Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMERIAHAN perayaan ulang tahun Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno di vilanya di kawasan Rancamaya, Bogor, Jawa Barat, dimulai pada pukul 10.30. Segenap keluarga besar Toeti dan sejumlah kolega memeriahkan ulang tahun Toeti ke-83 pada Ahad, 27 November 2016. Ucapan selamat dan doa mengalir terucap serta melalui karangan bunga.
"Saya dan istri cukup bawa sesisir pisang tanduk kesukaan Bu Toeti," ujar Eka Budianta. Sastrawan ini dan istrinya, Melani, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, memang salah satu kolega dekat Toeti. Eka berkisah, perkenalan awalnya dengan Toeti dimulai dari ketertarikannya pada puisi Toeti, "Cintaku Tiga", pada 1974.
Toeti pada akhir 1960-an memang telah menjadi penyair perempuan Indonesia yang menonjol. Kumpulan sajaknya, Sajak-sajak 33, dianggap Profesor A. Teeuw menohok dunia patriarki. Sajak-sajaknya menampilkan pengalaman perempuan dalam perspektif perempuan. Puisi-puisinya mencuatkan keberpihakan perempuan dalam kegeraman terhadap ego lelaki. Toeti pun bisa mempercakapkan puisinya dengan filsafat dan terasa sangat alami.
Kesempatan Eka untuk mengenal Toeti bermula tatkala dia masuk UI dan berteman dengan Inda Noerhadi, putri Toeti yang kuliah di jurusan arkeologi. Bersama Toeti bertahun-tahun kemudian, dia menjadi pengurus kumpulan esais dan novelis Indonesia, menerbitkan majalah Mitra milik Yayasan Mitra Budaya, serta menyelenggarakan Kongres Kebudayaan di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 2003. Eka pernah membuat buku biografi Profesor Roosseno, ayah Toeti. Dia juga pernah diminta Toeti mengurus pemindahan makam leluhur Toeti. Eka tak menyangka Toeti meyakini urusan spiritual dan pantangan dari leluhurnya.
Kedekatan Eka memungkinkan dia dan keluarga terlibat dalam acara keluarga Toeti, bahkan dengan mudah menginap di rumahnya yang tersebar di berbagai kota dan negara. Menurut Eka, insting bisnis Toeti juga berjalan. Pernah suatu kali Eka pulang dari Banda, Maluku, membawa oleh-oleh buah pala dan cengkih. Toeti malah bertanya, "Bisa berapa ton? Berapa kapal?" Tak terpikir oleh Eka saat itu. Rupanya, kemudian Toeti tertarik berbisnis rempah dan mengekspornya. Saat berkunjung ke Eropa, Toeti pun selalu menyempatkan diri mengikuti rapat dengan asosiasi pedagang rempah.
Tentang bagaimana Toeti bisa berbisnis memang mengundang rasa heran banyak orang. Dalam sebuah buku yang memperingati ulang tahun Toeti ke-75, Taufik Abdullah menuliskan kekagumannya. "Kok, bisa meneruskan bisnis ayahnya dan berhasil? Menggabungkan puisi dan bisnis, filsafat dan bisnis?" Sejak muda, Toeti memang terlibat dalam penggalangan pendanaan untuk kesenian. Ia menjadi Ketua Lingkaran Seni Jakarta untuk menghidupkan Taman Ismail Marzuki, yang didirikan Gubernur Ali Sadikin pada 1968. Pada 1973, Lingkaran Seni dibekukan dan ia pun mengajak Ratmini Soedjatmoko bersama Timoer dan Wirantini mendirikan Group Sembilan. Pada 1991, Toeti menjabat Rektor Institut Kesenian Jakarta. Tapi, pada saat yang sama, ia kembali menekuni bisnis keluarga. Toeti menjadi Direktur Biro Oktroi Roosseno, klinik kesehatan, dan banyak lagi usaha.
PERHATIAN Toeti luas. Putri Toeti, Inda Citraninda Noerhadi, sangat maklum ketika ibunya mengurus segala sesuatu, bahkan segala yang remeh-temeh. Sang ibu tak bisa diam. "Beliau maunya apa-apa cepat." Tapi Inda mengakui bahwa ibunya tak pandai memasak, paling hanya bisa membuat nasi goreng atau telur ceplok.
Resep Toeti untuk selalu sehat dan suka bergerak ke mana-mana, kata Inda, adalah dia banyak berteman dan pertemanannya awet. Salah seorang sahabat Toeti yang awet adalah Trisuci Kamal, 80 tahun. Hari lahir mereka berdekatan. Toeti 27 November, Trisuci 28 November. Mereka akrab saat sama-sama kuliah di Belanda. Toeti bahkan menempati kamar Trisuci ketika musikus ini pindah ke Prancis. Bertahun kemudian, Toeti sering menyertai Trisuci menggelar konser di berbagai negara, membantu pendanaan konser, dan menunaikan umrah bersama.
"Dia bisa menikmati minum secangkir kopi dengan temannya meski hanya 10 menit atau mengadakan dua rapat sekaligus," ujar Trisuci, sebagaimana dikatakannya di buku 70 Tahun Toeti Heraty. Sahabatnya itu, kata Trisuci, pribadi yang gemar memberi kejutan. Dia sosok yang lembut tapi berwibawa. Toeti pun hadir di konser perayaan ulang tahun Trisuci pada 28 November lalu.
Selain Trisuci, kawan dekat lainnya adalah Charlotte Panggabean. Saat pembukaan pameran Group Sembilan di Cemara 6 Galeri, Jakarta, pada 22 November lalu, dia memainkan piano komposisi Pavane pour une infante défunte karya Maurice Ravel. Charlotte menyiapkan komposisi ini tiga tahun lalu dan Toeti minta memainkan sendiri. "Dia minta les sama saya, tapi dia kan sangat sibuk. Lalu saya gubah untuk dua tangan dan saya mainkan dengan murid saya."
Toeti juga gemar bermain piano. Dia pernah unjuk kebolehan bermain alat musik itu di Istana Presiden pada era Presiden Sukarno. Berkat kepiawaian itu, saat kuliah dia pun mendapatkan uang dari hasil mengajar piano. Nilainya Rp 50, melengkapi honornya bekerja paruh waktu di apotek sebesar Rp 250 dan asisten dosen sebesar Rp 115.
Semangat yang tetap menyala dan tak kenal lelah juga dikagumi oleh Wirantini Zwijnenburg-Kamarga. Mereka berdua sering jalan bersama dan saling mengunjungi. Wirantini, anggota Group Sembilan, tinggal di Belanda. Toeti-Wirantini lebih banyak berbicara menggunakan bahasa Belanda. "Toeti itu kesibukannya luar biasa. Dia bisa jalan dari Amsterdam ke Oslo lalu ke Prancis dalam waktu berturut-turut," ujarnya saat ditemui di rumah Toeti.
Bagi Toeti, perjalanan ke berbagai kota atau negara dalam waktu singkat bukan masalah. Pelukis A.D. Pirous, yang sempat bekerja sama dengan Toeti saat mengirimkan seniman ke Biennale Venesia 1997, kagum pada semangat Toeti. Dia mampu menjembatani banyak pihak. Juga menghadiri rapat koordinasi di New York, Istanbul, dan Venesia. "Beliau seperti tidak capek. Rupanya, triknya, di hampir separuh perjalanan, beliau tidur. Jadi pas bangun segar. Saya tidak bisa seperti itu," ucap Pirous, terkekeh. Pirous ingat, di Eropa, ia diajak berjalan-jalan menyusuri tepi sungai. "Saya senang dan terkenang saat itu."
Toeti bukan orang yang asing bagi Pirous. Dia masuk lingkaran pengajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung, seperti Ahmad Sadali, Srihadi Soedarsono, dan Pirous, sejak 1960-an. Toeti mengenal Mochtar Apin—pendiri Gelanggang Seniman Indonesia—sebelum akrab dengan Pirous dan kawan-kawan. Bahkan, ketika Toeti dan Apin kembali dari Belanda sama-sama satu kapal pada 1958, Apin-lah yang menganjurkan Toeti agar kelak membuat galeri seni.
Sastrawan Ajip Rosidi, kolega Toeti di Akademi Jakarta, juga melihat Toeti sebagai perempuan, sastrawan, akademikus, dan pebisnis hebat. Toeti menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) setelah menggantikan Ajip, yang berangkat ke Jepang pada 1982. Sebuah peristiwa mengguncangkan terjadi pada masa Toeti menjabat Ketua DKJ. Ketika itu sastrawan F. Rahadi berniat mendatangkan para pekerja seks dalam pementasan puisinya, "Sumpah WTS". Toeti melarang Rahadi mendatangkan para pekerja seks. Dia melarang eksploitasi pekerja seks dijadikan tontonan.
Di mata rohaniwan Mudji Sutrisno, Toeti adalah budayawan, filsuf yang kontekstual. Dia mempunyai perhatian bagaimana perkembangan kebudayaan bisa menuju sebuah peradaban. "Beliau figur lengkap. Ya pendidik, psikolog, seniman, filsuf feminis, dan pebisnis." Mengutip ucapan Romo Mangunwijaya (almarhum), Mudji menyebut Toeti sebagai baronesse.
Dian Yuliastuti, Martha Warta Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo