Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menepis Formalisme, <font color=#FF9900>Menelusuri Tradisi</font>

Gregorius Sidharta Soegijo pernah terpesona dengan formalisme Barat, tapi kemudian mengingkarinya. Ia membawa seni patung Indonesia ke pangkuan seni tradisi dengan wajah modern.

1 Februari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PATUNG kayu berbentuk kuda itu belum sepenuhnya selesai, tapi permukaan kayunya sudah lebih halus. Mulutnya terbuka dengan mata bulat yang mengesankan kegarangan. Rambut di kuduknya tergerai rapi. Di punggungnya terukir bentuk pelana. Tapi lihatlah kakinya: lebih mirip kaki meja dengan ragam ukir tradisi ketimbang kaki kuda. Gregorius Sidharta Soegijo belum sempat memberi judul karya itu, karena pria kelahiran Solo ini wafat pada 4 Oktober 2007, menjelang usia 74 tahun.

Patung kuda itu bersama puluhan karya patung, lukisan, dan karya grafisnya dipamerkan kembali lewat pameran retrospektif Homage G. Sidharta Soegijo dalam Seni Rupa Indonesia di Jogja National Museum, Yogyakarta, 22 Januari-5 Februari. Pameran ini sekaligus memperingati seribu hari wafatnya Sidharta.

Patung kuda itu mencerminkan sosok estetika terakhir yang diyakini Sidharta sebagai hasil pergolakan dan perbenturan keyakinan estetika modernisme formalisme dengan seni tradisi. Sidharta dikenal sebagai pematung yang sama kuatnya menghasilkan karya patung monumen dan patung individual. Lebih dari itu, ia dikenal sebagai pematung yang kontroversial, tapi kemudian jalannya yang menyempal dari arus besar seni patung banyak diikuti pematung yang lebih muda.

Setelah mengenal seni rupa dengan semangat ”jiwa ketok” ala Sudjojono dan didikan pelukis Hendra Gunawan yang percaya kepada ekspresi emosi, ia menyelesaikan pendidikan seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta pada 1953. Tapi Sidharta menghadapi modernisme dan formalisme yang steril dari hiruk narasi dan representasi bentuk ketika meneruskan kuliah di Jan van Eijk Academie voor Beeldende Kunst di Maastricht, Belanda, pada 1957.

Di Belanda, ia jatuh cinta pada gaya kubisme, yang menghasilkan lukisan semacam Alam Benda dan Mandolin (1956), yang masih bisa dikenali bentuknya, hingga karya yang sama sekali bercorak abstrak berupa garis-garis geometris penuh warna. Wajah formalisme itulah yang ia bawa pulang ke Yogyakarta, pada saat suhu politik anti-Barat begitu kuat.

Ia sempat mengajar di almamaternya, ASRI, selama enam tahun, bahkan menjabat ketua jurusan seni patung. Tapi wajah formalisme Baratnya membuat Sidharta tak betah lebih lama di ASRI dan ia pun hengkang ke Institut Teknologi Bandung. Di perguruan tinggi yang dikenal dengan sinisme ”laboratorium Barat” ini, Sidharta bersama (almarhum) But Muchtar dan Rita Widagdo mendirikan jurusan seni patung pada 1965.

Di Bandung, semangat modernisme Sidharta bersemi. ”Pengaruh terbesar yang saya rasakan adalah dorongan meredam gejolak emosi untuk lebih memperhatikan bentuk,” ujar Sidharta dalam wawancara dengan Jim Supangkat dan Rizki A. Zaelani pada 1996. Di lingkungan seniman formalis di Bandunglah ia makin meyakini formalisme dengan mengembangkan penghargaan terhadap material (batu, tanah, kayu, pualam). ”Saya rasakan seni patung menyediakan banyak kemungkinan mengembangkan formalisme.”

Selain menggarap karya patung individual, sembari mengajar, ia menggarap patung monumen. Tapi pergaulannya dengan formalisme mulai berjarak ketika kebosanannya memuncak pada awal 1970-an. Ia berpaling dari formalisme. ”Semua hal yang muncul dalam patung-patung saya tampak seperti pernah saya lihat di Barat. Jadi tak ada patung saya yang seakan-akan baru, buat saya,” kata Sidharta.

Sejak itu, ia menoleh ke seni tradisi. Ia berhadap seni tradisi bisa menghilangkan kebosanannya. ”Saya ingin mencari daerah baru yang menantang dan memberikan rangsangan kreatif,” katanya.

Sidharta pun mulai melakukan eksperimen lewat medium grafis. Ia mulai menggambar ornamen. Ia juga mulai menggambar wayang. Eksperimen itu membuat dia bergairah lagi. Ia mengakui ada sensibilitas baru yang sama sekali berbeda dengan apa yang ia alami.

Pergulatan dengan bahasa ungkap baru dari ranah seni tradisi juga berlangsung di Decenta, kelompok seniman yang bermarkas di Jalan Dipati Ukur, Bandung, pada 1970-an. Dalam kelompok ini ada seniman grafis Hariadi Suadi, Priyanto, dan A.D. Pirous.

Pada masa-masa itulah ia membuat seniman patung tersengat dengan munculnya karya patung dari materi kayu yang sebagian permukaannya dipoles cat dengan warna-warna primer. Karya Warna dengan Dimensi (1971), misalnya, berupa jejeran bentuk abstrak geometris yang bagian atasnya dicat warna merah, kuning, dan biru, sedangkan bagian bawah dibiarkan mengekspos material kayu.

Karya ini dinilai menyalahi pakem seni patung yang memperlihatkan kualitas materi patung. Bagi seniman patung kala itu, warna adalah persoalan seni dua dimensi (lukisan), sedangkan patung adalah persoalan seni tiga dimensi. ”Karya itu tidak dihargai kawan-kawannya (kaum formalis) di Bandung,” ujar Rizki A. Zaelani, kurator pameran retrospeksi ini. Karya patung abstraknya yang dibuat dua dekade kemudian mudah dilihat di Taman Pakubuwono, Jakarta, berjudul Tumbuh dan Berkembang, berupa struktur bentuk geometris yang menjulang dengan pulasan warna-warna primer.

Eksperimen menoleh ke seni tradisi lewat medium grafis mulai ia munculkan berupa karya patung figuratif, dari patung figur memainkan kendang, berbagai bentuk pengantin adat, hingga patung figur yang sangat dekoratif semacam karya Tangisan Dewi Batari, yang dikoleksi Fukuoka Asian Art Museum, Jepang. Sidharta tak cuma bermain-main dengan ragam hias seni tradisi, tapi juga mulai memasukkan narasi ke dalam karya patung yang bercorak representasional, semacam Lingkaran Pesan dan Perdamaian (2002).

Pemberontakan Sidharta terhadap pakem patung inilah yang menghasilkan bentuk patung kontemporer saat ini, ketika patung tak lagi sekadar eksplorasi bentuk formal dengan mengekspos kualitas bahan, tapi juga sikap rasional terhadap bentuk bercampur-baur dengan ekspresi emosi. Hasilnya, Sidharta dikenal sebagai satu dari sedikit pematung yang bisa hidup dari karya patung individual, saat sebagian besar pematung sangat bergantung pada proyek patung monumen.

Ketika Sidharta mapan dengan pencapaian estetiknya dalam pergulatan dengan elemen tradisi, ia kembali ke Yogyakarta pada 1997, setelah pensiun dari Institut Teknologi Bandung. Di kota kelahirannya ini, ia menemukan kembali sosok masa silamnya, ketika gejolak estetikanya dipenuhi ekspresi emosi. Di Yogyakarta pula ia mendirikan Asosiasi Pematung Indonesia pada 2000, di tengah situasi kegiatan pameran seni patung bisa dihitung dengan jari, hingga kini.

Raihul Fadjri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus