LENGKENG, tumbuhan yang dulu dikenal hanya bisa berbuah bila ditanam di daerah sejuk, kini tak lagi pilih-pilih t mpat untuk berkembang biak. Tumbuhan itu sudah bisa berbuah di dataran rendah. Buktinya: pohon lengkeng yang ditanam Bu Karno di pekarangan rumahnya di Tegalrejo, Yogyakarta, 16 tahun silam, baru-baru ini panen untuk pertama kalinya. "Tadinya, saya kira pohon ini mandul," ujar Bu Karno. Saking gembiranya, panen perdana lengkeng milik Bu Karno itu bahkan disertai upacara segala. Pemetikan buah pertama pada pohon yang semata wayang itu dilakukan oleh Prof. Gembong Tjitrosoepomo, Rektor Universitas Wangsa Manggala (Unwama), Bantul. Hasilnya? "Tujuh puluh kilo," kata Bu Karno. Selama ini, pohon lengkeng (Nephelium longanum) dianggap mustahil bisa berbuah bila ditanam di dataran rendah, seperti di Tegalrejo, yang terletak pada ketinggian 120 meter dari permukaan laut. Tumbuhan ini diketahui hanya bisa berkembang biak di daerah berketinggian 300-900 meter. Maka, sentra produksi lengkeng di Jawa Tengah berada di daerah Salatiga, Ambarawa, Temanggung, dan Wonosobo -- yang semuanya terletak pada 500-800 meter dari permukaan laut. Ada keajaiban apa yang membuat pohon lengkeng Bu Karno, yang menurut ukuran normal seharusnya berbuah empat tahun lalu, tiba-tiba bisa dipanen? Adalah Hatta Sunanto, 42 tahun, staf pengajar pada Fakultas Pertanian Unwama, yang "mendukuni" pohon lengkeng supaya berbuah di dataran rendah. Tiga tahun lamanya Hatta melakukan percobaan-percobaan untuk menerobos kemandulan itu. Ternyata, tak sia-sia. Dari 15 pohon lengkeng yang dijadikannya percobaan, ada dua belas yang dapat berbunga dan berbuah. "Teknik yang saya pakai bisa dipertanggungjawabkan," kata Hatta. Teknik yang dipakai Hatta untuk memaksa lengkeng berbuah di dataran rendah sederhana sekali. Kulit batang lengkeng yang telah berumur sekitar 4-5 tahun dikelupas selebar 50 cm pada jarak setengah meter dari anah. Pengelupasan kulit pohon itu dilakukan secara melingkar batang. Karena itu,teknik ini disebut teknik ringing. Pada dasarnya, teknik ringing ini merupakan bentuk sebuah manajemen nutrisi. Mengelupas kulit batang secara melingkar berarti memutus suplai karbohidrat -- yang diproduksi daun -- ke akar. Persediaan bahan makanan bisa menumpuk. Tapi pengerutan kulit pohon akibat pengelupasan itu mesti diimbangi dengan pemberian pupuk NPK (nitrogen-phosphat-kalium) secara intensif. Mengapa? Pengadaan nutrisi yang memadai lewat pemupukan, kata Hatta, akan merangsang pohon yang memiliki persediaan bahan makanan yang berlimpah itu untuk berbunga. Selain itu, dengan masuknya unsur kalium melalui NPK, pertumbuhan bunga menjadi buah akan terjaga pula, karena kalium itu membuat bunga tak gampang rontok. Pupuk yang direkomendasikan adalah NPK dengan perbandingan 30 :20 :50. Untuk memperoleh 10 kg NPK murni, diperlukan sekitar 8 kg pupuk urea, 6,5 kg TSP, dan 8 kg KCI. Dosis 10 kg NPK murni adalah untuk pohon lengkeng berumur lima tahun. Setelah itu, tiap tambah umur satu tahun dosis ditambah satu kilogram. Setelah ringing, pemupukan disarankan agar dilakukan dua kali setahun. Dalam melakukan pengelupasan kulit batang harap hati-hati terhadap lapisan lendir. Lapisan yang terletak antara kulit dan kayu ini jangan sampai terkerut. Jika lendir transparan, yang disebut jaringan kambium, ikut terkelupas, akibatnya bisa fatal. Pohon akan layu, lalu mati. Padahal, lengkeng bisa mencapai umur 150 tahun, dan jika tanah tempat tumbuhnya cukup subur, dia bisa berbuah hingga akhir hayatnya. Mengapa jaringan kambium tak boleh terusik? Karena kambium inilah yang bisa menyembuhkan pelukaan dengan membentuk jaringan kulit baru. Pada kambium terdapat jaringan tipis yang berfungsi sebagai sarana transportasi asimilat -- karbohidrat hasil asimilasi daun. Jika kambium terkerut, jaringan transportasi itu akan terputus selamanya. Akibatnya, akar tak lagi dapat suplai pangan dari tajuk, dan tak akan terjadi lagi proses pertumbuhan serta penggantian sel-sel baru di akar. Pada gilirannya, kiriman nutrisi dari akar ke tajuk pun akan terhenti. Maka, kematian pohon tingga menunggu hari. Teknik ringing sebetulnya sudah sering dilakukan pada tanaman apel atau jeruk sejak puluhan tahun silam. Entah mengapa teknik ini, yang bisa membuat pohon lengkeng bisa dipercepat pembungaannya, dari rata-rata 12,5 tahun menjadi 4-5 tahun, kurang memasyarakat di Indonesia. Teka-teki mengapa lengkeng tak berbuah di dataran rendah telah lama menggoda Hatta untuk menjawabnya. Sejak dia masih mahasiswa di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogya, tahun 1964-1970. Tapi kesempatan baru diperolehnya tiga tahun lalu. Percobaan pertama dilakukannya pada pohon lengkeng yang tumbuh di halaman rumahnya di Yogya, dan berhasil. Dorongan itu kian menggebu setelah Hatta melihat lengkeng bisa dijadikan komoditi yang menguntungkan. Dengan populasi 2.800 pohon, Desa Jetis, Ambarawa, menurut Hatta, bisa menghasilkan 4.800 ton lengkeng. Itu berarti, kalau rata-rata pada musim panen harga jual petani Rp 2.500 per kg, penghasilan Desa Jetis dari lengkeng bisa mencapai Rp 1,2 milyar. Hasil percobaannya ini sebetulnya ingin disiapkan Hatta untuk menjadi sebuah karya ilmiah. Sayang, percobaannya tak memungkinkannya melakukan sebuah analisa yang sistematis. Karena tanaman contohnya terserak di banyak tempat, kondisi lingkungan yang berbeda, dan umur tanaman yang tak seragam. Sehingga hasil penelitian Hatta belum sahih menurut kaidah ilmu. Menurut Pembantu Rektor Unwama, Dr. Joedoro Sudarsono, yang membimbing Hatta, penelitian itu masih terlalu dini untuk memperoleh pengesahan ilmiah. "Itu baru coba-coba saja," ujar Joedoro. Putut Tri Husodo (Jakarta) dan I Made Suarjana (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini