Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dua Wajah Rudi Ambon

Rudi ambon, buron dari rutan salemba, tertangkap di kediri. berlagak sebagai makelar mobil. dikenal sebagai perampok nasabah bank. bergabung dengan "kelompok kwini". selama buron, 14 kali merampok.(krim)

6 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI, sekitar pukul 08.30, makelar mobil itu keluar rumah menaiki sedan warna hijau tua, melewati jalan sempit. Di mulut jalan kendaraannya terhenti karena ada mobil yang dipalangkan. Itu mobil polisi. Dan sebelum si makelar sadar apa yang terjadi, dari segala arah muncul sembilan petugas dengan pistol yang siap menyalak. Ayah dua anak itu tak berkutik. Hari itu Jumat, dua pekan lalu. Ia kini ditahan di Polda Jawa Timur, Surabaya. Penjahat berhati emas? Atau itulah cara dia menyembunyikan diri? Makelar itu bernama Roby, dan nama sebenarnya adalah Rudi Ambon, alias Rudi Siyaranamual. Para tetangga di Desa Sukorejo, Kediri, memang hanya tahu bahwa dia seorang makelar mobil yang ramah, gemar menolong, dan sungguh dermawan. Jangankan bersikap kasar. Berkata buruk pun dia tak pernah. "Dan bahasa Jawanya itu, lho, haluuus sekali," kata seorang tetangga dekat. Padahal, Rudi, 38, adalah buron polisi dengan klasifikasi berat. Dari sejumlah tahanan yang kabur dari Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, Jakarta, pada akhir Mei 1985 perampok nasabah bank ini tergolong yang paling dicari-cari. Dia diprioritaskan untuk segera ditangkap kembali, hidup atau mati. Tapi lelaki hitam, tinggi tegap, berewokan, berdarah Ambon ini, rupanya, belum ingin mati. Ia tidak melawan, atau mencoba lari, saat disergap di pagi hari itu, tak lama setelah ia keluar dari rumah kontrakannya d Sukorejo. Rudi bukan perampok sembarangan. Sebagai penjarah nasabah bank, reputasinya meyakinkan. Ia memulai karier dalam dunia hitam di Jawa Tengah. Antara lain, ia pernah merampok di Yogyakarta, Surakarta, dan Semarang. Sekitar 1983, ia melangkah ke Ibu Kota, dan bergabung dengan perampok "kelompok Kwini" yang dimotori Hendro Sucipto, 29, dan Bambang Heru, 30. Kelompok ini melonjak namanya, setelah merampok dan menembak mati Nyonya Lamria Marpaung, pedagang emas di Jalan Kwini, Jakarta Pusat, dan menjarah perhiasan serta uang -- kabarnya senilai hampir Rp 1 milyar. Hendro, Heru, dan kawan-kawan kemudian ditangkap. Tak lama setelah itu, Agustus 1984, Rudi ikut tertangkap di Magelang. Mereka ditahan di Rutan Salemba. Apa lacur. Sembilan bulan kemudian, tepatnya Minggu siang 26 Mei 1985, sejumlah tahanan dan napi di situ berontak. "Kelompok Kwini itulah penggeraknya, hingga 32 orang lolos. Hendro, Heru, dan Rudi tentu tak ketinggalan. Namun, Hendro dan Heru kemudian tewas tertembak oleh tim Buru Sergap Polda Metro Jakarta, yang ditugasi menangkap kembali para pelarian. Rudi ternyata lebih liat. Lolos dari Salemba, ia mengaku sempat ngumpet di Tanjungpriok. Dan sekitar 1 1/2 bulan kemudian tahu-tahu dia sudah nongol di Tulungagung, Jawa Timur. Di kota ini ia merenggut tas Nyonya Mumainah berisi uang tunai Rp 7 juta. Sukses itu diulangi sampai enam kali di kota tersebut, sebelum akhirnya ia, bak kutu loncat, pindah ke kota lain. Menurut Letkol Nurkalam, Kadiserse Polda Jawa Timur, selama buron Rudi sudah 14 kali merampok, dengan hasil Rp 40 juta lebih. Ia, di antaranya, merampok di Jombang, Surakarta, dan Semarang. Dia sendiri, bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil, menetap di Kediri, sejak Oktober 1985. Rumah di Desa Sukorejo itu dikontrak Rp 250 ribu setahun. Bercat hijau dan berpagar besi lengkap dengan garasinya, rumah di jalan sempit itu tergolong berukuran besar. Terutama bila dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Dan tetangga tak curiga meski ia sering berganti mobil, sebab ia mengaku sebagai makelar kendaraan bermotor. Selain tak pernah menolak dimintai sumbangan, dengan mobilnya ia sering mengantar para remaja yang hendak bertanding olah raga. "Dia juga sering memutar video, dan oleh Om Roby kami dibolehkan ikut menonton," ujar seorang remaja. Hanya, bila ada kegiatan, juga siskamling -- ia jarang ikut karena mengaku sibuk. Dia memang tergolong sering tak ada di rumah, sampai berhari-hari. Tahun 1984, saat menetap di Desa Dogol, Magelang, Rudi pun dikenal sebagai dermawan yang ramah-tamah, dan rajin pergi ke masjid. Ketika itu ia memang mengaku bernama Ibrahim. Tiga hari sebelum disergap, Rudi agaknya sudah tahu gelagat. Ketika itu, kepada para tetangga ia mengatakan bahwa orangtuanya di Surabaya sakit keras. Istrinya, yang sedang hamil dan mengaku bernama Mety, dan kedua anak mereka dia suruh berangkat lebih dulu untuk menengok. "Rupanya, Rudi sudah tahu bahwa ia kami kuntit terus," begitu kata Kolonel Sri Martono Kapolwil Kediri, yang didampingi Mayor Suherto, Kepala Bagian Reserse. PELACAKAN yang agak menjurus terhadap Rudi memang sudah dimulai sekitar enam bulan lampau. Yaitu setelah petugas Polda Jawa Timur mewawancarai beberapa nasabah bank yang menjadi korban. Mereka menyebutkan ciri-ciri tersangka: berkulit hitam seperti keturunan Arab atau Ambon, lengannya berbulu. Orang itu ternyata memang Rudi, yang sudah 15 bulan ini dicari-cari. Adapun Mety, si istri itu, kemungkinan besar adalah Nety, 30-an. Dialah, memang, yang serumah dengan Rudi saat dulu tinggal di Desa Dogol, Magelang. Dan Nety ini, menurut sebuah sumber, tak lain kakak kandung Hendro -- jagoan dari kelompok Kwini yang akhirnya mati tertembak itu. Nety dikenal sebagai penjual jamu buatan sendiri. Dia biasa bepergian dari kota satu ke kota lain, mengendarai mobil Coltnya yang dimodifikasi menjadi semacam kedai. Kepandaian meramu jamu diperoleh dari ibunya, Nyonya Ngadiran, yang menetap di Salatiga. Dan keluarga ini memang dikenal tergolong hitam. Saudara kandung Hendro Tomo, kabarnya juga perampok dan tewas ditembak polisi di Bogor tahun 1979. Sedang Erdo, saudaranya yang lain, tewas tertembak di Semarang pada September 1984, karena lari saat rekonstruksi perampokan. Dua saudaranya dari ayah berbeda juga terjun ke dunia hitam. Yang satu sempat tertembak kakinya di Salatiga, dan satunya lagi, Widodo, kini tak diketahui kabar beritanya. Rudi agaknya lain dibandingkan ipar-iparnya -- juga penjahat-penjahat yang melakukan kekerasan terhadap korbannya. Ada yang mengatakan dialah prototipe penjahat gaya baru: tak menghendaki kekerasan, berbaur dengan masyarakat sehari-hari, hanya bertindak bila sasaran bernilai jutaan. Kini ia terus diperiksa, dan dari Surabaya ia nanti akan diboyong ke Jakarta guna ditanyai tentang dosa-dosanya yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus