Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Meninggal dunia

Bahder johan meninggal dunia dalam usia 78 th, menderita penyakit jantung dan usia lanjut, sekelumit riwayat hidupnya. jenazahnya dimakamkan di pemakaman tanah kusir, jakarta. (pt)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA yakin sekali Indonesia ini akan menjadi negara yang hebat sekali nantinya. Tentunya saya tidak akan mengalami itu" -- kata Prof. Dr. Bahder Djohan, pada perayaan kawin emasnya, Mei tahun lalu. Kini salah seorang pendiri Palang Merah Indonesia itu memang sudah pergi lebih dulu -- Ahad 8 Maret sekitar pukul 04.00, setelah sekitar 2 bulan dirawat di RS cipto Mangunkusumo dan Kamis pekan lalu minta dipindahkan ke rumah. "Karena jantung dan usia lanjut," tutur seorang cucunya. Hari itu juga pukul 12.00 jena.ah disembahyangkan di Masjid Al Azhar -- dan dimakamkan di Pemakaman Tanah Kusir. Sudah sejak Desember lalu, setelah menerima Bintang Jasa Pratama Kelas II dari Pemerintah RI, praktis Prof. Bahder tak lagi melakukan kegiatan. Kesehatannya makin mundur. Dan meski secara resmi masih menjadi rektor (sejak 1968) Universitas Ibnu Khaldun, tugas kerektoran dikerjakan orang lain. Lahir di Lubukbagalung, kota kecil 8 km arah timur Padang, 30 Juli 1902, Bahder anak kelima di antara sepuluh bersaudara. Ayahnya, Mohammad Rapal gelar Sutan Burhanudin, seorang jaksa. Karena itu sampai lulus sekolah dokter STOVIA di Jakarta, November 1927, Bahder tak mengalami banyak kesulitan. "Di saat masyarakat kekurangan pribadi yang punya pendirian teguh, terasa benar kita kehilangan Bahder Djohan," ucap Mohammad Natsir pada upacara pemakaman. Dalam sejarah hidupnya, pernah sebelum masa jabatannya habis Prof. Bahder mengundurkan diri sebagai presiden (rektor, kini) Universitas Indonesia -- 1958. Ia tak setuju cara pemerintah waktu itu menyelesaikan peristiwa PRRI yang meletus 1957. Sejak itu, masa sekitar 8 tahun merupakan masa suram. Lembaga-lembaga pemerintah tertutup baginya. Padahal sedari lulus sebagai dokter ia belum pernah buka praktek. Untung putri satu-satunya telah menikah. Baru tahun 1966 ia ditawari bekerja di poliklinik PN Panca Niaga. Di masa mudanya, tokoh yang kemudian pernah menjadi direktur RSUP Jakarta (sekarang RSCM) 1953-1954 ini aktif dalam Jong Sumatranen Bond. Sambutannya dalam Kongres Pemuda I, 1926, yang kemudian diterbitkan, ternyata dilarang pemerintah Belanda. Tahun lalu pidato itu diterbitkan kembali oleh Yayasan Idayu, dengan judul Di Tangan Wanita. Prof. Bahder meninggalkan seorang istri, Ny. Siti Zairi Yaman, 75 tahun, seorang anak, seorang menantu dan lima cucu. Bekas menteri pengajaran, pendidikan dan kebudayaan (1950-51 dan 1952-53) ini juga menerima gelar doktor kehormatan dari UI, Mei 1972. Di rumah almarhum, Jalan Kimia 9, nampak melayat antara lain Wapres Adam Malik, Rektor UI Prof. Dr. Mahar Mardjono, Menteri Emil Salim, Buya Hamka, Mohammad Natsir, Prof. Dr. Mudjono Djuned Pusponegoro (yang menggantikan Prof. Bahder sebagai rektor UI, dulu), Ketua Umum PMI Prof. dr. Satrio, bekas menteri P & K Syarief Thayeb.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus