Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSEUM Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) di Jakarta menampilkan pameran tiga seniman yang berbeda asal-muasalnya: Arahmaiani (Indonesia), Lee Mingwei (Taiwan-Amerika Serikat), dan On Kawara (Jepang). Arahmaiani, yang lahir di Bandung pada 1961, memulai kiprah internasionalnya pada pertengahan 1990-an. Lee Mingwei, kelahiran Taiwan pada 1964—langganan museum dan biennale internasional—kini bermukim di Paris dan New York. Adapun On Kawara (1932-2014) adalah seniman konseptual radikal asal Jepang yang sejak 1960-an tinggal di New York.
Setelah Museum MACAN dibuka untuk publik pada November tahun lalu, ini adalah proyek yang ketiga. Pameran akan berlangsung hingga 10 Maret 2019.
Dalam survei atas karya-karya Yani—panggilan Arahmaiani—yang bertajuk “Masa Lalu Belumlah Berlalu”, kita menyaksikan arsip, puisi, video, gambar, lukisan, instalasi, sampai proyek seni mutakhirnya. Sejak 1980-an, ia ajek dengan pelibatan seninya pada aktualitas kehidupan sosial, lewat pernyataan “memperluas kanvas, seluas-luasnya menjadi kehidupan itu sendiri”. Karya kontroversialnya, Lingga-Yoni dan Sacred Coke, muncul dalam pameran ini. Ia melukis blakblakan simbol “persetubuhan kosmis” pada relief di Candi Sukuh, dibubuhi latar huruf Arab Jawi. Botol Coca-Cola diberi tutup kondom, tegak seperti phallus. Keduanya berasal dari pameran tunggalnya yang menantang, “Sex, Agama dan Coca-Cola”, di Jakarta pada 1994. Kritik Yani menyasar kuasa maskulin dalam kehidupan sosial dan agama masyarakat kita. A Piece of Land for Sale (1996) adalah sindirannya terhadap penguasaan lahan privat besar-besaran, mirip iklan.
Isu kebebasan tubuh perempuan muncul dalam Do Not Prevent the Fertility of Mind (1997-2018). Penambahan satu potret seniman sebagai figur perawat pada “dinding pembalut” tidak menjadikan karya ini lebih kuat dibanding versi lama dari 1997 dan 2014. Seniman tampil sebagai “perawat kebebasan” dan penyelamat tubuh perempuan. Tapi apa hubungan antara kebebasan tubuh dan pikiran? Yani dianggap telah menyumbang gelombang feminisme global dalam seni rupa kontemporer 1990-an melalui representasi tubuh seniman (perempuan) sebagai subyek wicara. Setelah masa ini, muncul teks-teks seperti pada Breaking Words (2004), Flag Project (2006-2010), dan I Love You (2009). Ia bergeser, mendekati dunia obyektif benda-benda untuk kata-kata: piring porselen, bendera, dan bantal-bantal yang mirip wahana permainan.
Do Not Prevent the Fertility of the Mind. -Tempo/Nurdiansah
“Gunting” Yani pada aktualitas bekerja ringkas dan kadang menghasilkan karya yang terlampau sederhana. Contohnya Memory of Nature (2013/2018), karya instalasi interaktif berwujud mandala, berbahan tanah, dan ditaburi kacang hijau. Belakangan ini, ia menjalin hubungan erat dengan para biksu di dataran Tibet dan komunitas setempat untuk proyek lingkungan.
Aktualitas Yani terasa kontras dengan pendekatan estetik karya-karya Lee Mingwei. Mingwei menampilkan serangkaian karya “Tujuh Kisah” yang belum lama ini hadir di Biennale de Lyon, Prancis (2017-2018). Pandangan mengenai keindahan, kesementaraan, dan kenisbian melandasi proyek-proyek seniman lulusan Yale University, Amerika Serikat, ini. Karya instalasi interaktif yang membutuhkan ruangan paling besar dalam pameran ini, Guernica in Sand (1.300 x 643 sentimeter; 2006/2018), adalah rekreasi Mingwei atas Guernica karya Pablo Picasso dengan bahan pasir berwarna. Layaknya para pendeta buddhis yang menggubah citra semesta dengan pasir warna-warni, Mingwei menggubah monumentalitas Guernica menjadi hamparan pasir yang sementara. Ukurannya lebih besar, dengan warna kuning dan abu-abu yang lebih terang dibanding karya Guernica asli (1937).
Pandangan Mingwei mengenai materi yang digunakannya reflektif. Pada pasir, katanya, ada kekuatan transformasi yang kreatif. Pasir muncul dari erosi bebatuan oleh angin serta air, dan oleh tekanan panas hamparan pasir selama ribuan tahun akan berubah bentuk lagi menjadi padat.
Pada 31 Maret 1937, sejak matahari terbit hingga terbenam, sebuah kota kecil Basque, bagian utara Spanyol, luluh-lantak oleh serangan udara Jerman yang mendukung kelompok nasionalis-fasis. Pada 19 Januari 2019, ketika matahari terbenam, Mingwei akan mengenang momen itu, mengundang penonton berjalan di atas “pasir Guernica” ketika ia merampungkan dengan sabar satu bagian Guernica pasirnya. Setelah itu, seniman beserta beberapa penampil akan menyapunya kembali, membiarkannya tidak berbentuk sampai akhir pameran. Pada saat itu, pengunjung pameran bisa menyaksikan peristiwa penciptaan dan perusakan yang berlangsung serentak dari sebuah titik, sebuah “pulau” di tengah karya pasir Guernica yang dibikin Mingwei.
Tema pemberian, keintiman, dan percakapan dengan penonton melandasi proyek-proyek “sosial konseptual” Mingwei selama ini. “Tujuh Kisah” bukan ciptaan baru, tapi dipilih dan ditampilkan ulang di Museum MACAN.
Karya paling lama berasal dari 1997, The Dining Project, yang masih berjalan sampai sekarang. Melalui kartu undian, penonton berkesempatan menikmati santap malam bersama seniman setelah museum tutup. Di ruang pamer yang sedikit temaram, ia menyediakan sebuah panggung kecil, berisi meja dan seperangkat peralatan makan, tatami, kacang, dan beras. Video mengenai suasana perjamuan personal seniman dengan penonton terundang diproyeksikan di dinding. Menyebar di tengah ruangan tiga bilik bening berukuran 290 x 170 x 231 sentimeter, tempat orang menulis dan menitipkan surat kepada seniman. Ini adalah The Writing Project, karya instalasi interaktif yang mengundang penonton untuk menulis pesan kepada seseorang yang dekat.
Pembacaan One Million Years. -Dokumentas Museum MACAN
Pada karya instalasi media campuran bertajuk Between Going and Staying (2007), kita memasuki ruang gelap, mendengarkan musik lembut, menyaksikan sebuah bola lampu pecah yang secara halus dan terus-menerus mengalirkan serbuk pasir hitam yang tipis, melayang jatuh ke atas lantai. Bayang-bayang, ketidakpastian, kaburnya batas obyektif benda-benda dan diri kita penonton terasa di dalam ruangan itu. Mingwei mengutip sepenggal bait puisi penyair Meksiko, Octavio Paz (1914-1998), “Semua terlihat dan semua sukar dipahami, semua dekat dan tidak dapat disentuh.”
The Mending Project (2009/2018) adalah proyek instalasi interaktif yang mengesankan: penonton menyerahkan sepotong baju rusak untuk ditambal oleh seniman. Tambalan dengan sepotong kain berbeda menjadi wahana pengingat bagi percakapan dua orang yang berbagi. Benang-benang yang terulur panjang dari setumpuk baju seakan-akan menandai kesan percakapan keduanya yang tetap akan tinggal. Ada suasana kehilangan dan harapan manusiawi yang bertumpu pada rasa saling percaya yang kuat dalam karya interaktif Mingwei. “Tujuh Kisah” adalah bagian paling menarik pameran ini.
Adalah waktu sebagai tumpukan angka yang membawa kita melakukan abstraksi tentang waktu. Pembacaan karya monumental One Million Years karya On Kawara (1993-sampai sekarang) oleh dua orang—lelaki dan perempuan—selama pameran berlangsung adalah peristiwa pertama di Indonesia. Kawara dikenal dengan karya-karya konseptual mengenai kronologi waktu, melalui bentuk-bentuk performatif (pengiriman kartu pos, telegram, sapaan melalui telepon, dan lukisan-kalender) yang dilandasi oleh renungannya akan absurditas waktu. Estafet membaca satuan angka penunjuk waktu ini telah berlangsung selama beberapa tahun di berbagai tempat di dunia.
Kawara mewariskan karya monumentalnya berupa dua buku besar berjilid-jilid bertajuk One Million Years (Past) dan One Million Years (Future). Bagi Kawara, waktu adalah simbol kehidupan manusia itu sendiri yang terus bergulir tanpa kita ketahui titik awal dan ujungnya.
HENDRO WIYANTO, KURATOR DAN PENULIS SENI RUPA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo