PERTENGAHAN tahun 1980, Pangeran Sihanouk keliling Amerika
sambil tidak lupa memuji tuan rumahnya. Ketika ditanyakan
bagaimana dulu beliau bisa menulis buku yang begitu
anti-Amerika, My war with the CIA, Pangeran tanpa mahkota itu
hanya menjawab singkat: "Saya dulu keliru."
Tentu saja Sihanouk tahu bahwa jawabannya hanyalah untuk menjadi
seorang tamu yang baik di negara orang. Bagian terbesar dari
ceramahnya berisi kecaman terhadap rezim Pol Pot, bekas
sekutunya selama 1970 sampai 1975, yang kemudian dibencinya
melebihi keberangannya terhadap rezim Heng Samrin angkatan
Vietnam.
Bulan Mei dan Juni 1980 memang merupakan titik puncak dari usaha
mencari 'kepemimpinan alternatif bagi Kamboja, di luar Pol Pot
dan Heng Samrin. Kunjungan Sihanouk keliling Amerika merupakan
bagian dari usaha penciptaan imaji baru baginya, dengan dukungan
kuat pemerhntah Amerika.
Reputasi internasionalnya ttap menempatkan Sihanouk sebagai
tokoh yang dapat diterima semua negara Barat, yang walaupun
simpati terhadap nasionalisme Pol Pot, tapi tetap menolaknya
karena pelanggarannya yang berat terhadap asas kemanusiaan.
Pemimpin Tanpa Akar
Setelah sepuluh tahun berada di luar Kamboja, Sihanouk
benar-benar telah jadi pemimpin tanpa akar di kalangan rakyatnya
sendiri. Bahkan kekecewaannya terhadap pemerintahan Pol Pot
banyak bersumber dari perasaan seorang bapak yang kehilangan
miliknya yang berharga -- anak-anaknya.
Dua putra laki-lakinya adalah perwira pada tentara Kamboja
pimpinan Pol Pot. Bukan saja mereka tidak mengacuhkan panggilan
bapaknya untuk bergabung dengannya, tapi mereka juga sudah bosan
dengan sikap politik bapaknya, yang tanpa ideologi yang jelas.
Putri kesayangannya, Botum Bopha, dipercayanya sudah terbunuh
bersama suaminya, seorang pilot Angkatan Udara, dalam
pembersihan yang dilakukan rezim Pol Pot pada awal 1976. Maka
gagallah pula usaha rujuk antara Sihanouk dengan pemerintahan
Pol Pot Khieu Samphan sepanjang tahun 1980.
Di kalangan organisasi-organisasi perlawanan lainnya, Sihanouk
tidak juga populer. Ini terutama karena sifat dari
organisasi-organisasi tersebut, yang banyak sekali bergantung
pada dukungan kaum militer Muangthai, khususnya dari kalangan
perwira muda yang memimpin komando militer di perbatasan dengan
Kamboja. Golongan militer Muangthai inilah yang memberikan
persenjataan untuk gerakan perlawanan seperti yang dipimpin Son
Sann.
Buat golongan Son Sann dan sejenisnya, Sihanouk merupakan
seorang pemimpin yang tidak dapat diterima, karena permusuhan
mereka dengannya pada masa yang lalu. Banyak dari mereka adalah
tokoh penting pada zaman Lon Nol, yang telah menumbangkan
kekuasaan Sihanouk pada tahun 1970. Mereka juga curiga bahwa
Sihanouk pada akhirnya akan memihak pada pemerintahan Kampuchea
demokratis pimpinan Pol Pot-Khieu Samphan.
Lebih penting lagi adalah sikap golongan 'Turki Muda' tentara
Muangthai yang memberikan perlindungan pada Son Sann. Bagi
mereka, golongan Son Sann tidak banyak bedanya dengan peran yang
dimainkan Heng Samrin untuk Vietnam.
Sejak dulu, Kamboja selalu mengalami tarikan pengaruh Vietnam
dan Muangthai, yang berusaha menciptakan antek-anteknya di
kalangan pemimpin Kamboja. Muangthai sedikit banyak berhasil
membangun pengaruhnya di kalangan golongan Son Sann melalui
proteksinya terhadap pengungsi Kamboja, terutama di sekitar kota
perbatasan Anya pranyet.
Dari kalangan pengungsi inilah, golongan Son Sann memperoleh
rekruit baru sedang perlengkapan dan senjata diberikan oleh
Muangthai. Sejelek-jeleknya Sihanouk, ia konsisten pada sikapnya
sebagai seorang nasionalis Kamboja, yang menolak pengaruh
Vietnam maupun Muangthai. Karena sikapnya itu, Sihanouk tidak
dapat pasaran di kalangan gerakan perlawanan kaum pengungsi yang
sebagian besar dikendalikan oleh perwira muda Muangthai.
Tanpa Penyelesaian
Pada akhirnya, Sihanouk memilih jalan yang paling bermanfaat
untuk masa depan bangsanya, rujuk dengan pemerintahan demokratis
Kampuchea.
Pemerintahan itu sendiri sudah mengalami perombakan yang
drastis. 'Kelompok Empat' yang dianggap jadi otak inlelektuil
dari rezim Pol Pot (yakni Pol Pot dan Ieng Sary serta istrinya
masing-masing, yang adalah kakak adik), sudah ditarik ke
belakang. Peranan mereka digantikan oleh Khieu Samphan, si
intelektuil dari Sorbonne, yang dua temannya ikut dibunuh
pembersihan Pol Pot-Ieng Sary.
Di basis-basis gerilyanya, pemerintahan Khieu Samphan
diperkirakan masih menguasai sekitar 2 juta penduduk.
Organisasinya yang kuat serta identitas nasionalisme Kambojanya
membuat pemerintahan Khieu Samphan memiliki perspektif untuk
gerilya jangka panjang.
Dengan reputasi Sihanouk, Muangthai mungkin akan harus
melepaskan dukungannya terhadap gerakan perlawanan kaum
pengungsi, yang kebanyakan dipimpin oleh pemimpin petualang.
Walaupun tidak akan pernah jadi bagian dari pengaruh Muangthai,
Khieu Samphan yang bersahabat jauh lebih baik bagi Bangkok
daripada Heng Samrin.
Rujuknya Sihanouk dengan pemerintahan Kampuchea Demokratis
tidaklah mengubah posisi Vietnam di negara itu. Dokumen lama
yang baru ditemukan menyatakan bahwa sudah sejak tahun 1950,
Vietnam menyaratkan pemerintahan yang berada di bawah
pengaruhnya di Laos dan Kamboja.
Jika usaha melalui infiltrasi oleh kader-kader didikan Hanoi
gagal, seperti terjadi di Kamboja, maka satu-satunya cara adalah
intervensi militer. Dengan 220 ribu tentaranya di Kamboja
sekarang, yang telah diperkuat oleh birokrasi sipil, Vietnam
sudah kepalang tanggung untuk menarik diri.
Jikapun ada tekanan, paling banter Vietnam akan setuju pada
pemecahan Kamboja: Satu di bawah Heng Samrin, merupakan
'penyekat' untuk Vietnam terhadap Muangthai. Satu lagi
benar-benar Kamboja, di bawah Sihanouk-Khieu Samphan, yang
bersahabat dengan Muangthai dan tidaklah mustahil akan menjadi
anggota ASEAN.
Dari sudut ini, rujuknya Sihanouk dengan Khieu Samphan lebih
menjamin kemungkinan terciptanya satu pemerintahan yang
nasionalistis untuk sebagian rakyat Kamboja. Sekali ini,
Sihanouk mungkin tidak keliru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini