Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi kebiasaan itu berubah ketika ia menulis novel Mata dan Rahasia Pulau Gapi, yang baru ia luncurkan. Setiap hari, ia membagikan cerita tentang proses penulisannya kepada 6.000 pengikutnya di Instagram. “Kayak reality show,” katanya di kantor Tempo, Selasa dua pekan lalu.
Okky, 34 tahun, menulis novel kedelapannya itu pada Juni lalu. Selama sebulan, ia melaporkan perkembangan tulisannya lewat Instastory. Ia menceritakan risetnya tentang laba-laba, yang kemudian ia jadikan salah satu tokoh dalam novel anak-anak tersebut. Ia juga berkisah tentang Alfred Russel Wallace—ilmuwan Inggris yang bersama Charles Darwin menemukan Teori Evolusi—yang pernah tinggal di Ternate, Maluku Utara. Bahkan ia kadang melaporkan jumlah kata yang ia tulis hari itu.
Peraih Khatulistiwa Literary Award 2012—sejak 2014 menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa—lewat novel Maryam itu ingin para pengikutnya tahu bahwa ia sedang membuat karya baru. Ia juga ingin menunjukkan proses menulisnya. Selama ini, ia hanya sepintas menceritakan proses tersebut ketika mengisi kelas penulisan. “Lewat reality show itu, aku ingin menunjukkan bahwa menulis itu benar-benar kerja keras,” ujarnya.
Respons pengikutnya beragam. Ada yang terpacu menyelesaikan skripsi setelah membaca cerita Okky. Ada pula yang merasa ikut memiliki novel yang bercerita tentang petualangan Mata di Pulau Gapi, Ternate, itu karena mereka mengikuti penulisannya sejak awal.
Lalu, akankah ia terus membagikan proses penulisannya? “Aduh, kayaknya kalau novel dewasa aku enggak berani,” ucapnya, tersenyum.
Tantowi Yahya -KBRI Wellington
Diplomasi Mimpi Sedih
SEBAGAI penyanyi, Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru, Samoa, dan Kerajaan Tonga, Tantowi Yahya, tahu benar lagu bisa menjadi pintu masuk persahabatan. Maka dalam perayaan 60 tahun hubungan Indonesia dan Selandia Baru di Wellington, Jumat tiga pekan lalu, dia menjadikan Mimpi Sedih sebagai bintang utamanya.
Mimpi Sedih adalah tembang ciptaan A. Riyanto pada 1971. Penyanyi kenamaan lintas generasi, termasuk Tetty Kadi, Broery, Yuni Shara, dan Dessy Fitri, pernah melantunkannya.
Tantowi, 58 tahun, mengatakan kepopuleran lagu itu merambah hingga Singapura. Saat mengunjungi basis militer di Singapura pada awal 1980-an, penyanyi legendaris Selandia Baru, Prince Tui Teka, mendengar serdadu-serdadu menyanyikan lagu itu. Tui Teka kepincut. ”Jadilah E Ipo yang kemudian menjadi lagu Maori populer,” kata Tantowi kepada Tempo. Alunannya menyebar ke negara kepulauan di Pasifik Selatan, seperti Samoa, Tonga, Fiji, dan Vanuatu, dan diadaptasi ke bahasa masing-masing.
Dalam perayaan bertajuk ”The Symphony of Friendship” malam itu, Mimpi Sedih dibawakan oleh Andmesh Kamaleng asal Nusa Tenggara Timur dan Tama Waipara asal Rangiora, Selandia Baru, secara bilingual. Mereka diiringi Wellington Orchestra dengan konduktor Erwin Gutawa. ”Latihan hanya tiga jam, sehari sebelum pentas,” ujar Tantowi. Penyanyi country dengan 13 album tersebut berharap diplomasi musik ini membuat negara-negara Pasifik mengakui Indonesia sebagai bagian dari keluarga besar Melanesia dan Polinesia.
Ivy Batuta -TEMPO/M Taufan Rengganis
Menyukai Kenangan
IVY Batuta, 41 tahun, gemar memotret momen kesehariannya. Di mana pun berada, ia tak pernah luput mengabadikan kegiatannya, dari saat bekerja sebagai presenter, berlibur bersama keluarga, hingga mengantar-jemput kedua anaknya ke sekolah. Di telepon selulernya yang berkapasitas 256 gigabita, tersimpan lebih dari 17 ribu foto.
Ivy mengaku menyukai kenangan. Bagi dia, foto amat penting karena menyimpan berbagai kenangan dalam hidupnya. Ia belajar dari pengalaman ayahnya, yang tak memiliki foto selembar pun selama hidup sehingga tidak ada momen penting yang bisa ditunjukkan kepada anak-anaknya. “Jadi aku ingin semua hal terdokumentasi,” ujarnya saat ditemui di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Kamis tiga pekan lalu.
Perempuan berdarah Minang ini masih menyimpan foto bersama sang suami, Edu Napitupulu, 12 tahun silam. Ada foto saat Ivy dan Edu kencan untuk pertama kalinya, saat menjalani hubungan jarak jauh, juga ketika keduanya menikah di New York, Amerika Serikat, pada 2008. “Jalan-jalan ke mana pun kami memang selalu bawa tripod buat foto berdua,” katanya.
Foto-foto tersebut tersimpan rapi dalam puluhan album. Sebagian foto tergantung di dinding rumahnya. Ivy juga menaruhnya di laptop dan empat external hard drive berkapasitas 1-2 terabyte. Ia menyimpannya dengan rapi dalam folder-folder. Misalnya foto-foto anak keduanya disimpan dalam folder “Zivanka”, sesuai dengan nama sang anak. “Di dalamya ada folder ’Di Sekolah’. Dibuka, ada lagi folder ’Kelas 1’, ’Kelas 2’, dan seterusnya. Jadi mencarinya gampang,” ucap Ivy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo