoli ruang silinder. Dalam ruang pameran yang mana pun, hal kebebasan itu ada. Yang kemudian berbeda, bila kita tertarik pada karya Ay Tjoe ini, ruang itu membantu (atau mungkin ”memaksa”) kita mengamati satu demi satu bentuk, garis, dan warna pada kanvas lebih dekat.

Semestinya ruang silinder ini adalah gagasan sang seniwatinya (saya tak menemukan penjelasan ihwal ruang silinder dalam katalog). Menurut saya, inilah strategi jitu membuat pengunjung yang tertarik untuk mengamati sentimeter demi sentimeter bidang gambar. Ini diperlukan karena karya Ay Tjoe ini memang seolah berkisah, dari satu bentuk ke bentuk berikut, dan tak jelas awal dan akhirnya. Kita bisa memulai mengikuti ”kisah” itu dari mana saja, sekali, dua kali, atau berulang-ulang. Ruang silinder itu memfasilitasi kita untuk berjalan-jalan berkeliling mengamati karya Ay Tjoe dengan nyaman. Tak ada yang mengganggu perjalanan bentuk, garis, dan warna yang sepertinya sambung-menyambung itu. Akan berbeda bila ruang ini persegi, dan karya tetap dipasang menyambung, belokan di sudut ruang akan membuat kita merasa kurang nyaman.

Dalam pameran hingga 30 Januari 2009 itu, Ay Tjoe menyajikan bentuk-bentuk yang meski tidak realistis, mudah mengingatkan kita pada kenyataan di sekeliling. Pada kanvasnya bisa kita temukan bentuk menyerupai wajah berkacamata, kura-kura, babi, tiang listrik, tempat tidur, orang berpelukan, kapal, dan mungkin Anda bisa menambahkan yang lain. Ada bentuk yang masih mudah dikenali (tiap orang punya kesan sama, misalnya wajah berkacamata itu), ada pula yang tak begitu jelas (memungkinkan tiap orang punya kesan berbeda). Ada blok-blok dan goresan hitam berbaris, seperti tikus atau mungkin babi kecil. Atau garis-garis patah menyambung serta di sudut seperti kepala capung dan belalainya, atau mungkin ini hanya bentuk ”abstrak”.

Ketika kita melihat bentuk yang mirip kenyataan sehari-hari, segera peluang ”kisah” pun muncul. Bukan kisah yang jelas, yang lengkap dengan tokoh dan jalan cerita, melainkan kisah dari fragmen gambar-gambar. Seperti ada sederet makhluk yang hendak memasuki ruang berpintu jeruji. Seperti ada kerumunan orang dan salah seorang menunjuk ke sesuatu. Ada pemandangan rumah-rumah, ranjang, ada bentuk seperti orang membungkuk, entah sembahyang entah orang minta-minta, dan sebagainya.

Kalau kita asyik mengikuti ”cerita” itu, sebenarnya kita sedang berempati (lebih dari simpati) dengan garis, bentuk, dan warna ciptaan Ay Tjoe. Itulah garis-garis yang tajam, bentuk centang-perenang yang kadang seperti menggambarkan suatu obyek, dan warna-warna yang tipis seperti warna cat air. ”Cerita” garis, bidang, dan warna itulah yang membentuk suasana dalam ruang silinder. Garis-garis Ay Tjoe keras, kebanyakan tipis. Benar kata Asmudjo Jono Irianto, kurator pameran, garis Ay Tjoe yang keras bermula dari garis pada karya etsa. Jarum untuk menggores pada logam memang umumnya menghasilkan garis tajam dan keras bila dicetakkan pada kertas atau kanvas. Warna-warna tipis memberikan peluang garis untuk lebih tampil. Dan bentuk-bentuk yang ”ragu”—kadang bentuk itu kita kenali, kadang hanya bidang yang ”abstrak”—juga membantu garis untuk lebih ”bicara”.

Itulah yang saya nikmati berkeliling di ruang silinder itu: garis-garis tajam dan tipis yang ”berkisah”, sambung-menyambung tanpa batas. Bahwa kemudian karya dikaveling-kaveling untuk dipotong dan dikoleksi para kolektor karya seni rupa tidaklah membuat potongan itu menjadi karya yang tidak selesai. Potongan itu akan menjadi lukisan seperti juga lukisan Ay Tjoe yang lain. Yang hilang, keistimewaan karya itu ketika dipajang menyambung menjadi satu di ruang silinder. Jadi sebenarnya untuk apa Ay Tjoe bersusah payah membentuk ruang silinder?

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus