Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FOTO hitam-putih Toeti Heraty ketika berusia 38 tahun terpajang di kartu undangan perayaan ulang tahunnya yang ke-83. Matanya mengerling dengan senyum yang menampakkan barisan giginya. Rambut dikonde rapi dan di bagian depannya diberi sedikit sasak. Giwang berukuran sedang menempel di kedua telinganya.
Potret itu dipotong dari gambar aslinya yang diambil pada 1971, ketika Toeti sedang bersama pelukis Sudjojono dan Salim di Jakarta. Tahun itu pula Toeti berangkat ke Leiden, Belanda, untuk melanjutkan studi master filsafat. Bidang ilmu tersebut menjadi kesukaan istri biolog Eddi Noerhadi ini setelah belajar kedokteran dan psikologi.
Toeti mengatakan, meski usianya sudah 83 tahun, semangatnya harus seperti saat berusia 38 tahun. "Teman saya satu-satu sudah meninggal," kata nenek delapan cucu ini ketika ditemui Tempo di rumahnya di Jalan H O.S. Cokroaminoto, Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu. Wawancara khusus dilakukan dua kali. Sebelumnya, Tempo menemui Toeti saat pembukaan pameran Group Sembilan.
Di samping kesibukannya mengurus bisnis dan keluarga, Toeti menyempatkan diri menyambangi teman-temannya yang sudah sepuh. Antara lain, ketika ia mengumpulkan kembali anggota Group Sembilan dalam pameran di Cemara 6 Galeri—yang tembus ke rumah Toeti—Selasa dua pekan lalu. Acara ini diresmikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
SAYA lahir sebagai anak sulung dari enam anak pasangan Profesor Dr Ir R Roosseno, yang mengajar di Technische Hoogeschool (THS, sekarang Institut Teknologi Bandung), dan Ibu RA Oentari di Bandung pada 27 November 1933. Ayah saya berasal dari Madiun, sedangkan Ibu dari Kediri.
Sejak kecil, saya tinggal berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Di awal sekolah, saya tinggal di Bandung dan Kediri. Menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School di Zeelandia Straat—kini menjadi gereja Protestan di Jalan Maulana Yusuf, Bandung—dan di Europeesche Lagere School berbahasa Belanda di Kediri, karena ayah saya bekerja di Waterstaat, biro irigasi pekerjaan umum di sana.
Ketika Jepang datang, Ayah ditugasi menjadi Kepala Kogyo Daigaku, THS dengan nama baru. Keluarga saya tinggal di Jalan Dago 72, tak jauh dari kampus ITB. Selesai sekolah dasar, saya melanjutkan ke SMP Putri. Di masa remaja ini, saya membaca karya Karl May. Saya menyukai buku dan piano.
Tapi, setahun kemudian, Bandung menjadi lautan api. Kami sekeluarga mengungsi pertama ke rumah keluarga Senosastro di Bandung Selatan, lalu ke Madiun, kampung halaman Ayah. Eyang saya menjabat patih yang cukup disegani di daerah itu. Di sini saya mendapatkan kesempatan berkunjung ke sanak saudara dan mengunjungi makam keluarga.
Kemudian terakhir mengungsi ke Yogyakarta, yang menjadi ibu kota Republik Indonesia kala itu. Saya kembali melanjutkan SMP Putri di Jembatan Gondolayu, dekat Kali Code. Ayah saya bersama Sultan Hamengku Buwono IX mendirikan Universitas Gadjah Mada, lalu diangkat menjadi Dekan Fakultas Teknik.
Masa-masa pengungsian di Madiun dan Yogyakarta adalah saat yang berat, bahkan bagi keluarga saya yang tergolong mapan. Satu per satu perhiasan Ibu dijual untuk menghidupi keluarga ketika hari-hari pengungsian bersama keluarga-keluarga lain yang ikut menumpang di Jalan Pakuningratan 48.
Setelah mengungsi, saya melanjutkan studi ke SMA Istimewa di Jakarta karena Ayah menjabat menteri di kabinet. Saya mulai membaca filsafat dan menyukai bahasa Jerman. Saya mulai membaca Lady Chatterley's Lover karya D.H. Lawrence, yang pernah disensor di Inggris; The Women of Rome karya Alberto Moravia; dan Sturmfels karya Marie Boddaert.
Ayah saya kurang tertarik pada seni sastra. Sedangkan Ibu adalah seorang perempuan yang menikmati pekerjaannya di rumah, menata rumah dan memasak. Ayah sering memergoki saya belum tertidur di malam hari karena masih membaca buku. Lalu ia mematikan lampu kamar.
Pada 1951, saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia walaupun tidak tertarik, karena memenuhi keinginan orang tua. Sambil kuliah, saya bekerja menjadi asisten botani di Salemba, kemudian mengiringi musik piano di tempat les balet, dan bekerja sore hari di Apotek Tunggal. Setiap bulan, saya mendapatkan uang Rp 415. Uang itu saya gunakan membeli buku-buku sastra mahal.
Hingga saat lulus tingkat IV (sarjana muda), saya memutuskan berhenti kuliah kedokteran, karena saya resah dan tertarik belajar jiwa manusia. Ketika itu saya menerima surat dari ayah teman Ann (Andilin Koesnoen), yang memberikan beasiswa sebesar 50 ribu gulden untuk sekolah di Belanda. Saya memutuskan pergi belajar psikologi. Ayah saya kecewa berat terhadap keputusan saya.
PADA masa-masa awal kuliah di Belanda, saya sempat berkunjung ke rumah sepupu, Indrawati Roosheru Ganjar, di Utrecht. Adapun saya kuliah psikologi di Universitas Amsterdam. Di Utrecht, saya dikenalkan pada senior Indrawati, bernama Eddi Noerhadi—yang kemudian menjadi suami saya.
Eddi, yang usianya tujuh tahun lebih tua dari saya, adalah orang yang mempunyai wawasan luas. Dari Eddi, saya bisa belajar banyak. Saya menyukainya karena, meski tidak romantis, dia menggebu. Lalu kami menikah setahun kemudian pada 12 Juli 1957. Kala itu usia saya masih 24 tahun. Pemikiran saya masih konvensional.
Pada 1958, saya dan Noerhadi serta dua anak saya (kembar), Sita dan Inda, kembali ke Tanah Air menggunakan kapal terakhir Willem Ruys. Hubungan Indonesia-Belanda memanas, sehingga semua pelajar diharuskan pulang. Eddi sudah lulus Biologi dari Utrecht, sedangkan saya lulus sarjana muda psikologi.
Saya pulang ke Bandung—tempat Noerhadi mengajar di Jurusan Botani ITB. Saya menjadi ibu rumah tangga yang mengurus anak dan suami sekaligus asisten psikologi Drs Wulur, yang memimpin lembaga penelitian di IKIP Bumi Siliwangi. Dalam tiga tahun, kami mempunyai empat anak (nomor satu dan dua adalah kembar).
Dalam kondisi hamil anak keempat, saya melanjutkan studi S-1 psikologi di Universitas Indonesia, karena Universitas Padjadjaran belum membuka jurusan psikologi. Saya berangkat Senin ke Jakarta dan pulang Jumat. Saya merasa harus menebus dosa kepada orang tua karena pindah-pindah studi sejak 1951, hingga akhirnya lulus sarjana psikologi pada 1962. Ijazah didapat, saya menjadi dosen di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.
BERSELANG tahun, saya kembali resah terhadap kehidupan yang monoton: mengajar, ikut arisan, dan mengurus anak. Teman-teman arisan saya bilang bahwa saya ibu rumah tangga amatiran. Sebab, bila setiap arisan, saya hanya diminta membawa kerupuk dan buah. Saya pun meminta izin suami untuk hijrah ke Jakarta pada 1966. Tahun itu, suami saya baru lulus promosi doktor dari Amerika Serikat. Janji awalnya tiga tahun, tapi akhirnya hingga saat ini saya tak pernah pulang ke Bandung. Eddi kemudian menyusul ke Jakarta setelah pensiun pada usia 56 tahun dari ITB.
Saya menjual perhiasan untuk menyewa paviliun di Jalan Palm, dekat Balai Budaya. Saya membawa bungsu, Cyril Noerhadi, ke Jakarta karena tiga anak saya lainnya masih sekolah, tiga bulan lagi pergantian kelas. Saya menjadi sering berkunjung ke Balai Budaya dan bertemu dengan seniman-seniman. Meski sebelumnya di Bandung, tempat kerja suami di Jurusan Botani, letaknya bersebelahan dengan Jurusan Seni Rupa. Di sana antara lain bertemu dengan Mochtar Apin, yang pulang sekolah dari Prancis, yang kemudian menjadi kolega Noerhadi di ITB.
Di Jakarta, saya bertemu dengan Asrul Sani, Sjuman Djaya, Sriyani, dan Bibsy Soenharjo, yang kini berusia 88 tahun, dan baru saja saya kunjungi pada Senin dua pekan lalu di rumahnya di Pamulang, Tangerang Selatan, karena ia terbaring sakit. Saya kemudian mulai menulis puisi, dan karya-karya saya dimuat di majalah sastra Horison, Budaya Jaya, dan Sastra. Puisi-puisi awal dipublikasikan menjadi Sajak-sajak 33.
Pada 1971, saya kembali membuat kejutan. Janji awal hanya ke Jakarta malah melebar mengambil studi master di bidang filsafat di Leiden. Saya membawa dua putri saya, Sita dan Inda. Sedangkan dua anak lainnya dititipkan kepada suami. Tapi, sebelum berangkat, saya meminta Sudjojono melukis saya bersama Migni dan Cyril (yang bersama Noerhadi).
INDA Noerhadi mengatakan ibunya adalah perempuan yang selalu bersemangat meski usianya sudah 83 tahun. Toeti, kata dia, sangat detail dalam urusan publik ataupun pekerjaan rumah tangga. "Yang enggak kepikiran oleh kami, terpikir oleh dia. Luar biasa di usia 83 ini. Semangatnya, pemikirannya," ujarnya.
Menurut dia, Toeti sangat memahami bakat dan kemampuan keempat anaknya dan mengarahkannya dengan tepat. Seperti yang ia rasakan ketika Toeti menyemangatinya mengambil Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia—meski saat itu ia diterima di Jurusan Seni Rupa Universitas Trisakti. Sedangkan saudara kembarnya, Sita Noerhadi, mengambil jurusan hukum dan kini turut mengurusi bisnis keluarga di bidang hak kekayaan intelektual, Biro Oktroi Roosseno.
Lulus dari UI, Inda melanjutkan studi ke Jurusan Sejarah Seni University of Pittsburg Pennsylvania, Amerika Serikat (1983-1986). Pada 1993, ia membuat konsep Cemara 6 Galeri, dengan perpaduan galeri-kafe-perpustakaan, seperti galeri-galeri yang ditemuinya di Eropa dan Amerika.
Ketika Toeti membawa Inda dan kembarannya ke Belanda, mereka sering mengunjungi museum. Inda juga belajar seni rupa selama enam bulan di Academie voor Beelen de Kunsten di Den Haag pada 1973. Ditambah lagi les melukis pada Srihadi. Sebelumnya, ia melihat Toeti berteman dengan seniman-seniman di Bandung dan Jakarta.
Inda, yang bergabung dengan Group Sembilan, kemudian melanjutkan hobinya melukis. "Mama pernah bilang ingin salah satu anaknya menjadi pelukis," kata doktor lulusan Universitas Indonesia ini. Pada syukuran ulang tahun Toeti ke-83, Inda menghadiahi Toeti sebingkai lukisan abstrak.
Adapun seniman perempuan Charlotte Panggabean, 88 tahun, mengatakan Toeti sangat peduli kepada seniman. Menurut dia, Toeti melindungi seniman. "Saya kagum sekali kepada Toeti. Dia sebetulnya juga artis, tapi dia punya pekerjaan banyak," ujar pianis ini.
Wirantini Zwijnenburg-Kamarga juga memuji Toeti yang masih aktif keliling dunia. "Dia luar biasa, masih bisa ke mana-mana," kata salah seorang pendiri Group Sembilan yang sengaja datang ke Indonesia dari Belanda untuk pembukaan pameran ini.
PADA 10 Desember 1994, saya meluncurkan Cemara 6 Galeri dengan menghadirkan 54 lukisan karya Salim dan 12 lukisan telanjang karya Mochtar Apin. Lukisan karya Salim, yang didatangkan dari Prancis, sebelumnya dipamerkan pada ulang tahun ke-25 Taman Ismail Marzuki. Tapi tidak boleh dijual.
Lalu saya yang membeli 54 lukisan Salim dengan menukar jatah pembelian mobil Mercedes-Benz baru sebagai Direktur Utama Biro Oktroi Roosseno. Posisi direktur utama ini saya jabat ketika Ayah memberikan kepercayaan beberapa saat setelah saya kembali ke Jakarta pada 1966 dan mendapati korupsi di perusahaan itu.
Kesibukan saya diselingi dengan kegiatan budaya. Saya bergabung dengan Dewan Kesenian Jakarta dan menjadi Ketua Lingkaran Seni Jakarta (1969-1971) setelah Mien Soedarpo. Sekembali ke Jakarta pada 1974, saya menjadi pegawai negeri dan ikut mendirikan Jurusan Filsafat UI.
Pada 1979, saya lulus doktor filsafat dari UI dengan mendatangkan promotor Van Peursen. Setahun kemudian, saya menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta bersama-sama Abdurrahman Wahid dan Subagio Sastrowardoyo. Kemudian saya juga tergabung sebagai anggota Yayasan Pusat Kesenian Jakarta. Saya berteman dengan berbagai seniman di dalam dan luar negeri.
Selain mengurusi bisnis keluarga, kampus, dan keluarga, saya terlibat dalam kegiatan di Taman Ismail Marzuki yang baru saja didirikan Gubernur Ali Sadikin pada 1968. Saya berkelana mengunjungi kota-kota di dunia untuk urusan bisnis dan budaya. Pun setelah saya mengetahui Group Sembilan—kelompok pelukis dan perupa perempuan yang digagas Ratmini Soedjatmoko. Koleksi lukisan karya perempuan milik saya juga bertambah.
Di masa reformasi 1998, saya mengajak enam seniman Group Sembilan menggelar pameran di Vatikan bertajuk "Woman in Realm of Spirituality". Cemara 6 Galeri pun rutin menggelar pameran dan diskusi serta pemutaran film hingga kini.
Dalam satu episode kehidupan, saya terlibat dalam pembentukan Partai Amanat Nasional yang dipimpin Amien Rais untuk mengusung reformasi di Tanah Air. Saya juga mendirikan perkumpulan Lingkar Warisan Kota Tua Jakarta untuk membantu proyek revitalisasi Kota Tua Jakarta yang diusung Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, karena pada 1971 saya pernah terlibat restorasi Taman Fatahillah ketika Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI. Kemudian proyek itu selesai pada 1974.
Martha Warta Silaban, Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo