Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NONO Anwar Makarim, 67 tahun, uring-uringan di hari pencoblosan memilih Gubernur Jakarta, Rabu pekan lalu. Ia sebal karena namanya tak tercatat sebagai pemilih di Kelurahan Pulo, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Awalnya, Ketua Yayasan Aksara ini tenang-tenang saja. Ia sudah seperempat abad tinggal di kawasan itu dan sudah tiga kali ikut pemilihan umum di tempat pemungutan suara setempat. ”Mana mungkin lolos dari pendataan,” pikirnya.
Pengacara senior ini mulai resah karena sampai seminggu menjelang pemilihan, rumahnya tak pernah dijejaki petugas pendata. Mantan Pemimpin Redaksi Harian KAMI ini pun menyambangi kantor kelurahan, kecamatan, hingga Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta. Hasilnya nihil: namanya tak terdaftar. Ia diminta mengecek ke Ketua Rukun Tetangga setempat. Sama saja: Nono dan keluarga tetap ”tak diakui”. Jiwa aktivisnya langsung bergelora.
Tapi niat Nono untuk ngamuk langsung buyar saat sang Ketua RT—seorang satpam di Apartemen Oasis Garden, Jalan Dharmawangsa—meminta maaf dengan memelas. ”Hati saya langsung lembek. Benar-benar tidak berguna saya jadi pengacara.” ujar alumnus Harvard University, Amerika Serikat, ini. Meski begitu, ia belum menyerah. Sebagai awal, ia ”berjuang” dengan menyebar pesan pendek berisi kekecewaannya itu. ”Kali ini aku demo seorang diri dululah,” ungkapnya getir. ”Ini sudah perampasan hak asasi warga negara.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo