Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pekan di Roma, Italia, pada pertengahan sampai akhir Juli lalu, hari-hari dramawan-sastrawan Putu Wijaya dipenuhi berbagai agenda teater. Pikirannya pun tak disesaki tetek-bengek persoalan dalam negeri. Eh, begitu pulang ke Tanah Air, gelombang pesan pendek berdatangan ke telepon selulernya. Isinya nyaris sama: menanyakan sikapnya terhadap rencana Freedom Institute yang memberikan Bakrie Award untuk Kesusastraan pada Selasa pekan ini. Sejumlah pihak menyarankan agar Putu menolak hadiah itu seperti dilakukan Romo Magnis-Suseno yang juga menolak penghargaan serupa tahun ini. Alasannya? Lumpur Lapindo. Sampai akhir pekan lalu, Putu masih menimbang-nimbang semua masukan. ”Saya sedang berpikir untuk membuat keputusan dan akan menyampaikan pada saat yang tepat,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo