MEMANDIKAN jenasah sebaiknya dilakukan keluarga sendiri. Itulah
yang selalu disinggung-singgung Kiai Haji Abdul Ghaffar Ismail,
dalam pengajian-pengajian rutin Senin malam akhir-akhir ini. Dan
ketika istri ulama besar Pekalongan itu meninggal 22 Desember
malam yang lalu, tidak saja segala sesuatunya diurus sendiri
oleh Kiai Ghaffar dan anak-anaknya, tapi seolah-olah bantuan
dari tetangga dan sahabat-sahabat memang sengaja dihindarkan.
Malam itu pula, kiai berusia 72 tahun itu, menebang batang
pisang sendiri, untuk alas jenasah sewaktu dimandikan. Malam
itu pula jenasah dimandikan oleh Kiai Ghaffar, dibantu Taufiq
Ismail, Ida dan Rachmat -- semua anaknya. Berita kematian itu
tentu saja cepat tersebar dan berdatanganlah para murid Tinur --
demikianlah nama almarhumah yang juga seorang guru mengaji itu
melawat. Tapi sebelum usai permandian tak seorang pun dibolehkan
melihat almarhumah.
Toh, setelah para pelawat menengok jenasah, mereka dipersilakan
pulang. Tak ada acara menunggu jenasah semalaman suntuk,
sebagaimana lazimnya di Pekalongan. Seperti tak terjadi apa-apa,
malam itu Kiai Ghaffar dan anak-anaknya tidur di kamar
masing-masing. Jenasah ditunggui oleh Zubaidah, perempuan tua
yang memang bertekad tak mau pulang, dan Rachmat, anak
almarhumah.
Esoknya semua kesibukan pemakaman pun dilakukan keluarga Kiai
Ghaffar sendiri: ia sendiri yang membaringkan jenasah di liang
lahat dibantu anak-anaknya. Ia sendiri pula yang membaca doa dan
memberi sambutan pada upacara itu. Hanya saat-saat upacara
pemakaman usai, hanya waktu itu, ia minta kepada Habib Ali
Alatas untuk membacakan doa. Dan ketika itu semua orang baru
tahu bahwa Kiai Ghaffar pun berduka: ia menangis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini