MENGKOORDINASIKAN puluhan seniman Indonesia untuk mengisi acara enam bulan di Expo '86 Vancouver, Kanada, bukan perkara mudah. Dan tugas itu dipikul oleh Sardono W. Kusumo, pencipta karya tari Samgita Pancasona dan Dongeng dari Dirah itu. Mungkin karena itu penata tari berusia 41 itu kini klimis, tak lagi bercambang seperti biasanya ia muncul. Mungkin, agar ia tak usah buang waktu dengan kumis dan jenggotnya. Maka, oleh teman-temannya ia lalu dipanggil "Den Bei Klimis" -- raden ngabei (gelar bangsawan menengah) yang berkilau wajahnya. Sardono memang anak seorang tumenggung dari Solo. Tapi, dari sekian kesibukan, yang paling merepotkan dia adalah "mengkoordinasikan" para penarinya agar bergantian merokok di tempat menginap di apartemen Anola Palace. Soalnya para seniman suka ngumpul, lalu main gaple atau ngobrol, sambil mengembuskan asap rokok kretek bertubi-tubi di sebuah kamar. Padahal, akibatnya tidak sederhana: sirene tanda bahaya kebakaran meraung-raung rupanya, sistemnya tak terbiasa dengan bau asap rokok kretek. Tentu saja seluruh penghuni apartemen, mulai dari yang berada di lantai 1 sampai 22, terbirit-birit turun tangga -- karena lift otomatis berhenti begitu tanda bahaya berbunyi. Dan kejadian begitu itu tidak terjadi satu dua kali. "Selama empat bulan ini," cerita Sardono, sambil senyum-senyum dan kedua tangannya simpang siur barangkali sudah tujuh atau delapan kali kejadian." Coba, bagaimana menjelaskannya kepada para penghuni kulit putih yang sebulan dua kali memaki-maki dengan bahasa Inggris karena kaget-kagetan dan ngos-ngosan memutari ratusan anak tangga?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini