Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah negara Asia menetapkan fly ash dan bottom ash (FABA) dengan kategori berbeda.
Pemanfaatan FABA di Asia umumnya untuk campuran material bangunan dan jalan.
Dampak pemanfaatan abu batu bara bagi kesehatan juga sempat dipersoalkan di Korea Selatan.
DI sejumlah negara Asia, abu terbang dan abu dasar alias fly ash-bottom ash (FABA)—sisa pembakaran batu bara—dikategorikan berbeda. Korea Selatan menggolongkannya sebagai limbah biasa, sementara Jepang memasukkannya ke daftar limbah beracun. Adapun Malaysia menetapkannya sebagai limbah berbahaya. Kesamaan negara-negara ini adalah sudah lama membolehkan pemanfaatan FABA, umumnya untuk campuran material bangunan dan pengeras jalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggoro Tri Mursito, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan masih banyak negara di Asia-Pasifik yang menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dibanding di Trans-Atlantik. "Di Asia-Pasifik, kebanyakan FABA dimanfaatkan untuk material substitusi di bidang infrastruktur dan konstruksi. Salah satunya bahan tambahan untuk semen dan bata," kata Anggoro, Selasa, 8 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Korea Selatan, pada 2020, jumlah PLTU berbahan bakar batu bara hampir 37 persen dari total pembangkit yang ada. PLTU batu bara menjadi sumber listrik utama Negeri Ginseng itu. Pada akhir 2018, PLTU ini menghasilkan 9,4 juta ton abu batu bara. Abu batu bara dikategorikan sebagai limbah industri biasa sehingga dapat disimpan di penampungan terbuka di dalam kawasan pembangkit.
Industri Korea mulai kembali menggunakan abu batu bara pada 1990-an. Praktiknya dipercepat dengan teknologi canggih pada awal 2000-an karena munculnya konsensus sosial tentang perlunya pemanfaatan kembali sumber daya yang tersedia. Hingga awal 2010, baru sekitar 70 persen abu batu bara yang dimanfaatkan kembali karena pasokan dan permintaan yang tidak sebanding. Alasan lain: biaya pengangkutan abu secara aman lebih mahal daripada penimbunan.
Menurut Kementerian Lingkungan Korea Selatan, 89 persen FABA digunakan kembali sebagai bahan semen, beton, dan serat mineral. Sisanya, sekitar 11 persen, diketahui ditimbun di penampungan di dalam pembangkit listrik atau di tempat lain yang diizinkan.
Jepang mengklasifikasikan FABA sebagai limbah beracun dan tunduk pada berbagai standar keamanan. Negara dengan populasi 126 juta jiwa ini membolehkan pemanfaatan FABA. Pada 2011, Jepang mengklaim telah mendaur ulang sekitar 97 persen abu batu baranya, naik dari 67 persen pada 1995. Pemanfaatan yang paling umum, sebesar 67 persen, adalah untuk campuran semen. Produk semen ini paling sering digunakan dalam proyek pembangunan di pesisir, seperti tanggul.
Fasilitas umum di wilayah Tohoku, Jepang, yang meliputi Prefektur Fukushima, menggunakan abu batu bara untuk proyek rekonstruksi setelah terjadi bencana kebocoran nuklir Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima pada 11 Maret 2011. Tokyo Electric Power Company (TEPCO) menawarkan abu batu bara dari PLTU Haramachi untuk pekerjaan rekonstruksi di prefektur itu. Fukushima Ecocrete Co Ltd, yang berbasis di Minamisoma, Fukushima, menggunakan FABA dari dua pembangkit listrik TEPCO untuk menghasilkan beton.
Baik kelompok industri maupun pakar mencatat pasokan abu batu bara Jepang lebih besar daripada permintaan untuk proyek pekerjaan umum. Pada 2015, Federasi Perusahaan Listrik menyampaikan keprihatinan mengenai tempat pembuangan FABA domestik yang diperkirakan penuh pada 2025. Untuk mengatasinya, Jepang mengizinkan ekspor FABA ke luar negeri mulai 2002. Sejak 2014, sebagian FABA diekspor ke Hong Kong. Pada 2018, Jepang mengekspor sekitar 1,2 juta ton FABA ke Korea Selatan.
Di Malaysia, FABA diklasifikasikan sebagai limbah terjadwal, yang diatur dalam Undang-Undang Kualitas Lingkungan Malaysia. Limbah terjadwal adalah sebutan untuk limbah yang memiliki karakteristik berbahaya dan berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat serta lingkungan. Dengan kategori ini, limbah itu harus dinilai aman melalui penilaian risiko lingkungan sebelum disetujui untuk digunakan sebagai produk turunan.
PLTU batu bara menghasilkan 53,9 persen dari kebutuhan listrik Malaysia dan abu terbang telah lama disetujui serta dinyatakan aman untuk digunakan dalam industri konstruksi. Sejak sepuluh tahun lalu, abu terbang dari PLTU batu bara mencakup 57 persen dari limbah yang dikelola Departemen Lingkungan di bawah protokol limbah terjadwal. Tidak seperti abu terbang, abu dasar memiliki tantangan yang cukup besar untuk mendapatkan persetujuan pemanfaatan.
Salah satu pembangkit berbahan bakar batu bara di Malaysia adalah PLTU Tanjung Bin, yang memiliki kapasitas 2.100 megawatt. Terletak di Negara Bagian Johor, Malaysia selatan, PLTU ini dioperasikan oleh Malakoff Corporation Berhad. Pembangkit ini membakar 18 ribu ton batu bara yang diimpor dari Indonesia dan menghasilkan 1.620 ton abu terbang setiap hari. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak lingkungan dari logam berat dalam tumpukan deposit yang makin meningkat.
PLTU Manjung 4 di Perak, yang menggunakan batu bara Kalimantan untuk menghasilkan listrik 1.000 megawatt, disebut-sebut sebagai pembawa standar untuk pembangkit energi berbahan batu bara yang lebih bersih. "Setelah berhasil mendapatkan persetujuan, 99,7 persen abu dasar dari pembangkit ini dijual ke produsen semen," ucap manajemen PLTU milik Tenaga Nasional Berhad itu pada 2017.
Di Australia, PLTU batu bara menghasilkan 12 juta ton FABA setiap tahun. Lebih dari 400 juta ton abu terbang disimpan di lokasi pembuangan di seluruh Australia. Limbah ini menyumbang hampir seperlima dari total limbah negara berpenduduk 25,3 juta jiwa itu. Hanya 20 persen limbah yang digunakan kembali. Perusahaan semen lokal tidak tertarik menggunakannya karena mereka dapat menghasilkan lebih banyak uang dengan memakai bahan impor.
Kelompok pegiat lingkungan di Australia telah lama berpendapat mengenai perlunya regulasi yang lebih baik tentang FABA. Sebuah laporan yang diterbitkan pada Maret lalu menunjukkan pemerintah New South Wales setuju dengan pendapat itu, tapi tidak ada tindak lanjutnya. Aktivis lingkungan menilai perbaikan yang dilakukan tidak bisa mencegah kontaminasi air tanah dari dampak penimbunan limbah batu bara.
Dampak lain pemanfaatan abu batu bara juga sempat dipersoalkan di Korea Selatan. Pada 2019, kelompok masyarakat sipil dan Komite Investigasi Khusus Parlemen mengumumkan temuan lebih banyak karsinogen dalam abu batu bara. Penyelidikan dimulai setelah kematian pekerja subkontrak PLTU batu bara pada tahun itu. Seusai kejadian itu, para ahli kesehatan kerja dan kelompok masyarakat mulai menyerukan pengetatan peraturan tentang pengukuran kadar racun FABA.
Di sisi lain, sejak awal 2000-an, kelompok perlindungan konsumen konsisten berargumen bahwa warga Korea Selatan yang tinggal di rumah berbahan semen yang dicampur abu batu bara menderita berbagai penyakit karena dugaan adanya kandungan karsinogen. Industri semen menolak argumen ini dengan mengatakan semua karsinogen hilang dalam proses pembuatan semen, yang dipanaskan di suhu lebih dari 800 derajat Celsius selama berjam-jam.
Pada 2020, sebuah kelompok perlindungan konsumen merilis pernyataan bahwa semen daur ulang limbah Korea Selatan lebih berbahaya daripada yang diproduksi di negara lain karena lebih banyak jenis limbah yang diizinkan untuk didaur ulang. Namun argumen ini dinilai belum memadai karena tidak mendapat dukungan data atau pandangan dari ahli medis atau kimia.
ABDUL MANAN, KIM JI-YOON (NEWSTAPA, KOREA SELATAN), ANNELISE GISEBURT (TANSA, JEPANG), AIDILA RAZAK, DARSHINI KANDASAMY (MALAYSIAKINI, MALAYSIA), EMMA CONNORS (THE AUSTRALIAN FINANCIAL REVIEW, AUSTRALIA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo