PULUHAN karyawan PT Kodja bersama pimpinan perusahaan dan
sejumlah tamu lainnya pekan lalu mendoa di kawasan galangan
kapal itu di Tanjungpriok. Mereka bersyukur bahwa proses
pembuatan sebuah dermaga apung sudah selesai. Dermaga itu, yang
dipesan Otorita Pelabuhan Jambi, terdiri dari 7 ponton yang
terbuat dari ferosemen, adukan beton dengan agregat sangat
halus. Dalam waktu dekat dermaga itu ditarik kapal tunda ke
Jambi. Di pelabuhan itu ke-7 bagian itu digabung menjadi satu
hingga panjang dermaga mencapai 64 meter dengan lebar 16,75
meter.
Suasana riang yang meliputi upacara itu cukup beralasan.
Pembuatan dermaga itu memakan waktu 886 hari, hampir 4 kali
lebih lama dari perkiraan semula. Meski konstruksi ferosemen dl
Indonsia baru pertama kali ini diterapkan untuk membuat dermaga
ponton, tekniknya tidak sulit. PT Kodja cukup berpengalaman
dengan teknik konstruksi itu. Sejak tahun 1975 perusahaan itu
membuat 60 kapal ferosemen berukuran 30 sampai 50 ton.
Bisa Keropos
Tapi keterlambatan itu bukan karemi kesulitan daIam teknologi
konstruksi melainkan bersumber pada segi pembiayaan. Sesudah
itu teratasi, ternyata ada perubahan rencana dari pihak pemesan.
"Akibatnya sebagian konstruksi harus diubah," ucap Soeparno
Prawiroadirejo, Direktur Utama PT Kodja. kepada TEMPO.
Semula landasan dermaga itu dirancang untuk menahan tekanan
gandar maksimal 18 ton dan tebal lapisan beton landasan itu sama
dengan dinding, yaitu 7 cm. Tapi pemesan kemudian hendak
menempatkan sebuah mobiI derek di alasnya, hingga konstruksi
landasan itu harus diperhitungkan kembali. Tekanan gandar
diperkirakan maksimal 30 ton, hingga lapisan beton landasan itu
berubah dari 7 cm menjadi 10 cm.
Apa yang terjadi bila beban itu melebihi 30 ton? "Barangkali
seperti jembatan Sarinah," jawab Soeparno berkelakar. "Tapi
rasanya untuk Jambi muatan yang lebih 15 ton tak akan ada."
Jembatan yang dimaksudnya itu, menghubungi Gedung Sarinah dan
Jakarta Theatre, runtuh baru-baru ini.
Kapal yang nanti bersandar di dermaga itu tidak akan melebihi
1000 ton. Panjang kapal sebesar itu sekitar 60-an meter. Jika
kapal melebihi panjang dermaga, proses bongkar-muat akan
mengalami kesulitan.
Dalam keadaan tidak dibebani, dermaga itu -- yang tingginya 2,4
meter dengan berat total 1000 ton -- bakal tengelam sampai 1
meter. Jika bebannya mencapai 1.500 ton, dermaga itu tenggelam
hingga landasannya rata dengan permukaan air.
Air di pelabuhan Jambi, sekitar 10 km dari tepi laut, tidak asin
tapi payau. Apakah tidak mungkin air itu merembes dan akhirnya
mempengaruhi baja penulangan? Kemungkinan itu bisa saja terjadi,
apalagi kalau pekerjaan pengecoran ceroboh. "Yang penting beton
itu harus diusahakan agar padat," ucap Soeparno. Ini juga
dijelaskan Baharuddin, ahli teknik di PT Kodja. "Bila sedikit
saja merembes, itu sudah merusak," katanya. Kalau pengecoran itu
baik, Baharuddin menjamin tidak akan ada perembesan air.
Pemadatan beton itu dilakukan dengan alat penggetar. "Kalau
dengan tangan saja, bisa keropos," ucapnya.
Dermaga itu di Jambi diapungkan dekat dermaga konvensional dan
dihubungkan dengan 3 jembatan, masing-masing sepanjang 21 meter.
Ketiga jembatan itu bisa mengikuti gerak naik turun dermaga
akibat pasang surut. Salah satu jembatan itu cukup besar hingga
bisa dilalui kendaraan. Dengan dua rantai besi yang saling
menyilang dermaga itu dirambat, hingga tidak hanyut oleh arus.
Rencana membuat dermaga apung itu sudah cukup matang
diperhitungkan oleh pemesannya. Pasang dan surut berkisar 3
sampai 7 meter di Jambi, hingga dermaga yang matok tidak
menguntungkan. Apalagi tonggak pancangnya harus mencapai
kedalaman 45 meter. Jelas tidak seimbang biayanya juga tiang
dermaga seperti itu bakal merangsang pengendapan lumpur yang
cukup tinggi di Jambi. Akibatnya pelabuhan cepat dangkal. Itu
sebabnya terpilih jenis dermaga terapung.
Masalah lain ialah menentukan pilihan antara bahan baja dan
ferosemen. Jika terbuat dari baja, dermaga itu tidak akan tahan
lama terhadap daya korosi air, apalagi air payau yang kadar
asamnya lebih tinggi dari air laut biasa. Agaknya lebih
menguntungkan menggunakan bahan ferosemen yang selain
konstruksinya lebih mudah dan murah, daya tahannya terhadap
korosi sangat tinggi.
Berapa lama diperkirakan daya tahan dermaga ferosemen seperti
ini? "Itu susah dijawab," ucap Soeparno. Tapi kapal ferosemen
bikinan perusahaannya bisa diandalkan. Misalnya kapal ferosemen
dengan dinding setebal 12 mm yang naik dok setelah 4 tahun
beroperasi. Tidak ditemukan kelainan apapun pada bahan ferosemen
itu. Cerita lain juga mendukung kenyataan ini.
Beton pertama kali diberi penulangan besi oleh Joseph Louis
Lambot di Miraval, Prancis. Tahun 1840-an, Lambot sudah membuat
berbagai perabot dari beton bertulang besi itu. Ia membuat
tempat bunga, guci air dan bahkan sebuah perahu dayung yang ia
pergunakan sendiri di danau dekat rumahnya. Hampir seratus tahun
kemudian -- 1955 -- perahu itu sengaja dicari dan ditemukan
kembali di dasar danau itu. Sedikitpun perahu itu tidak bocor
dan keadaan betonnya masih sangat baik.
Tahun 1855, Lambot mengajukan dan, memperoleh paten atas
penemuannya yang ia namakan ferciment. Tapi penelitian kemudian
oleh Dr. Pier Luigi Nervi di Italia sangat mengembangkan mutu
bahan itu yang sekarang dikenal sebagai ferrocement (gabungan
semen dengan besi). Tahun 1943, Dr. Nervi menumpuk beberapa
lapis kawat kasa, digabung dengan batang besi berdiameter kecil,
sebagai penulangan ferosemen. Setelah penulangan itu dibungkus
dengan adukan semen, ia memperoleh bahan yang sangat kuat tapi
liat dan ringan.
Irene
Dr. Nervi segera menyadari kemungkinan besar menggunakan bahan
ini dalam konstruksi kapal. Dan pesanan pertama ia peroleh dari
Angkatan Laut Italia berupa tiga kapal, masing-masing sebesar
150 ton. Bersamaan dengan itu kapal lain sebesar 400 ton juga ia
buat. Tahun 1945, ia membuat perahu pesiar untuk dirinya
sendiri. Berukuran 165 ton dan bernama Irene, perahu itu
dipakainya selama 18 tahun dengan memuaskan. Adapun akibat badai
perahu itu tenggelam.
Perbedaan ferosemen dengan beton yang lazim dalam pembangunan
terletak hanya pada jenis bahan yang dipakai. Campuran beton
biasanya terdiri dari semen portland, pasir, koral atau pecahan
batu dan air. Semuanya diaduk dengan perbandingan tertentu,
sesuai dengan kebutuhan. Dalam adukan ferosemen umumnya tidak
digunakan koral atau pecahan batu. Kalaupun ada, misalnya untuk
dinding yang tebalnya melebihi 3 cm, koral atau pecahan batu
sangat halus, tidak melebihi diameter 9 mm rata-rata.
Perbedaan lain terdapat dalam penulangan, yang pada ferosemen
terdiri umumnya dari berbagai lapis kawat kasa, terkadang pula
ditambah batang besi yang kecil. Untuk dermaga apung di Jambi
digunakan besi dengan diameter paling besar 7 mm dan paling
kecil 2,5 mm. satang penulangan dalam beton biasa mencapai
diameter 2 sampai 3 cm.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini