Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Periode Marzuki Darusman menjadi Jaksa Agung banyak menjerat koruptor dan kroni Suharto
Marzuki Darusman menjadi Jaksa Agung di masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
SAYA menjadi Jaksa Agung pada 1999, saat era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Semula saya menolak permintaan beliau karena merasa jabatan itu amat berat. Saya lebih sreg dengan posisi Menteri Luar Negeri ataupun Menteri Dalam Negeri. Namun, kata Gus Dur, pos Menteri Luar Negeri sudah untuk Alwi Shihab. Gus Dur ingin saya menjadi Jaksa Agung menimbang sejarah saya di Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang cocok untuk mengejar para koruptor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhirnya, tawaran itu saya terima. Selama menjadi Jaksa Agung, saya menangkap banyak kroni Pak Harto (mantan Presiden Soeharto). Bahkan, dalam sepekan pertama, kami menangkap sekitar 50 orang sekaligus. Tak pelak hal itu membuat ramai pemberitaan. Bahkan saya sampai meminta penambahan ruang tahanan di Kejaksaan Agung, karena kapasitas sebelumnya tidak mencukupi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejaksaan Agung begitu produktif pada masa itu karena memang momentumnya pas; ada tuntutan dari masyarakat dan mereka yang di dalam (jaksa) tidak mampu membendung keinginan warga. Jadi memang, menurut saya, penegakan hukum tidak akan bisa terjadi tanpa adanya tekanan masyarakat. Kalau sekarang ini, kondisi di masyarakat bisa dibilang timpang. Jadi, bukan karena kekuatan politik, tapi uang yang dihimpun selama lebih dari 30 tahun oleh orang-orangnya Pak Harto.
Lantaran situasinya boleh dibilang genting, waktu itu kami tidak bisa bekerja di kantor. Hampir setiap hari ada demonstrasi dan bom di mana-mana. Gedung Kejaksaan Agung pun tak lepas dari kiriman bom. Pernah satu kali, kebetulan saya sedang bekerja di kantor, ada bom yang meledak di toilet Gedung Bundar (tempat kerja jaksa umum pidana khusus beserta stafnya). Bomnya memang kecil, tapi kan itu sudah sering terjadi. Itu menjadi teror karena kita tidak tahu apakah ada bom besar dan akan meledak di mana.
Walhasil, saya beserta sejumlah jaksa bekerja dari Hotel Regent Jakarta Selatan, yang kini menjadi apartemen. Hanya sekali dalam sepekan kami bekerja di kantor. Akan halnya staf, mereka tetap bekerja di gedung Kejaksaan Agung. Karena suasana reformasi masih kuat, relatif tidak ada pembangkangan internal di Kejaksaan Agung.
Ketika itu kami sedang menangani puluhan perkara perbankan. Di antaranya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun dan menjerat pengusaha Sjamsul Nursalim. Belakangan kasus itu naik lagi. Padahal kasus tersebut sebenarnya sudah dianggap selesai oleh pemerintah saat itu, karena uangnya sudah kembali. Waktu itu kami tangkap dulu orang-orangnya, baru berunding soal pengembalian uangnya. Sebab, Gus Dur berpesan untuk memprioritaskan pengembalian uang ke negara.
Yang juga kami tangani ketika itu adalah kasus Bank Bali yang menyeret nama mantan Gubernur Bank Indonesia, Sjahril Sabirin. Ada pula kasus Pertamina yang menjerat sesama kawan di Golkar, Ginanjar Kartasasmita, juga kasus kehutanan yang melibatkan Bob Hasan. Kejaksaan Agung juga mencabut surat perintah penghentian penyidikan kasus Soeharto. Anak Pak Harto, Tommy (Hutomo Mandala Putra), juga dijerat perkara. Ketika itu, Tentara Nasional Indonesia ingin kasus Pak Ginanjar diselesaikan secara internal. Namun dari segi hukum tentu tidak bisa.
Saat menjadi Jaksa Agung, saya masih di Golkar dan datang ke rapat-rapatnya. Sementara itu, banyak orang yang ditangkap Kejaksaan Agung terkait dengan Golkar. Jadi, ya, saya mulai dijauhi dan dikucilkan di partai. Saat berpapasan dengan sejumlah orang, misalnya, mereka menghindar. Walau demikian, Pak Akbar Tandjung sebagai ketua umum tidak menegur apa pun soal sikap saya di Kejaksaan Agung.
Pada waktu itu, banyak (kader Golkar) yang datang memohon agar kasusnya tidak diusut. Kalau ada yang seperti itu, saya dengarkan saja. Saya lalu memberi mereka pengertian, walau ujung-ujungnya mereka akan kecewa. Periode menjadi Jaksa Agung ini masa yang susah buat saya. Tapi saya sudah terbiasa dianggap aneh di partai. Begitu pula di Kejaksaan Agung. Saat menghadiri kegiatan-kegiatan Golkar, saya tidak pernah mengenakan jas kuning seragam partai. Begitu juga saat menjadi Jaksa Agung, saya tidak memakai seragam jaksa. Alih-alih berseragam, saya lebih memilih setelan kemeja dengan jas.
Berbagai macam kondisi itu tidak mempengaruhi kerja saya sebagai Jaksa Agung. Saya juga tidak ada urusan apa pun terkait dengan bisnis, jadi tidak ada ikatan ekonomi. Keluarga sendiri relatif merasa tenang karena saya mendapat pengawalan yang baik. Setelah Presiden, mungkin pengawalan Jaksa Agung sebagai figur politik yang paling ketat saat itu karena riskan. Dalam satu kesempatan, pengawal saya sekitar 10-15 orang. Kondisinya ketika itu memang menegangkan.
Nilai-nilai dari Komnas HAM saya bawa ke Kejaksaan Agung: tidak boleh pandang bulu dalam hal penegakan keadilan. Pernah aktif di Komnas HAM juga membawa nilai tambah buat saya. Kalau ada yang menganggap saya tak pandang bulu, orang akan paham itu karena saya pernah di Komnas HAM. Pokoknya gasak saja.
Pada 2001, saya dicopot sebagai Jaksa Agung. Saya lalu menjadi sekretaris kabinet hingga akhir periode Gus Dur. Saat Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur sebagai presiden, saya tidak masuk ke kabinet. Dulu, mereka yang ada di pemerintahan Gus Dur dan ingin meneruskan jabatannya harus sowan dulu ke Bu Mega. Tapi saya tidak melakukannya karena merasa tidak cocok.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo