Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya bertemu dengan Soeharto dalam Seminar Angkatan Darat II pada 1967. Pertama kali bertemu, saya menganggap dia sosok angker. Sopan, tapi tak mudah cair. Setelah pertemuan itu, saya dan teman-teman ekonom yang disebut ”Mafia Berkeley” diminta menjadi penasihat khusus Soeharto. Setelah itu, saya mulai melihat Soeharto dengan kacamata berbeda.
Sebagai staf pribadi, kami sering diajak memancing ke Pulau Monyet, di Kepulauan Seribu. Ketika hubungan makin cair, kami semua sudah seperti keluarga sendiri. Setiap kali pulang dari Yogyakarta, beliau pasti mengirim salak pondoh ke rumah kami.
Saya mungkin menjadi orang pertama yang berani menegur Pak Harto. Waktu itu ada orang ingin menjual beras tiruan dari singkong. Namanya beras tekat. Pada masa awal Orde Baru, Indonesia memang tengah menghadapi krisis beras akibat kemarau panjang. Saat orang itu menghadap, kami dikumpulkan juga.
Setelah mendengar pemaparan dia, saya merasa orang itu tak benar. Orang ini hanya ingin menjual perkakasnya. Langsung saya bilang ke Pak Harto bahwa ini tak benar. Memang, setelah itu masalah beras tekat tak lagi terdengar. Namun Widjojo menegur saya. Saya memang masih lugu saat itu. Widjojo meminta saya agar tak terlalu blak-blakan dalam mengungkap pendapat. Sejak itu saya belajar tentang budaya Jawa.
Selama dua puluh tahun lebih menjadi anak buah, saya terkesan pada sisi human touch Pak Harto. Pada 1982, saya dan istri berada di Nairobi, Kenya. Saat itu saya akan memimpin sidang dalam pertemuan United Nations Environment Programme.
Tiba-tiba anak saya menelepon dari Indonesia. Rupanya ibu mertua saya sakit keras. Kami benar-benar kebingungan.
Pada saat kepala pening, istri saya tiba-tiba menyampaikan telepon dari Pak Harto. Entah siapa yang memberi tahu ibu mertua saya sakit dan kemudian meninggal dunia. Ia berkata kepada saya, ”Tenang saja di Nairobi. Tetap jalankan tugas. Semua masalah di sini akan saya urus.” Dan benar. Beliau mengurus seluruh proses pemakaman mertua saya. Saya tersentuh sekali dengan perhatian ini.
Kisah lain saat anak pertama saya, Amelia Farina Salim, menikah. Saya menyampaikan undangan secara langsung kepada beliau. Setelah membaca undangan, beliau rupanya heran. ”Pernikahannya di rumah, tidak di hotel?” tanya Pak Harto. Saya jawab di rumah. Pada saat pernikahan berlangsung, dia mengirim bunga, hadiah, dan uang. Saya mungkin satu-satunya menteri yang diberi uang oleh Pak Harto saat mantu. Rupanya, karena saya menikahkan anak di rumah, Pak Harto mengira saya tak punya uang. Sampai sekarang saya masih menyimpan ucapan selamat dalam amplop yang beliau tulis sendiri. Jadi, bagaimana mau membenci beliau?
Memang, ada kebijakan beliau yang tak sepaham dengan saya. Tapi tak berarti saya bermusuhan dengan beliau. Pada 1998 saya mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Saat itu saya menantang preferensi Pak Harto. Dia mencalonkan Habibie sebagai wakilnya. Saya tak punya masalah pribadi terhadap Habibie. Hanya saya merasa perlu ada suara berbeda dari arus saat itu. Akhirnya saya tersingkir karena tak ada fraksi yang mendukung.
Setelah mundur, saya tetap mengunjungi Soeharto pada saat Lebaran. Sedih hati saya. Saat sedang jaya, semua orang berebut mendekat. Ketika jatuh, semua orang pergi. Bahkan seorang wartawan bertanya kepada saya, kok berani berkunjung ke Cendana. Pertanyaan apa itu? Kami bisa berbeda pendapat, tapi Lebaran kan momen menghargai beliau sebagai manusia.
Ketika saya berkunjung, beliau sangat terharu. Memorinya timbul-tenggelam. Dia berucap, ”Saya puasa 30 hari”, tapi kemudian dia terdiam. Beliau rupanya lupa akan berkata apa. Ia kelihatan jengkel. Melihat kondisi itu, dokter dan Tutut meminta saya meninggalkan beliau. Kemudian setengah jam saya dipanggil lagi. Ternyata ia ingin mengatakan, ”Tarawih saya juga lengkap.”
Saya juga tak takut melapor ke Pak Harto ihwal usaha anak-anaknya. Saya pernah melapor ketika sebuah perusahaan Keluarga Cendana tak memenuhi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Pak Harto meminta saya menjelaskan soal amdal kepada anaknya. Mereka mendengar apa yang saya sampaikan. Kemudian keluar pengakuan dari mereka bahwa nama mereka digunakan oleh pengusaha yang akan mendirikan pabrik. ”Kalau kata Pak Emil begini, ya kami ikuti,” begitu kata mereka.
Seandainya menteri lain bersikap terbuka terhadap Pak Harto, saya rasa tak perlu terjadi hal aneh-aneh terhadap Keluarga Cendana. Mungkin karena saya tahu dia, dan dia tahu saya. Kalau saya berlaku di luar normal, justru ia merasa aneh. Saya merasa harus jujur, jangan pernah bermuka dua terhadap beliau. Saya tak suka itu. Apalagi saya sudah mengenalnya hampir 30 tahun.
Saya melihat Pak Harto marah pertama kali ketika peristiwa Malari, tatkala Perdana Menteri Jepang Tanaka tak bisa diantar ke bandara. Kami para menteri dikumpulkan di Istana Negara dengan helikopter. Saat itu beliau melabrak Pangkopkamtib dan para intelijen. Baru kali itu saya melihat beliau meledak.
Cerita unik dengan beliau terjadi ketika saya pensiun pada 1993. Beliau memanggil saya ke Istana. Dengan gayanya, ia bercerita mengenai falsafah Jawa, cukup panjang-lebar. Saya agak bingung ketika itu. Rupanya seluruh cerita filsafat Jawa ini merupakan pengantar untuk menyampaikan bahwa saya tak diminta lagi menjadi menteri dalam kabinet.
Jujur, saya justru merasa lega. Setelah 20 tahun lebih menjadi menteri, saya mulai merasa jenuh. Perasaan itu saya ungkapkan terus terang kepada beliau. Ternyata beliau sempat salah paham. Ia berkata bahwa Bu Tien sudah memintanya untuk lengser keprabon. Rupanya curahan hati saya beliau anggap seharusnya juga berlaku baginya. Padahal saya tak bermaksud begitu.
Sita Planasari Aquadini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo