Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kota Tua dari Lensa Isabelle

Kota Tua Jakarta bukan hanya cerita tentang bangunan kolonial dan upaya revitalisasinya, tapi juga tentang orang-orang yang mengais rezeki di sana.

5 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMAT, pukul setengah delapan pagi. Musik berdentum-dentum di Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta. Sekitar 60 orang tengah berkumpul di sana, mengikuti irama bertempo cepat dengan aerobik bersama. Dian, sang instruktur aerobik, memimpin dari tangga Museum Sejarah Jakarta. Dian menjadi obyek yang dipotret Isabelle Boon pagi itu.

Potret Bu Dian yang memimpin aerobik itu kini dipajang dalam pameran tunggal Boon yang bertajuk "Heritage in Transitions" di Gedung Tjipta Niaga, Kota Tua, Jakarta, hingga Januari tahun depan. Dalam potret, Bu Dian tidak lagi muda, tapi ukuran perutnya tak kalah dengan mereka yang masih muda. Bu Dian merupakan metafora obyek yang menjadi latar potret itu: kota tua yang tengah direvitalisasi. Pada saat yang sama, Bu Dian hanyalah satu dari puluhan aktivitas di Kota Tua yang terekam oleh bidikan lensa kamera Boon.

Lalu ada Antoni, pemain skateboard yang dipotret aksinya di pelataran Taman Fatahillah. Ada juga potret muda-mudi yang sedang melakukan selfie di pelataran yang sama. Potret turis lokal berpose bersama "patung hidup" saat akhir pekan. Tapi Boon, fotografer asal Rotterdam, Belanda, tidak berhenti di sana. Dia memasuki gedung tua telantar di belakang Taman Fatahillah. Di balik pintu gedung kolonial yang reyot itu, Boon menemukan lorong-lorong sempit penuh rumah. Lorong-lorong sempit tempat tinggal para "patung hidup". Mereka yang pada akhir pekan berkostum superhero, tokoh kartun, atau tentara kolonial. Mereka yang dibayar seikhlasnya bila turis hendak berfoto.

Boon lalu bertemu dengan Bu Aas dan Pak Sarman di bagian belakang gedung itu. Ruangan tempat tinggal mereka berukuran 2 x 2 meter dan ditata efisien. Di samping televisi ada rak kecil yang digunakan sebagai lemari dapur, lantainya dialasi kardus bergambar logo klub-klub sepak bola Eropa. Potret Bu Aas dan Pak Sarman di ruangan itu terpampang dalam pameran yang sama.

"Saya ingin pameran ini menampilkan orang-orang yang sebenarnya tinggal di Kota Tua. Bagaimana mereka hidup dan mencari nafkah di sana," kata Boon lewat surat elektronik, Rabu pekan lalu. Enam tahun lalu, Boon singgah di Kota Tua saat revitalisasi pertama kali dicanangkan. Saat banyak orang berbicara tentang arsitektur bersejarah, pariwisata, dan pertumbuhan ekonomi, Boon justru tertarik pada orang-orang yang mengais rezeki dan tinggal di bangunan kolonial setengah roboh. Mereka yang mengumpulkan barang-barang, menjual produk, atau menyiapkan makanan. Boon memotret dan mewawancarai mereka.

Dalam pameran ini, pengunjung bisa melihat potret sebuah keluarga. Seorang perempuan yang duduk di sofa di pinggiran dermaga kali besar bersama lima anak, dua di antaranya masih di bawah lima tahun. Menurut Boon, perempuan itu dan keluarganya tinggal di kolong jembatan sungai yang berbau busuk. "Mereka tidak tahu berapa lama mereka akan tinggal karena tempat itu akan digusur," ujar Boon. Persoalan penggusuran ini juga tampak pada potret Pak Anen, sopir truk yang duduk di batang pohon dekat rumahnya di Kali Besar. Namun dia tak takut bila digusur karena yakin akan menemukan tempat tinggal baru.

Karya-karya Boon dalam pameran ini kaya dengan perspektif sosial penduduk kota tua yang jarang terekspos. Banyak orang yang tinggal ilegal dan tak layak di gedung tua telantar, di kolong jembatan, bantaran kali, hingga fondasi beton. Pemerintah Provinsi Jakarta memang melakukan penertiban, tapi selang beberapa hari kemudian mereka akan kembali membangun rumah di tempat semula. Persoalan ini tak pernah benar-benar tuntas.

Gudang tua VOC (Westzijdsche Pakhuis) juga jadi obyek Boon. Di sisi dalam gudang itu, dia memotret Ogi, 10 tahun, yang tengah bermain di balok kayu yang dulu merupakan rangka atap gudang itu. Kadang Boon melihat kadal atau ular di air yang menggenangi gudang itu. Ada juga potret Wayan Desi, salah satu penduduk yang tengah menyirami pot-pot bunga gantung di halaman rumahnya. Dari foto yang diambil Boon, tampak bahwa tempat tinggalnya hanya bisa dicapai dengan jalan setapak dari papan kayu tua. Air menjadi problem di kawasan tempat tinggalnya yang bersebelahan dengan Museum Bahari. Satu bagian dari dapur mereka, kata Boon, permanen digenangi air.

Toh, potret-potret ini tidak hanya berbicara tentang problem, tapi juga semangat dan optimisme dalam keseharian mereka. Tengok saja foto anak-anak yang bersenda gurau di atas tumpukan karung barang bekas; Tommy dan Andri, dua pemuda yang mencuci mobil; ibu pengumpul plastik, Warung Nasi Bu Uni; dan bapak Pengangkut Air. Ada juga foto-foto yang berfokus pada lingkungan, seperti foto Pasar Ikan yang tengah diuruk, Keramaian di Akhir Pekan, dan pemandangan kawasan Kali Besar di ketinggian.

Komposisi, warna, dan detail foto-foto dalam pameran ini sangat cermat. Tengoklah karya Riko, potret seorang anak dengan latar gambar Sukarno. Ada juga foto salah satu pekerja di Gedung Tjipta Niaga yang tengah memperbaiki jendela diambil dari dalam ruangan. Sang pekerja menjadi fokus dengan jendela menjadi bingkainya. Atau foto dua gedung yang diambil Di Belakang Museum Bahari.

Sejumlah foto lain diambil dengan menekankan detail. Seperti foto Tembok Kota Tua Jakarta yang menekankan pada sulur-sulur akar di atas tembok, foto Kayu Jati Kuno yang memfokuskan pada tangan para pekerja yang mengikir kayu jati, atau detail kaya warna dalam foto kaki para pekerja di atas balok dalam Merenovasi Cipta Niaga. Total ada 32 foto yang dipajang dalam pameran ini.

Pameran ini merupakan tahap kedua dari proyek Boon. Sebelumnya, pada September-Oktober tahun ini, Boon menggelar pameran bertajuk sama di Semarang. Bedanya, pada pameran itu dia menampilkan karya-karya foto Kota Lama Semarang yang juga tengah mengalami revitalisasi. Boon sendiri melihat ada persamaan dari aspek sosial masyarakat di Kota Tua Jakarta dan Kota Lama Semarang. Bedanya, "Kota Tua Jakarta lebih seperti kota besar, sementara Kota Lama Semarang terasa seperti sebuah kampung."

Amandra M. Megarani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus