TEMBOK Keraton Solo runtuh. Bangsal Morokoto, pendopo yang licin dan bersih itu, kini terbuka. Dan dua putri Sinuhun Paku Buwono XII, G.R.A.Y. Kus Murtiyah, dan adiknya Kus Suwiyah, kemudian meladeni 50 remaja putri belajar menari. "Sudah saatnya Keraton Solo merakyat," kata Murtiyah kepada wartawan TEMPO Kastoyo Ramelan. Memang, runtuhnya tembok dan terbukanya bangsal dalam arti kiasan. Sebelumnya, hanya putra-putri keraton yang boleh menari di pendopo itu. Baru mulai bulan lalu, Murtiyah membuka pawiyatan (pendidikan) tari untuk umum. Gurunya dia sendiri, sekali-sekali dibantu oleh Suwiyah. Dan ini semua seizin bapak mereka, ya PB XII itu. Jangan berprasangka buruk, ini bukan cara dua putri itu mencari tambahan uang saku. Sebab, pawiyatan ini, "untuk -- sementara gratis," kata Murtiyah. Tujuannya tak lain dan tak bukan, "Supaya kegiatan budaya tari di keraton tidak macet. Keraton 'kan disebut sebagai pusat kebudayaan. Nah, kalau tak ada kegiatan kebudayaan 'kan lucu," tutur mahasiswi semester akhir Jurusan Sastra Jawa UNS Surakarta ini. Tapi bukannya sama sekali tak ada udang di balik tari. Menurut Murtiyah, kini sulit mengumpulkan penari keraton, karena telah banyak yang sudah keluar mengikuti suami. Termasuk para putri Paku Buwono XII. Kalau ada pesanan kesenian keraton, sudah sulit mengumpulkan mereka. "Jadi, kami perlu penari," kata Mur, putri bertubuh langsing padat berusia 26 tahun itu. Bila Murtiyah masih menyembunyikan udang, adalah sang adik yang lalu berterus terang. Suwiyah, dua tahun lebih muda daripada kakaknya, mengatakan bahwa ada undangan buat tim kesenian Keraton Solo melawat ke berbagai negara Eropa. "Bukankah sayang kalau ditolak?" katanya. Maka, latihan tiga jam tiap Minggu siang ini akan mengajarkan semua jenis tari keraton, kecuali Bedaya Ketawang dan Dorodasih, yang hanya putri raja boleh menarikannya. Konon, sembarang orang yang mempelajari tari itu bisa kualat -- kepala di bawah, kaki di atas, 'kan jadinya tari monyet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini