Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Mata Rantai Terlemah Justru Di Pemerintah

BEBERAPA pekan terakhir, kantor Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid dipenuhi timbunan dokumen.

23 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hilmar Farid -TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Judulnya seragam: “Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah”. Ada 275 jilid dengan ketebalan dari seratusan sampai seribu halaman lebih. Kalau ditumpuk, tingginya hampir dua kali Hilmar—yang menjulang 180 sentimeter.

Dokumen tersebut membuat Hilmar, 50 tahun, tercenung. Isinya tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus—sepuluh obyek budaya—di 250 kabupaten/kota dan 25 provinsi di Indonesia. Ini adalah kompilasi terbesar yang pernah tercatat. “Selama ini kita baru mengenal puncak gunung es kebudayaan kita. Di bawahnya belum tahu seberapa banyak,” kata Hilmar dalam wawancara khusus dengan wartawan Tempo, Sapto Yunus dan Reza Maulana, di ruang kerjanya, Rabu pekan lalu.

Ribuan lembar halaman itu menjadi modal penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang akan berlangsung pada 5-9 Desember mendatang. Diadakan sejak 1918, kongres kesepuluh ini menjadi muktamar perdana yang berlandaskan perundang-undangan khusus: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Hasil konferensi akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo untuk dijadikan strategi kebudayaan Indonesia. “Kalau punya tata kelola bagus, Indonesia bisa menjadi superpower di bidang kebudayaan,” ujar pakar sejarah Universitas Indonesia itu.

Apa yang membedakan Kongres Kebudayaan 2018 dengan sebelumnya?

Dalam sembilan kali kongres, selalu muncul pemikiran bagus. Dalam Kongres Kebudayaan 1991, misalnya, sastrawan Nirwan Dewanto mengangkat pemikiran postmodernism. Kongres berakhir dengan rekomendasi untuk pemerintah. Namun seberapa banyak rekomendasi diterjemahkan dalam kebijakan, tidak ada. Kebijakan disusun dengan merujuk pada rencana pembangunan jangka menengah, dan sebagainya. Jadi ada yang putus antara rumusan-rumusan bagus yang dibikin peserta kongres dan kebijakan.

Saat itu kongres juga dibiayai pemerintah?

Ya. Mungkin ada satu atau dua butir pemikiran yang dikembangkan ke dalam program kegiatan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan. Misalnya kongres menyatakan perlu menghidupkan seni tradisi di kalangan anak muda. Direktorat Kesenian bikin Konser Karawitan Muda. Tapi itu bersifat ad hoc, semata dari kemampuan pejabat dalam menerjemahkan, bukan suatu pola. Orangnya ganti, bisa juga kebijakannya ganti. Jadi harus ada kerangka kebijakan yang jelas sebagai output kongres. Itu perbedaan paling mendasar dari Kongres Kebudayaan 2018. Dulu orang berbicara, berdiskusi, menghasilkan rekomendasi. Sekarang titik tolaknya adalah rekomendasi dari pokok pikiran kebudayaan daerah, PPKD. Diskusi dan perdebatan terjadi di kabupaten/kota, provinsi, plus bidang-bidang. Mereka datang ke kongres sudah dengan rekomendasi.

Contohnya seperti apa?

Legislasi. Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan sudah teraplikasi. Tapi provinsi dan kabupaten/kota belum memiliki peraturan daerah. Rekomendasinya, pemerintah daerah segera membikin peraturan daerah pemajuan kebudayaan.

Mengapa hanya ada 250 pokok pikiran kebudayaan daerah dari total 514 kabupaten/kota?

Ada hambatan di kabupaten-kabupaten baru yang belum berhasil mengkonsolidasikan sumber daya di daerahnya, tidak punya orang yang memiliki pengetahuan cukup untuk menyusun kompilasi seperti ini. Isu lain adalah anggaran. Undang-undang memerintahkan penyusunan PPKD dibiayai daerah. Mereka mempertanyakan alasan pekerjaan diberikan di tengah tahun. Kami mulai bekerja Maret lalu, setelah serangkaian diskusi pasca-pengesahan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, April tahun lalu. Menurut saya, pencapaian ini termasuk cepat. Ini pertama kalinya obyek kebudayaan disusun dari tingkat kabupaten/kota. Tebalnya dari puluhan halaman sampai seribuan halaman. Yang paling tebal PPKD Kota Bandung.

Seberapa detail inventarisasi obyek budaya tersebut?

Dari tarian, masakan, bahasa, sampai jumlah sinden dan pemahat di suatu kabupaten/kota. Saya terkejut melihat jumlahnya. Sejak 1980-an, kementerian mengumpulkan keterangan tentang praktik budaya, adat-istiadat, dalam jumlah puluhan ribu. Ini, dalam waktu singkat, menghasilkan jumlah yang jauh lebih besar dan variasinya luar biasa. Bagi pemerintah daerah juga eye opening. Mereka baru sadar punya kekayaan sebanyak itu. Dengan kata lain, selama ini kita baru mengenal puncak gunung es kebudayaan kita. Di bawahnya belum tahu seberapa banyak. Kalau punya tata kelola bagus, masuk akal apa yang dikatakan Asisten Direktur Jenderal untuk Kebudayaan UNESCO Francesco Bandarin, jika Amerika Serikat dan Rusia negara superpower di bidang militer, Indonesia superpower di bidang kebudayaan.

Seperti impian Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia menjadi pusat peradaban dunia pada 2085?

Saya kira bisa lebih cepat dari 2085. Pada Februari 2017, Pak Jokowi mengatakan, kalau Indonesia disuruh mengatasi ketertinggalan di bidang industri, susah. Tapi, kalau seni budaya menjadi core business kita, itu bahasa beliau, kayaknya kita tidak ada lawan.

Bagaimana memverifikasi laporan dari daerah?

PPKD sepenuhnya menjadi wilayah kabupaten/kota. Memang ada beberapa masalah. Sejumlah pembuat laporan sepertinya tidak begitu menguasai template isian. Namun ini adalah upaya mengidentifikasi kekayaan kebudayaan yang tidak pernah selesai. Proyek ini terus tumbuh dan basis datanya terus diperbarui. Semuanya akan masuk, yang dalam undang-undang disebut Sistem Data Kebudayaan Terpadu.

Data itu dibahas dalam kongres?

Ini basis empiris kami untuk membuat rumusan strategi kebudayaan. Dari rekomendasi-rekomendasi PPKD, dibuat tabel, dikelompokkan, disusun, dan diterjemahkan menjadi dokumen strategi. Itu tugas tim perumus. Diketuai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, saya sebagai sekretaris, dan 15 anggota dari berbagai latar belakang keilmuan, termasuk pakar geologi dan fisika. Hasilnya secara formal diserahkan kepada presiden untuk ditetapkan sebagai strategi kebudayaan. Bentuknya peraturan presiden.

Apa peran ahli ilmu pasti dalam pembahasan kebudayaan?

Indonesia negeri yang rawan bencana. Sebetulnya kita memiliki rekaman pengetahuan tradisional tentang bencana alam. Misalnya Palu, yang dalam bahasa lokal berarti tanah yang terangkat. Kalau kita punya pengetahuan seperti itu, akan lebih awas dalam mengembangkan ruang di masa mendatang. Tidak asal ada tanah datar, bangun ruko, ha-ha-ha…. Begitu juga fisika, misalnya, pengembangan geometri fraktal dalam batik. Ini penemuan luar biasa. Ini yang saya harapkan muncul di kongres kebudayaan.

Apakah kesejahteraan seniman juga dibahas?

Di undang-undang sudah ada khusus soal penghargaan. Di peraturan pemerintah, yang masih kami susun, ada bab khusus soal penghargaan. Tapi, sambil menunggu peraturan pemerintah, kami sudah melakukannya. Tiap tahun ada anugerah kebudayaan kepada seniman maestro dari Kementerian. Mereka mendapat santunan seumur hidup. Karena anggaran terbatas, Rp 25 juta per tahun per orang seumur hidup, paling tidak untuk hal-hal dasar bisa membantu.

Mengapa kongres kebudayaan tidak lagi menampilkan satu tokoh budaya untuk berbicara?

Forum ini semestinya memberikan ruang kepada mereka yang selama ini belum mendapat kesempatan bicara banyak, termasuk daerah. Ketika bicara dalam kong­res kebudayaan, sering kali perspektifnya Jakarta, Yogyakarta, Bandung. Siapa yang berbicara tentang Sintang atau Tulangbawang Barat, misalnya, tidak ada. Suara mereka tidak pernah kita dengar. Sekarang kita balik. Kita membangun dari bawah. Tokoh-tokoh baru akan muncul.

Ada kritik, kongres jangan cuma buang-buang duit.…

Kongres ini siklus lima tahunan, sudah dianggarkan jauh sebelum saya di sini. Justru dengan pendekatan sekarang kongres akan menghasilkan sesuatu yang konkret. Sementara sebelumnya bentuknya rekomendasi yang boleh diikuti boleh tidak, sekarang imperatif. Hasilnya suatu rancangan strategi kebudayaan yang menjadi landasan kebijakan. Kami membuat proses ini seakuntabel mungkin.

Berapa biaya penyelenggaraan kongres?

Belum tahu. Masih ada diskusi dengan sekretariat, angkanya berubah naik-turun. Yang jelas, kami berusaha menekan sehemat mungkin dengan tidak mengadakannya di luar. Kami akan menggunakan semua fasilitas Kementerian.

Dapatkah presiden menolak rekomendasi kongres?

Undang-undang cuma mengatakan pemerintah pusat wajib menyusun strategi kebudayaan dengan melibatkan masyarakat. Tentu ada kewenangan presiden, tapi forum ini kan aspirasi masyarakat.

Siapa yang menjalankan strategi kebudayaan tersebut?

Strategi kebudayaan menjadi grand design, mau ke mana Indonesia dengan segala keberagaman budayanya. Setelah itu ditetapkan, menjadi proses teknokratik. Peraturan presiden itu menjadi acuan, termasuk untuk rancangan peraturan daerah. Tahap selanjutnya adalah membentuk Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan sebagai peta jalan, akan dibahas bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, dan lainnya. Rencana induk ini menerjemahkan strategi ke perangkat kementerian/lembaga agar sinkron. Ada 22 kementerian/lembaga yang tugas dan fungsinya terkait dengan kebudayaan. Tapi mereka belum tentu pernah ngobrol soal itu. Ini yang mau kami payungi.

Undang-undang dan strategi kebudayaan dikhawatirkan mengekang dinamika kebudayaan. Tanggapan Anda?

Awalnya saya juga termasuk orang yang mempertanyakan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Dalam penyusunannya, undang-undang ini bergeser dari membahas norma, termasuk mengatur yang boleh dan tidak, menjadi berfokus pada tata kelola. Kami tidak berambisi mengendalikan kebudayaan. Posisi kami lebih untuk memfasilitasi, dalam pengertian yang sebenarnya. Dalam bahasa Latin, facile, yang artinya mempermudah. Masyarakat yang punya praktik, kebiasaan, ekspresi, dimudahkan dengan kehadiran negara. Pemerintah membuat strategi kebudayaan supaya masyarakat bisa menjalankan kebudayaannya dalam segala bentuk, yang termasuk sepuluh obyek budaya.

Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid saat peluncuran Kongres Kebudayaan Indonesia di kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 9 November lalu. -kebudayaan.kemdikbud.go.id

Mengapa undang-undang menitikberatkan pemerintah?

Jujur saja, dalam upaya memajukan kebudayaan, mata rantai terlemah justru di pemerintah. Karena punya resources besar, sumber daya manusia banyak, kelembagaan cukup lengkap, tapi tidak padu. Itulah alasan undang-undang pemajuan budaya lebih banyak berbicara kepada pemerintah. Agar terjadi konsolidasi sumber daya, baik di pusat maupun di daerah. Banyak pihak mengaitkan kelemahan ini dengan keterbatasan sumber daya, yang diterjemahkan dengan permintaan anggaran tambahan. Bagi kami, bukan itu. Sumber daya yang ada belum dioptimalkan dan digunakan secara strategis. Maka strategi kebudayaan menjadi penting.

Selama ini yang banyak dikeluhkan adalah kurangnya sarana/prasarana....

Belum tentu. Kalau dibilang tidak punya taman budaya atau bangunan dengan judul taman budaya dan dikuasai dinas kebudayaan memang betul, tidak punya. Tapi, kalau bicara tentang ruang, bisa bangunan, lapangan, macam-macam, setelah kami periksa, ada, tuh. Agak mengagetkan, ternyata kita punya 15 ribu sarana/prasarana di 250 daerah kabupaten/kota yang telah mengumpulkan PPKD. Jadi tidak kekurangan sarana/prasarana.

Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan negara memajukan kebudayaan nasional. Bagaimana caranya?

Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan menyebutkan empat cara, yaitu perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Dengan anggaran terbatas, tidak banyak yang bisa dilakukan. Pak Jokowi bolak-balik bilang, anggaran jangan diecer-ecer. Jangan coba melayani semua dan akhirnya jadi kecil dan tak terlihat. Fokus saja. Saya menerjemahkan arahan itu dengan berfokus dari segi bidang, yaitu perlindungan.

Mengapa bukan bidang lain?

Karena perlindungan adalah wilayah yang sangat penting, tapi paling lemah. Perlindungan artinya merekam, mendokumentasikan, memastikan masyarakat punya akses. Misalnya makin sedikit orang yang bisa membaca naskah kuno berbahasa Bugis. Negara harus berinvestasi di sini, dengan membiayai orang untuk mempelajarinya, karena sepertinya swasta tidak mau masuk, he-he-he…. Untuk pengembangan, misalnya tari-tarian, swasta atau perguruan tinggi masih tertarik berperan. Begitu juga soal pemanfaatan, yang bermuara pada pariwisata, ekonomi kreatif, dan lainnya. Kalau pemerintah menyelenggarakan semua ekshibisi, ya, enggak akan sanggup. Soal pembinaan, mencakup keseluruhan bidang. Jika siklus perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan berjalan, semua membutuhkan sumber daya, tenaga, dan institusi yang menjalankan pembinaan. Dulu pembinaan diartikan dengan mengajari orang menari dan sebagainya. Itu tidak perlu dilakukan pemerintah.

Bagaimana menyelaraskan kebudayaan tradisional dengan peningkatan konservatisme agama sehingga kejadian seperti perusakan sedekah laut di Yogyakarta tidak terulang?

Itu lebih ke ranah politik daripada kebudayaan. Kekuatan yang berusaha mengendalikan dan membatasi tradisi sebetulnya punya agenda lain, yaitu mengatur norma yang berlaku di masyarakat. Dengan menyingkirkan adat, tradisi, dan ekspresi yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinan, mereka mau mengatur norma kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Kalau sekelompok orang punya satu norma, lalu ingin semua orang di dunia sama dengan mereka, celaka, itu kediktatoran.

Penyelesaiannya bagaimana?

Membuka dialog adalah cara paling bagus. Didiskusikan bagian mana yang dianggap menjadi masalah. Penyelenggaraan budaya bisa dimodifikasi. Dialog membuat masyarakat sehat. Ketika satu pihak berusaha meniadakan tindakan pihak lain, hukum harus berlaku.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan akan menyalurkan dana alokasi khusus (DAK) untuk kebudayaan Rp 1 triliun pada tahun depan….

Sekarang belum sampai segitu. Paling Rp 300-an miliar.

Mekanismenya bagaimana?

DAK langsung dari kas negara ke daerah. Kami hanya bertanggung jawab untuk petunjuk teknisnya dan monitoring. Saya sangat setuju dana langsung ke daerah karena selama ini masih ke kami. Jadi urusan yang sangat teknis di lapangan masih harus lewat Dirjen Kebudayaan. Kapan sampainya? 

 


 

Hilmar Farid 

Tempat dan tanggal lahir: Bonn, Jerman, 8 Maret 1968

Pendidikan: Sarjana Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1993; Doktor Kajian Budaya dari National University of Singapore, 2014

Karier: Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (31 Desember 2015-sekarang), Komisaris PT Krakatau Steel (2015-2016), Ketua Institut Sejarah Indonesia (2002-2007), Dosen Institut Kesenian Jakarta (1995-2000, 2005-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus