Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 26 Januari 1945. Nama saya berasal dari Kakek yang seorang dokter ilmu jiwa. Sampai sekarang rumah sakitnya masih ada di Bogor: Rumah Sakit Jiwa Dr H Marzoeki Mahdi. Bapak saya, Suryono Darusman, adalah seorang diplomat. Saya adalah sulung dari lima bersaudara, dua di antaranya sudah meninggal. Adik saya, Taufik, adalah jurnalis. Satu lagi, Candra Darusman, adalah seorang musikus. Dulu, Candra belajar piano saat ikut orang tua kami bertugas di Rusia. Berbeda dengan saya yang tak bisa bermain musik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat berusia 3 tahun, saya ikut Bapak dan Ibu ke Singapura untuk membuka perwakilan Indonesia di sana. Ketika itu namanya hanya Kedutaan. Bapak saya yang merintisnya, sekaligus menyelundupkan narkotik. Narkotik itu diambil dari gudang obat-obatan yang ada di Salemba, Jakarta Pusat. Dari situ opium dibawa ke pelabuhan Angkatan Laut di Semarang, lalu diangkut dengan sekoci ke Singapura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami lalu menukarnya dengan senjata, kebanyakan senapan, yang dibawa dari Singapura ke Indonesia. Jadi penyelundupan sebenarnya sudah ada sejak dulu. Narkotik terlebih dulu dibawa ke Semarang karena saat itu kondisi Jakarta kurang aman, masih dikuasai musuh (pasukan Sekutu dan Netherlands Indies Civil Administration/NICA). Senjata dari Singapura itu lalu dipakai tentara kita untuk perjuangan.
Bapak saya menjadi generasi pertama Kementerian Luar Negeri. Pada 1950, kami pindah ke Australia. Kami tinggal di sana sekitar 2 tahun, sebelum pindah ke Portugal. Pada 1954, kami sekeluarga pindah ke Prancis, dan pada 1956 kembali ke Indonesia. Semula saya berencana meneruskan sekolah di Prancis. Namun, karena pada 1956 Rusia menyerang Hungaria, banyak yang cemas serangan itu merembet ke Prancis. Akhirnya orang tua memutuskan saya pulang ke Bogor untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Rakyat.
Di Bogor, saya tinggal indekos di rumah paman. Sementara itu, orang tua dan adik-adik saya berpindah-pindah negara, dari Yugoslavia, Italia, Swiss, Rusia, hingga Meksiko. Karena dulu sering ikut Bapak berpindah negara, tidak banyak yang saya ingat tentang kawan masa kecil. Dengan adik-adik pun demikian. Kadang saat libur sekolah, saya menyusul ke Eropa, begitu pula sebaliknya. Semula saya masih sering rindu pada keluarga. Tapi, lama-kelamaan, saya terbiasa dan merasa lebih mandiri.
Masa sekolah menengah pertama lebih banyak saya habiskan untuk membaca, juga berolahraga seperti sepak bola dan basket. Terkadang saya juga ikut berkumpul dengan teman-teman. Saya baru mempunyai kawan sepermainan yang dekat saat di bangku sekolah menengah atas. Pertama di SMA Kanisius Jakarta, lalu pindah ke SMA Regina Pacis, Bogor. Di SMA Kanisius saya satu angkatan dengan Akbar Tandjung. Adapun Sarwono Kusumaatmadja dan Jusuf Wanandi adalah kakak angkatan.
Selepas SMA, pada 1963, saya sempat kuliah di Jurusan Fisika Murni Institut Teknologi Bandung. Saya memilih jurusan itu karena saingannya tak banyak. Namun akhirnya kuliah itu saya lepas karena tahun itu lolos beasiswa jurusan arsitektur di Jerman Timur. Saya memilih Jerman Timur karena tidak terlalu jauh dari orang tua yang sedang bertugas sebagai wakil duta besar di Yugoslavia. Jadi, saat ada jeda liburan, saya bisa mengunjungi orang tua di sana. Saya mudah keluar-masuk Jerman Timur untuk berkunjung ke Yugoslavia karena bermodal paspor Indonesia.
Saat itu masih ada Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur. Sementara suasana di Jerman Barat dikenal merdeka, warga Jerman Timur banyak yang berwajah muram dan cemas. Fasilitas, kudapan, dan pilihan pakaian di Jerman Barat dan Timur pun berbeda. Di Jerman Timur banyak terjadi unjuk rasa, tapi selalu berlangsung tertib karena diatur oleh negara, baik itu spanduknya, bendera, maupun yel-yelnya.
Di Jerman Timur, saya tinggal di asrama. Banyak mahasiswa Indonesia juga kuliah di sana. Ada Perhimpunan Pelajar Indonesia, tapi saya tidak aktif di situ. Waktu itu mahasiswa Indonesia di Jerman Timur terbagi menjadi dua blok: sosialis dan yang bukan. Tapi, karena kami sama-sama tinggal di perantauan, perdebatan dan perbedaan pendapatnya tidak terlalu tajam.
Pada 1965 ada geger Gerakan 30 September, saya pulang walau perkuliahan baru berjalan satu setengah tahun. Di Indonesia, saya sempat melanjutkan kuliah arsitektur di ITB, tapi tidak rampung karena situasi politik saat itu. Sebab, lumayan sulit membagi waktu untuk kuliah arsitektur sembari terlibat demonstrasi.
Akhirnya saya mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung. Di situ saya berfokus ke hukum internasional, dengan pertimbangan akan berguna jika suatu saat saya bekerja di luar negeri. Adapun skripsi saya menyoal hukum laut internasional, sesuai dengan bidang dosen pembimbing: almarhum Mochtar Kusumaatmadja yang ketika itu Rektor Universitas Padjadjaran. Pada 1974, saya akhirnya menyelesaikan kuliah di Unpar.
Saat itu, banyak mahasiswa tergabung dalam sejumlah organisasi, entah itu Himpunan Mahasiswa Islam entah Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), atau lainnya. Namun saya tidak bergabung ke mana pun. PMB memang kumpulan mahasiswa gaul ketika itu; anggotanya ada yang suka main band, dansa-dansi, piknik, tapi saya tidak terbawa itu semua. Apalagi kalau mau masuk ke PMB itu ada pelonconya. Itu berat, ha-ha-ha…. Tapi ketika itu pergaulan rileks, tidak ada ketegangan. Jadi, walau tak bergabung dengan organisasi apa pun, saya bisa saja berteman dengan mereka.
Semasa menjadi mahasiswa, pada 1970 saya bergabung dengan Partai Golongan Karya (Golkar). Saya masuk ke sana karena ketika itu tentara aktif mencari kader. Hubungan mahasiswa dan Komando Daerah Militer Siliwangi memang cukup dekat karena pernah sama-sama mencari orang yang diduga komunis. Selama di Golkar, saya juga sempat aktif di Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Ketika itu CSIS dominan dalam politik pembaruan karena ketuanya, Ali Murtopo, dekat dengan Presiden Soeharto. Jadi Golkar boleh dibilang dikuasai oleh CSIS dan tentara. Dasar-dasar Golkar saat ini berasal dari zaman itu.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ferry Mursyidan Baldan (kiri) dan Marzuki Darusman (tengah) saat hadir pada Rapat Pimpinan (Rapim) Partai Golkar ke VII di Jakarta, Oktober 2003. Dok TEMPO/ Santirta M
Empat tahun setelahnya, saya masuk Dewan Perwakilan Rakyat. Selama di DPR saya pernah ditempatkan di sejumlah komisi. Seperti di Komisi I yang membawahkan pertahanan dan luar negeri, lalu pindah ke bidang Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara. Adapun saat di Golkar saya ditempatkan di bidang pemuda, mahasiswa, dan cendekiawan. Sekarang unsur bidang cendekiawan sudah menjelma menjadi badan pakar.
Di Golkar, ketika itu kami yang bekas aktivis mahasiswa relatif diberi ruang kebebasan selama tidak mengganggu tentara atau presiden. Golkar waktu itu adalah partai baru yang tidak mau kaku pada ideologi. Jadi, untuk bisa bersaing dengan partai lain, partai mesti bisa dekat dengan masyarakat.
Pada 1990-an, saya diwawancarai oleh sebuah media soal politik. Saya ditanya, di Golkar mau ke mana arahnya setelah ini? Saya jawab, saya ingin menjadi presiden. Dulu kan orang cita-citanya jadi profesor, kalau prajurit ingin jadi jenderal, kalau politikus jadi presiden, kan?
Waktu itu ngomong ingin jadi presiden itu double haram. Jadilah gempar. Sampai juga pernyataan saya itu ke telinga Pak Harto (Presiden Soeharto). Akhirnya saya dikeluarkan dari DPR oleh Golkar. Partai bilang ucapan saya mengganggu suasana, tidak sejalan dengan partai. Yang menyampaikan ke saya ketika itu Pak Harmoko, dengan sekretaris jenderalnya, Pak Rachmat Witoelar. Karena kami dekat sama-sama dari Bandung, Pak Rachmat bertanya kepada saya: Mau ngapain jadi presiden segala? Tapi saya enggak menyesali pernyataan saya. Soalnya itu membuat saya jadi sorotan.
Setelah reformasi, saya menjadi salah satu ketua di Golkar, bidang luar negeri. Ketika itu Golkar dipimpin Akbar Tandjung, yang sudah saya kenal lama. Namun, dengan Pak Akbar, saya pernah ada masalah juga. Pada waktu itu, saya dan Fahmi Idris tidak menerima hasil rapat pimpinan nasional yang menyatakan dukungan terhadap pasangan calon presiden dan wakilnya, Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi. Saya menolak karena menganggap sikap Golkar terlalu mengekor ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Walau Golkar posisinya saat itu tengah surut, kalau gabung ke sana-sini apa gunanya? Gara-gara itu, saya dipecat dari Golkar.
Setelah itu, Golkar ganti dipimpin oleh Jusuf Kalla. Saya akhirnya masuk lagi ke Golkar. Dalam musyawarah nasional, diumumkan bahwa kader yang dulu dipecat namanya dipulihkan.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo