Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Selangkah lagi dengan ferosemen

Pembuatan dermaga apung di pelabuhan jambi menggunakan konstruksi ferosemen (adukan beton dengan agregat sangat halus). konstruksi ini baru diterapkan untuk membuat dermaga ponton. (ilt)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN karyawan PT Kodja bersama pimpinan perusahaan dan sejumlah tamu lainnya pekan lalu mendoa di kawasan galangan kapal itu di Tanjungpriok. Mereka bersyukur bahwa proses pembuatan sebuah dermaga apung sudah selesai. Dermaga itu, yang dipesan Otorita Pelabuhan Jambi, terdiri dari 7 ponton yang terbuat dari ferosemen, adukan beton dengan agregat sangat halus. Dalam waktu dekat dermaga itu ditarik kapal tunda ke Jambi. Di pelabuhan itu ke-7 bagian itu digabung menjadi satu hingga panjang dermaga mencapai 64 meter dengan lebar 16,75 meter. Suasana riang yang meliputi upacara itu cukup beralasan. Pembuatan dermaga itu memakan waktu 886 hari, hampir 4 kali lebih lama dari perkiraan semula. Meski konstruksi ferosemen dl Indonsia baru pertama kali ini diterapkan untuk membuat dermaga ponton, tekniknya tidak sulit. PT Kodja cukup berpengalaman dengan teknik konstruksi itu. Sejak tahun 1975 perusahaan itu membuat 60 kapal ferosemen berukuran 30 sampai 50 ton. Bisa Keropos Tapi keterlambatan itu bukan karemi kesulitan daIam teknologi konstruksi melainkan bersumber pada segi pembiayaan. Sesudah itu teratasi, ternyata ada perubahan rencana dari pihak pemesan. "Akibatnya sebagian konstruksi harus diubah," ucap Soeparno Prawiroadirejo, Direktur Utama PT Kodja. kepada TEMPO. Semula landasan dermaga itu dirancang untuk menahan tekanan gandar maksimal 18 ton dan tebal lapisan beton landasan itu sama dengan dinding, yaitu 7 cm. Tapi pemesan kemudian hendak menempatkan sebuah mobiI derek di alasnya, hingga konstruksi landasan itu harus diperhitungkan kembali. Tekanan gandar diperkirakan maksimal 30 ton, hingga lapisan beton landasan itu berubah dari 7 cm menjadi 10 cm. Apa yang terjadi bila beban itu melebihi 30 ton? "Barangkali seperti jembatan Sarinah," jawab Soeparno berkelakar. "Tapi rasanya untuk Jambi muatan yang lebih 15 ton tak akan ada." Jembatan yang dimaksudnya itu, menghubungi Gedung Sarinah dan Jakarta Theatre, runtuh baru-baru ini. Kapal yang nanti bersandar di dermaga itu tidak akan melebihi 1000 ton. Panjang kapal sebesar itu sekitar 60-an meter. Jika kapal melebihi panjang dermaga, proses bongkar-muat akan mengalami kesulitan. Dalam keadaan tidak dibebani, dermaga itu -- yang tingginya 2,4 meter dengan berat total 1000 ton -- bakal tengelam sampai 1 meter. Jika bebannya mencapai 1.500 ton, dermaga itu tenggelam hingga landasannya rata dengan permukaan air. Air di pelabuhan Jambi, sekitar 10 km dari tepi laut, tidak asin tapi payau. Apakah tidak mungkin air itu merembes dan akhirnya mempengaruhi baja penulangan? Kemungkinan itu bisa saja terjadi, apalagi kalau pekerjaan pengecoran ceroboh. "Yang penting beton itu harus diusahakan agar padat," ucap Soeparno. Ini juga dijelaskan Baharuddin, ahli teknik di PT Kodja. "Bila sedikit saja merembes, itu sudah merusak," katanya. Kalau pengecoran itu baik, Baharuddin menjamin tidak akan ada perembesan air. Pemadatan beton itu dilakukan dengan alat penggetar. "Kalau dengan tangan saja, bisa keropos," ucapnya. Dermaga itu di Jambi diapungkan dekat dermaga konvensional dan dihubungkan dengan 3 jembatan, masing-masing sepanjang 21 meter. Ketiga jembatan itu bisa mengikuti gerak naik turun dermaga akibat pasang surut. Salah satu jembatan itu cukup besar hingga bisa dilalui kendaraan. Dengan dua rantai besi yang saling menyilang dermaga itu dirambat, hingga tidak hanyut oleh arus. Rencana membuat dermaga apung itu sudah cukup matang diperhitungkan oleh pemesannya. Pasang dan surut berkisar 3 sampai 7 meter di Jambi, hingga dermaga yang matok tidak menguntungkan. Apalagi tonggak pancangnya harus mencapai kedalaman 45 meter. Jelas tidak seimbang biayanya juga tiang dermaga seperti itu bakal merangsang pengendapan lumpur yang cukup tinggi di Jambi. Akibatnya pelabuhan cepat dangkal. Itu sebabnya terpilih jenis dermaga terapung. Masalah lain ialah menentukan pilihan antara bahan baja dan ferosemen. Jika terbuat dari baja, dermaga itu tidak akan tahan lama terhadap daya korosi air, apalagi air payau yang kadar asamnya lebih tinggi dari air laut biasa. Agaknya lebih menguntungkan menggunakan bahan ferosemen yang selain konstruksinya lebih mudah dan murah, daya tahannya terhadap korosi sangat tinggi. Berapa lama diperkirakan daya tahan dermaga ferosemen seperti ini? "Itu susah dijawab," ucap Soeparno. Tapi kapal ferosemen bikinan perusahaannya bisa diandalkan. Misalnya kapal ferosemen dengan dinding setebal 12 mm yang naik dok setelah 4 tahun beroperasi. Tidak ditemukan kelainan apapun pada bahan ferosemen itu. Cerita lain juga mendukung kenyataan ini. Beton pertama kali diberi penulangan besi oleh Joseph Louis Lambot di Miraval, Prancis. Tahun 1840-an, Lambot sudah membuat berbagai perabot dari beton bertulang besi itu. Ia membuat tempat bunga, guci air dan bahkan sebuah perahu dayung yang ia pergunakan sendiri di danau dekat rumahnya. Hampir seratus tahun kemudian -- 1955 -- perahu itu sengaja dicari dan ditemukan kembali di dasar danau itu. Sedikitpun perahu itu tidak bocor dan keadaan betonnya masih sangat baik. Tahun 1855, Lambot mengajukan dan, memperoleh paten atas penemuannya yang ia namakan ferciment. Tapi penelitian kemudian oleh Dr. Pier Luigi Nervi di Italia sangat mengembangkan mutu bahan itu yang sekarang dikenal sebagai ferrocement (gabungan semen dengan besi). Tahun 1943, Dr. Nervi menumpuk beberapa lapis kawat kasa, digabung dengan batang besi berdiameter kecil, sebagai penulangan ferosemen. Setelah penulangan itu dibungkus dengan adukan semen, ia memperoleh bahan yang sangat kuat tapi liat dan ringan. Irene Dr. Nervi segera menyadari kemungkinan besar menggunakan bahan ini dalam konstruksi kapal. Dan pesanan pertama ia peroleh dari Angkatan Laut Italia berupa tiga kapal, masing-masing sebesar 150 ton. Bersamaan dengan itu kapal lain sebesar 400 ton juga ia buat. Tahun 1945, ia membuat perahu pesiar untuk dirinya sendiri. Berukuran 165 ton dan bernama Irene, perahu itu dipakainya selama 18 tahun dengan memuaskan. Adapun akibat badai perahu itu tenggelam. Perbedaan ferosemen dengan beton yang lazim dalam pembangunan terletak hanya pada jenis bahan yang dipakai. Campuran beton biasanya terdiri dari semen portland, pasir, koral atau pecahan batu dan air. Semuanya diaduk dengan perbandingan tertentu, sesuai dengan kebutuhan. Dalam adukan ferosemen umumnya tidak digunakan koral atau pecahan batu. Kalaupun ada, misalnya untuk dinding yang tebalnya melebihi 3 cm, koral atau pecahan batu sangat halus, tidak melebihi diameter 9 mm rata-rata. Perbedaan lain terdapat dalam penulangan, yang pada ferosemen terdiri umumnya dari berbagai lapis kawat kasa, terkadang pula ditambah batang besi yang kecil. Untuk dermaga apung di Jambi digunakan besi dengan diameter paling besar 7 mm dan paling kecil 2,5 mm. satang penulangan dalam beton biasa mencapai diameter 2 sampai 3 cm.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus