Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Memandikan jenasah

Ulama besar pekalongan, dalam pengajian selalu disinggung-singgung agar dalam memandikan jenasah sebaiknya di dilakukan keluarganya sendiri, maka ketika istrinya meninggal segala sesuatunya diurus sendiri. (pt)

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANDIKAN jenasah sebaiknya dilakukan keluarga sendiri. Itulah yang selalu disinggung-singgung Kiai Haji Abdul Ghaffar Ismail, dalam pengajian-pengajian rutin Senin malam akhir-akhir ini. Dan ketika istri ulama besar Pekalongan itu meninggal 22 Desember malam yang lalu, tidak saja segala sesuatunya diurus sendiri oleh Kiai Ghaffar dan anak-anaknya, tapi seolah-olah bantuan dari tetangga dan sahabat-sahabat memang sengaja dihindarkan. Malam itu pula, kiai berusia 72 tahun itu, menebang batang pisang sendiri, untuk alas jenasah sewaktu dimandikan. Malam itu pula jenasah dimandikan oleh Kiai Ghaffar, dibantu Taufiq Ismail, Ida dan Rachmat -- semua anaknya. Berita kematian itu tentu saja cepat tersebar dan berdatanganlah para murid Tinur -- demikianlah nama almarhumah yang juga seorang guru mengaji itu melawat. Tapi sebelum usai permandian tak seorang pun dibolehkan melihat almarhumah. Toh, setelah para pelawat menengok jenasah, mereka dipersilakan pulang. Tak ada acara menunggu jenasah semalaman suntuk, sebagaimana lazimnya di Pekalongan. Seperti tak terjadi apa-apa, malam itu Kiai Ghaffar dan anak-anaknya tidur di kamar masing-masing. Jenasah ditunggui oleh Zubaidah, perempuan tua yang memang bertekad tak mau pulang, dan Rachmat, anak almarhumah. Esoknya semua kesibukan pemakaman pun dilakukan keluarga Kiai Ghaffar sendiri: ia sendiri yang membaringkan jenasah di liang lahat dibantu anak-anaknya. Ia sendiri pula yang membaca doa dan memberi sambutan pada upacara itu. Hanya saat-saat upacara pemakaman usai, hanya waktu itu, ia minta kepada Habib Ali Alatas untuk membacakan doa. Dan ketika itu semua orang baru tahu bahwa Kiai Ghaffar pun berduka: ia menangis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus