SAYA yakin sekali Indonesia ini akan menjadi negara yang hebat
sekali nantinya. Tentunya saya tidak akan mengalami itu" -- kata
Prof. Dr. Bahder Djohan, pada perayaan kawin emasnya, Mei tahun
lalu.
Kini salah seorang pendiri Palang Merah Indonesia itu memang
sudah pergi lebih dulu -- Ahad 8 Maret sekitar pukul 04.00,
setelah sekitar 2 bulan dirawat di RS cipto Mangunkusumo dan
Kamis pekan lalu minta dipindahkan ke rumah. "Karena jantung dan
usia lanjut," tutur seorang cucunya.
Hari itu juga pukul 12.00 jena.ah disembahyangkan di Masjid Al
Azhar -- dan dimakamkan di Pemakaman Tanah Kusir.
Sudah sejak Desember lalu, setelah menerima Bintang Jasa Pratama
Kelas II dari Pemerintah RI, praktis Prof. Bahder tak lagi
melakukan kegiatan. Kesehatannya makin mundur. Dan meski secara
resmi masih menjadi rektor (sejak 1968) Universitas Ibnu
Khaldun, tugas kerektoran dikerjakan orang lain.
Lahir di Lubukbagalung, kota kecil 8 km arah timur Padang, 30
Juli 1902, Bahder anak kelima di antara sepuluh bersaudara.
Ayahnya, Mohammad Rapal gelar Sutan Burhanudin, seorang jaksa.
Karena itu sampai lulus sekolah dokter STOVIA di Jakarta,
November 1927, Bahder tak mengalami banyak kesulitan.
"Di saat masyarakat kekurangan pribadi yang punya pendirian
teguh, terasa benar kita kehilangan Bahder Djohan," ucap
Mohammad Natsir pada upacara pemakaman.
Dalam sejarah hidupnya, pernah sebelum masa jabatannya habis
Prof. Bahder mengundurkan diri sebagai presiden (rektor, kini)
Universitas Indonesia -- 1958. Ia tak setuju cara pemerintah
waktu itu menyelesaikan peristiwa PRRI yang meletus 1957.
Sejak itu, masa sekitar 8 tahun merupakan masa suram.
Lembaga-lembaga pemerintah tertutup baginya. Padahal sedari
lulus sebagai dokter ia belum pernah buka praktek. Untung putri
satu-satunya telah menikah. Baru tahun 1966 ia ditawari bekerja
di poliklinik PN Panca Niaga.
Di masa mudanya, tokoh yang kemudian pernah menjadi direktur
RSUP Jakarta (sekarang RSCM) 1953-1954 ini aktif dalam Jong
Sumatranen Bond. Sambutannya dalam Kongres Pemuda I, 1926, yang
kemudian diterbitkan, ternyata dilarang pemerintah Belanda.
Tahun lalu pidato itu diterbitkan kembali oleh Yayasan Idayu,
dengan judul Di Tangan Wanita.
Prof. Bahder meninggalkan seorang istri, Ny. Siti Zairi Yaman,
75 tahun, seorang anak, seorang menantu dan lima cucu. Bekas
menteri pengajaran, pendidikan dan kebudayaan (1950-51 dan
1952-53) ini juga menerima gelar doktor kehormatan dari UI, Mei
1972.
Di rumah almarhum, Jalan Kimia 9, nampak melayat antara lain
Wapres Adam Malik, Rektor UI Prof. Dr. Mahar Mardjono, Menteri
Emil Salim, Buya Hamka, Mohammad Natsir, Prof. Dr. Mudjono
Djuned Pusponegoro (yang menggantikan Prof. Bahder sebagai
rektor UI, dulu), Ketua Umum PMI Prof. dr. Satrio, bekas menteri
P & K Syarief Thayeb.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini