Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOTA Almere di Provinsi Flevoland sekilas terlihat seperti kota lain di Belanda. Jalanan beraspal mulus dengan jalur sepeda di kanan-kiri, deretan rumah dan kantor, kanal-kanal air, serta kincir angin raksasa berjajar rapi di pinggir kota. Almere adalah kota baru. "Daerah ini dulu laut sedalam 4 meter," kata Ruud Staverman, Project Manager International di Rijkswaterstaat, saat mendampingi Tempo dan empat jurnalis asal Indonesia lain dalam media visit pada akhir Oktober lalu.
Dulu yang dimaksud Staverman adalah lima dasawarsa silam. Pada saat itu Flevoland, provinsi ke-12 sekaligus termuda di Negeri Kincir Angin, baru dibentuk. Prosesnya dimulai dari nol. Lahan tempat calon provinsi itu bahkan belum ada. "Semua hasil reklamasi. Danau dibendung, air laut disedot keluar, lalu dikeringkan," ujar Staverman.
Teronggok di pojok tenggara IJsselmeer—teluk yang diubah menjadi danau—Flevoland berukuran 165 ribu hektare, kurang-lebih seluas Kota Bandung. "Wilayah ini dirancang untuk bisa menampung 400 ribu penduduk," ucap Staverman. Beribu kota di Lelystad, separuh penduduk Flevoland justru memilih tinggal di Almere, yang hanya berjarak 34 kilometer dari Ibu Kota Amsterdam. "Kebanyakan warga di sini bekerja di Amsterdam."
Terletak di bawah permukaan laut, Flevoland terkepung air. Agar daratan tetap kering, Rijkswaterstaat—badan eksekutif bidang infrastruktur vital di Belanda—membangun empat stasiun pompa di sekeliling Flevoland. Stasiun penyedot air berskala besar terpasang di Kota Lelystad (stasiun pompa Wortman), Ketelhaven (Colijn), Harderwijk (Lovink), dan Almere (De Blocq van Kuffeler). Semua dimiliki dan dikelola oleh Waterboard, badan otonom pengelola bendungan dan air. Di Belanda, terdapat 23 Waterboard.
Fred de Visser, teknisi di Blocq Kuffeler, mengatakan stasiun pompa di Almere terdiri atas empat mesin pompa dan satu cadangan. "Mampu menyedot 3.200 meter kubik per menit. Ini salah satu pompa air terbesar di Eropa Barat," ucapnya. Pagi itu mesin-mesin pompa Blocq Kuffeler tak beroperasi. Beberapa hari tidak ada hujan, muka air di kanal-kanal Flevoland lebih rendah daripada perairan di luar pulau. Pada akhir musim gugur itu status masih aman.
Mesin pompa di Blocq Kuffeler, seperti di Lovink dan Colijn, bertenaga listrik. Mesin-mesin tersebut lebih sering beroperasi pada malam hari karena ongkos listrik lebih murah. "Biasanya mulai pukul 20.00 sampai pagi," kata Buce Hunitetu, 61 tahun, teknisi listrik Blocq Kuffeler. Ini berbeda dengan stasiun Wortman, yang bertenaga diesel. "Bisa menghabiskan 160 liter bahan bakar per jam," Visser menambahkan.
Blocq Kuffeler tidak hanya bersih dan rapi. Stasiun pompa ini juga dilengkapi ruang kendali mutakhir. Menurut Visser, semua stasiun pompa telah terkomputerisasi secara bertahap sejak 1989. Mesin pompa dapat dikontrol dari jauh. "Jika musim hujan tiba, operator bisa menghidupkan pompa lewat laptop dari rumah," katanya. Dulu diperlukan sepuluh pegawai untuk setiap stasiun pompa, kini cukup satu-dua orang saja.
Polder—begitu orang Belanda menyebutnya—adalah daratan buatan di bawah muka laut yang dibentuk lewat reklamasi. Di Belanda, reklamasi tak menguruk laut. Mereka memagari perairan dengan tanggul, lantas mengasatkannya. Tanggul dibikin dari adonan pasir, lempung, dan batu, tanpa dibeton. Walhasil, terbentuk "pulau" baru penambah daratan. Dengan wilayah seluas Sumatera Barat, Belanda dihuni 17 juta jiwa.
Menurut Staverman, teknik reklamasi ala Holland ini berjalan sukses karena perairan yang dikuras relatif dangkal. Flevoland, misalnya, terletak di IJsselmeer, danau sedalam tiga-lima meter. "Dulu saat awal dibangun sering ditemukan kerang dan biota laut di sini," kata pria berambut putih tersebut, menunjuk pada Almere, Lelystad, dan kota-kota lain di Flevoland.
Flevoland hanyalah satu dari belasan polder di Belanda. Rijkswaterstaat, yang bernaung di bawah Kementerian Infrastruktur dan Lingkungan, giat membangun polder dalam satu abad terakhir. Sebagian polder dibentuk dari estuari ataupun laguna, seperti Veerse Meer (tahun 1961), Grevelingen (1971), Krammer Volkerah (1983), Markiezaat (1984), dan Oosterschelde (1984). Flevoland tercatat sebagai polder terluas di dunia.
Terletak di muara Sungai Rhine, Meuse, dan Scheldt, lanskap alam Belanda datar. Dua pertiga wilayahnya bahkan di bawah muka laut. Berhadapan dengan laut utara yang ganas, Belanda telah dikoyak serangkaian banjir dan badai besar selama berabad-abad. Ratusan ribu jiwa tewas. Banjir juga melahap sebagian besar sawah dan lahan di tepian teluk Zuiderzee di Belanda tengah. "Kami belajar dengan cara yang keras," ucap Staverman.
Adalah Cornelis Lely, insinyur sipil kelahiran 1854, yang mengubah wajah lanskap Negeri Oranye. Dia dikenal sebagai bapak reklamasi modern Belanda. Lely, berkaca dari banjir besar yang menerjang Zuiderzee pada 1916, menggagas Proyek Zuiderzee. Selama hampir 50 tahun, Belanda menggarap proyek rekayasa perairan paling ambisius dalam sejarah negeri itu.
Mereka mengawalinya dengan membangun Afsluitdijk, tanggul raksasa yang memisahkan perairan Zuiderzee dengan laut utara, dan menjadikannya Danau IJsselmeer. Afsluitdijk sangat vital sebagai pelindung utama IJsselmeer dari gempuran banjir dan badai dari laut utara. Berkat "tembok kokoh" Afsluitdijk, Lely dapat menggarap empat polder raksasa di IJsselmeer; Wieringermeer, Noordoost, Eastern Flevoland, dan Southern Flevoland.
Afsluitdijk terlihat gigantik. Membentang lurus sejauh 32 kilometer, tanggul laut ini merentang selebar 90 meter dan tinggi 7,25 meter. Tempo melintasi Afsluitdijk dari Desa Den Oever di Provinsi North Holland menuju Desa Zurich di Provinsi Friesland. Ada empat lajur kendaraan di punggung Afsluitdijk. "Tanggul ini vital untuk menangkis datangnya siklus badai hebat," kata Joost van de Beek, Manajer Proyek Afsluitdijk.
Dibangun pada 1927, Afsluitdijk rampung lima tahun kemudian. Tanggul dibangun dari lempung, pasir, dan bebatuan. "Kami tidak pakai beton sama sekali karena sangat mahal," kata Staverman. Belanda, negeri yang tak punya gunung, bahkan harus mengimpor batu dari negara Skandinavia, Belgia, dan Jerman. Begitu tanggul merentang, air laut di IJsselmeer dipompa ke laut utara. "Butuh dua tahun untuk mengubah air laut jadi tawar."
Belanda menawarkan konsep tanggul laut seperti Afsluitdijk untuk Teluk Jakarta. Namun, menurut pakar ekologi di Rijkswaterstaat, Mennobart van Eerden, kondisi di pesisir utara Jakarta yang menjadi muara 13 sungai berbeda. "Hati-hati eutrofikasi. Zat hara tinggi dari sungai dapat memicu blooming algae," ujarnya. Menurut dia, tanggul laut harus memungkinkan air laut bertukar secara masif dengan air tawar. "Jadi air tidak terperangkap."
Blooming algae menjadi petaka bagi nelayan. Fenomena pertumbuhan alga yang supercepat membuat jumlahnya sangat berlimpah dan menutup permukaan laut. Akibatnya, kualitas air merosot dan memicu kematian massal ikan. "Komunitas sekitarnya juga terganggu oleh bau tidak sedap," kata Eerden. Belanda pernah mengecap pengalaman pahit dengan blooming algae setelah membangun Noordoost Polder pada awal 1960-an. "Kami butuh lebih dari 25 tahun untuk memulihkan ekosistem."
Alan Frendy Koropitan, ahli oseanografi dari Institut Pertanian Bogor, berpendapat bahwa tanggul laut raksasa di pesisir utara Jakarta hanya akan memperparah dampak reklamasi 17 pulau yang dibuat lewat pengurukan. "Reklamasi memperlemah sirkulasi arus di tengah teluk dan menurunkan waktu simpan dalam mencuci bahan pencemar dari daratan," ucapnya. Akibatnya, terjadi sedimentasi, eutrofikasi, dan penumpukan logam berat.
Menurut Alan, reklamasi di Belanda berbeda dengan Teluk Jakarta. Flevoland, misalnya, semula adalah daratan beribu tahun silam. "Karena terjadi penurunan muka tanah, tempat itu menjadi perairan teluk," ujarnya. Karena itu, Belanda mengasatkannya lagi menjadi daratan. "Di Jakarta, reklamasi bukan 'me-reclaim', tapi membuat pulau-pulau palsu."
Rencana tanggul raksasa juga ditentang Muslim Muin. Pakar teknik kelautan dari Institut Teknologi Bandung ini menilai Belanda menghadapi ancaman badai dari laut utara. Itu sebabnya mereka perlu Afsluitdijk. "Storm surge mendorong air ke teluk dan memicu banjir," katanya. Di Jakarta, dengan pantai melebar, tidak ada ancaman badai dari Laut Jawa. "Angin tidak tegak lurus dengan pantai Jakarta, tapi sejajar garis pantai."
Musuh utama Jakarta, Muin melanjutkan, adalah penurunan muka tanah, bukan kenaikan muka laut. Hasil riset ITB menunjukkan laju amblesan tanah di pesisir Ibu Kota berkisar 1-15 sentimeter per tahun. Di sejumlah wilayah, tanah turun hingga 26 sentimeter. Sedangkan paras laut hanya naik 7,3 milimeter per tahun. "Walaupun tanah ambles, solusinya bukan menutup teluk," ucapnya. "Cukup menanggul pantai dan sungai di daerah yang ambles."
Di Afsluitdijk, pergulatan dengan alam belum tuntas. Rogier Monderen, Sekretaris Program Pembaruan Afsluitdijk di Provinsi Friesland, mengatakan mereka masih akan melengkapi tanggul jumbo itu dengan stasiun pompa raksasa. "Dalam satu menit, pompa itu mampu menyedot air 10 kali kolam renang," katanya. Lewat proyek De Nieuwe Afsluitdijk, mereka juga tengah menggarap dua jalur khusus untuk migrasi ikan di tiap pangkal tanggul.
Komunitas ikan rupanya tak mencicipi faedah Afsluitdijk. Selama lebih dari 80 tahun spesies ikan migran, seperti houting, fint, elft, zeeforel, zeeprik, rivierprik, dan bot, hidup terpisah oleh tanggul. Dengan jalur migrasi, kata Monderen, ikan-ikan itu bisa wira-wiri dari laut utara ke IJsselmeer dengan melintasi perairan payau. "Ironis, ya. Kami membuat tanggul untuk memisah air laut dan tawar, tapi kini kami harus melubanginya demi lalu lintas ikan," ujarnya.
Mahardika Satria Hadi (Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo