BILA ekonomi diperhitungkan dalam perayaan ulang tahun, jadinya sebuah "ulang tahun borongan". Itulah yang berlangsung Kamis malam pekan lalu, di Hotel Hyatt Aryaduta, Jakarta. Sebuah perayaan yang ramai -- sekaligus buat ulang tahun ke-42 harian Merdeka, ke-32 harian Indonesian Observer, dan ke-70 bagi pemilik kedua koran itu, Burhanuddin Muhammad Diah. "Kita 'kan harus memperhitungkan setiap biaya yang kita keluarkan," katanya kepada Muchsin Lubis dari TEMPO. Berbatik cokelat lengan panjang dan berkopiah, wartawan tiga zaman itu tampak cerah. Tengok kanan, tengok kiri, ia tersenyum tak henti-hentinya kepada para tamu, di antaranya siapa lagi bila bukan yang berurusan dengan pers: Menpen Harmoko. Dan Menpen inilah, cuma, yang kemudian berani berkomentar. "Pak Diah itu memang pelit. Tapi, pelit dalam tanda kutip. Maksudnya, hemat," kata Harmoko. "Sampai reporternya dilarang berutang di kantor." Itu memang pengalaman sejati Menpen. Di tahun 1950-an, ia pernah jadi karyawan B.M. Diah. Satu lagi, pesta ini juga untuk mengenang 50 tahun B.M. Diah berkecimpung di dunia kewartawanan. Dan diperingati dengan terbitnya dua buku. Pertama, Mahkota Bagi Seorang Wartawan. Buku ini berupa kumpulan wawancara B.M. Diah dengan sejumlah kepala negara, termasuk yang terakhir dengan Mikhail Gorbachev, Sekjen Partai Komunis Uni Soviet. Buku kedua, Meluruskan Sejarah, --sebuah kumpulan artikel yang mengkaji sejumlah peristiwa nasional dengan kritis. "Maklumlah, sejarah sekarang ini banyak yang bengkok-bengkok," kata penulisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini