BILA seorang siswa SMP Australia, pulang sekolah menangis karena ia tak naik kelas, dan itu karena nilai rapor bahasa Indonesianya di bawah enam, apa komentar Anda? Memang, sejauh ini berita itu belum pernah terdengar. Namun, bukan mustahil terjadi. Pekan lalu 25 siswa-siswi Perth College Australia, setingkat SMTA, mengunjungi Bandung dan Salatiga. Ini bukan semata kunjungan turis, tapi para remaja itu berniat praktek bahasa, dan bila mungkin akan mengadakan kerja sama dengan Universitas Satya Wacana, Salatiga. Mereka inilah sebagian dari 41 murid sekolah Kristen Anglikan di Australia Barat, yang memilih bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajib -- artinya itu tadi, nilai rapor di bawah enam tak naik. Australia sejauh ini memang satu-satunya negara maju yang meletakkan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Sebenarnya, di negara bagian utara dan barat Australia, misalnya, yang diwajibkan di sekolah menengah adalah satu dari bahasa Asia: Jepang, Cina, dan Indonesia. Tapi kebanyakan memilih bahasa Indonesia. Yang jelas, kata Ana Ginandjar, 36 tahun, guru bahasa Indonesia di Perth College yang mengikuti siswanya ke Indonesia kini, subsidi pemerintah Australia untuk pelajaran bahasa Indonesia meningkat terus. Mungkin ini salah satu persiapan Australia menjadikan bahasa Indonesia pelajaran wajib dari sekolah dasar sampai menengah, mulai awal 1990-an nanti. Itu tampaknya dampak hubungan bilateral Indonesia-Australia selama ini. Menurut Sir Keith Shann -- bekas dubes Australia untuk Indonesia -- dalam ceramahnya selaku Ketua Badan Kerja Sama Pengusaha Australia-ASEAN, pada 1980 di Jakarta, ada berbagai faktor yang menyebabkan Indonesia penting bagi Australia. Setelah orang Australia tak lagi merasa sebagai orang Eropa, yakni setelah Perang Dunia II, mereka merasa perlu memahami sosial-budaya negara tetangga, Asia umumnya dan negara ASEAN khususnya. Bila Indonesia agak diistimewakan, itulah karena sejarah dan geografi: Indonesia negara Asia terdekat, dan Australialah negara pertama di luar Asia yang mengakui kemerdekaan RI. Dan kebetulan bibit kursus bahasa Indonesia (baca: Melayu) memang sudah ada sejak dulu. Orang Malaysia keturunan Cina yang lahir di Australia biasanya lalu belajar bahasa Melayu, jaga-jaga bila mereka pulang ke Malaysia. Bila kemudian Melayunya jadi tipis dan Indonesianya dominan, itu tak lepas dari faktor hubungan bilateral Indonesia-Australia kemudian. Toh, akhir 1970-an, karena soal politik, bahasa Indonesia agak surut peminatnya. Bahkan sempat guru-guru bahasa Indonesia (biasanya orang Australia orang Indonesia hanya mengajar di kursus-kursus) pindah ke mata pelajaran lain. Belakangan ini, setelah hubungan politik membaik, kembali bahasa Indonesia jadi favorit. Tapi seberapa besar manfaat pelajaran bahasa Indonesia bagi siswa Australia belum tampak benar. Bahkan penyair Subagio Sastrowardoyo, yang beberapa tahun menjadi dosen sastra dan bahasa Indonesia di College of Advanced Education, Salisbury pesimistis. "Informasi tentang Indonesialah yang boleh disebut sangat lengkap," tutur sastrawan yang kini bekerja di Balai Pustaka, Jakarta. "Tetapi pelajaran bahasa Indonesia di Australia belum cukup." Adapun sebabnya, mutu guru itulah. "Guru bahasa Indonesia di sana sama saja dengan guru bahasa Inggris di sini," kata Subagio pula. Untuk itulah, antara lain, bila bulan depan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P dan K Prof. Dr. Hasan Walinono bertandang ke sana. Salah satu yang akan dibicarakan, "Mungkin tentang pertukaran guru bahasa," kata Hasan. Maksudnya, guru bahasa Indonesia sini ditukar guru Inggris sana. Tak kurang Menteri P & K Prof. Dr. Fuad Hassan sendiri gembira dengan perkembangan di Australia itu. Katanya, "Inilah kesempatan bahasa Indonesia tampil di luar negeri." SI (Jakarta) & Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini