Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Pisau Tumpul 'Mafia Berkeley'

Emil Salim, Widjojo Nitisastro, dan kawan-kawan dijuluki "Mafia Berkeley" ketika menjadi arsitek ekonomi Orde Baru. Emil pengagum Hatta.

14 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya lahir di Lahat, Sumatera Selatan, pada 8 Juni 1930, sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara. Almarhum ayah saya, Baay Salim, bekerja di Departemen Pekerjaan Umum. Beliau adik kandung Haji Agus Salim. Semasa kecil, kami sering berpindah tempat tinggal, terutama di kota-kota kecil, karena ayah saya bekerja mengurus irigasi dan jalan.

Saya mempelajari ekonomi sejak perang kemerdekaan. Saat itu saya duduk di bangku sekolah menengah atas di Bogor, Jawa Barat. Divisi Siliwangi melakukan mobilisasi pelajar, termasuk saya. Tugas saya mengurus logistik divisi di Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Saya harus mendapat bahan pangan dan mengangkutnya dari satu tempat ke tempat lain. Jadi tugas saya merupakan perpaduan logistik pangan dan perencanaan lalu lintas. Persinggungan dengan masalah ini mempengaruhi keputusan saya mempelajari ekonomi selepas sekolah.

Pada 1951, saya mendaftarkan diri ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Indonesia. Ketika fakultas ekonomi didirikan, saya segera pindah. Waktu itu saya pilih ekonomi pembangunan. Karena saya melihat peran penting pembangunan dalam ekonomi. Pengalaman di desa menunjukkan, bila rakyat tahu kau memperjuangkan mereka, mereka akan pro-kamu.

Semasa kuliah saya aktif dalam kegiatan mahasiswa. Saya menjabat ketua dewan mahasiswa. Posisi ini memberi saya kesempatan berkenalan dengan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Selama satu setengah tahun sebelum lengser, Hatta mengorganisasi kelompok diskusi mahasiswa setiap Rabu petang di kediaman dinasnya. Pertemuan ini untuk menajamkan logika kami. Selain itu beliau, mendidik kami loyal pada negara.

Yang paling berkesan saat beliau memberi tahu kami akan mundur dari kursi wakil presiden sebelum mengumumkan kepada publik. Kami kaget. Beliau sudah merasa tak cocok dengan Bung Karno. Saya mendebat beliau. Saya bilang, politikus tak boleh menyerahkan kedudukannya. Tanpa kedudukan, hilang legitimasi untuk bekerja. "Yang Bapak punya tinggal kekuatan moral. Di negara berkembang, kekuasaan sangat penting. Kalau menjabat, Anda punya kekuatan," saya berargumentasi.

Saya bilang, kita tidak bisa memilih bekerja sama dengan pemimpin sesuka hati kita. Kita kadang harus bekerja dengan orang yang tak kita sukai. Kita harus menemukan titik temu. Yang ketiga, saya bilang bagaimana nasib negara bila komunis berkuasa. Siapa yang bisa mengerem selain Bung Hatta. "Anda bisa berbuat lebih banyak di dalam pemerintahan ketimbang di luar. Perubahan berada di dalam." Namun Bung Hatta berkeras. Sedih betul ketika akhirnya beliau benar-benar mengundurkan diri.

Yang saya kagumi, beliau tak pernah menjelekkan Bung Karno. Beliau diundang oleh Universitas California, Berkeley, berbicara di depan mahasiswa ketika saya sekolah di sana. Bung Karno tak populer di Amerika pada saat itu. Orang tahu Bung Hatta tak sejalan dengan Soekarno. Ada yang bertanya dan mengkritik Soekarno. Dia bilang, "Saya mungkin memiliki perbedaan dengan Bung Karno, tapi saya tak pernah meragukan cita-citanya. Saya mengenal dia, kami berjuang bersama. Apa pun yang kalian pikir tentang Soekarno, bagi saya dia presiden saya." Dari ucapan Bung Hatta itu saya belajar tentang arti sebuah karakter. Apa pun yang terjadi, kata beliau, jangan pernah menjual diri.

Pada masa kuliah, saya bekerja sebagai asisten Profesor Sumitro Djojohadikusumo. Selepas sarjana, saya mendapat kesempatan melanjutkan di Universitas California, Berkeley. Sebenarnya Sumitro sosialis. Karena itu, beliau ingin kami meneruskan ke London School of Economics yang beraliran sosialis pula. Sayang, mereka tak memberikan beasiswa. Beasiswa justru berasal dari Berkeley. Jadi kami ke sana bukan sebagai antek CIA. Sesederhana itu.

Ketika di Berkeley, Widjojo Nitisastro memprakarsai diskusi pada Sabtu di antara mahasiswa ekonomi Indonesia. Ada saya, Ali Wardhana, Sumarlin, dan Harun Zain. Jadi "Mafia Berkeley" bisa ditelusuri dari pertemuan Sabtu ini. Kami berdiskusi sesuai dengan kapasitas kami. Harun Zain bicara tentang tenaga kerja, Sumarlin tentang fiskal, dan saya masalah perencanaan.

Pulang ke Indonesia pada 1964, saya kaget. Ada instruksi buku harus dibakar. Saya menolak, karena buku kekayaan saya. Begitu juga ketika mengajar, saya diberi tahu untuk berhati-hati karena di antara mahasiswa ada para pembisik pemerintah. Saya pun harus mempelajari jargon saat itu: Manipolusdek. Isi kuliah dibungkus dengan jargon itu. Biasanya saya bicara bebas, tapi saat itu harus berhati-hati. Gaji tak lancar, untung saya masih mendapat jatah beras.

Ketika anak kedua saya lahir pada 1966, sangat sulit mencari susu bayi. Kami beroleh saran, untuk mendapat susu bayi murah sebaiknya membeli di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada tempat yang menjual susu dengan kaleng penyok. Isinya tetap baik. Tapi, karena penyok, harganya lebih murah. Nah, saat itu saya mendapat jip sebagai asisten dosen. Tapi tak ada atapnya. Sehingga kalau bepergian kami selalu membawa payung supaya tak kehujanan.

Selain kembali mengajar di fakultas, saya ditugaskan bekerja di Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas). Leknas lebih berfungsi sebagai lembaga penelitian sehingga saya relatif bebas mengungkapkan pendapat dan berdiskusi. Pada saat itu saya juga mendapat kesempatan mendiami rumah staf asing di kawasan Tosari, Jakarta Pusat.

Sekembali ke Indonesia saya juga diminta mengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Bandung, bersama Widjojo, Sadli, Subroto, dan Ali Wardhana. Saya bertemu dengan Soeharto dalam seminar Angkatan Darat II. Sejak itulah saya mulai dilibatkan sebagai arsitek ekonomi Orde Baru. Fokus saat menjadi Ketua Bappenas pada 1967 adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Menyusun Repelita saat itu tanpa ada data statistik lengkap.

Tak ada komputer. Untuk menghitung, pakai sempoa. Pakai mesin stensil. Telepon mesti berteriak-teriak dan harus selesai dalam waktu singkat. Sering sekali harus menginap di kantor. Pada 1968-1972, rehabilitasi infrastruktur ditetapkan sebagai prioritas. Tapi kemudian terjadi krisis pangan yang berat. Terjadi kemarau panjang sehingga produksi anjlok. Pangan dunia juga anjlok sehingga harga membubung.

Pada awal Orde Baru, kami para ekonom dihadapkan pada ruang gerak yang sangat sempit. Inflasi sangat tinggi, utang luar negeri sudah ditagih. Dalam kondisi seperti itu kami harus memecahkan masalah agar ruang gerak melebar. Bagaimana inflasi bisa ditembak cepat, bagaimana devisa bisa dikendurkan. Dalam hal seperti ini, hal yang bersifat jangka panjang, termasuk mengatasi kemiskinan, menjadi nomor dua. Bagaimana memikirkan kemiskinan pada saat itu? Begitu uang selesai dicetak, langsung ke bank untuk disetor.

Tak ada "pisau tajam" saat itu. Kami memakai "pisau tumpul" untuk membedah masalah ekonomi. Sakit, tentu. Maka, ketika orang mengkritik masa itu, saya hanya bisa menjawab, dalam ukuran masa sekarang dengan data yang lengkap, tentu bisa mengambil kebijakan lebih baik. Tapi pada waktu itu data statistik pun dipolitisasi. Dalam kondisi seperti itu, insting yang bicara, kolegialitas bicara. Kami saling mendukung seperti keluarga besar.

Saya hanya sempat dua tahun sebagai Menteri Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (1971-1973). Saat itu saya ingin mengembangkan ombudsman seperti negara Skandinavia. Ini lantaran korupsi sudah mulai merebak. Namun sayang, waktu saya tak cukup. Saya beralih menjadi Menteri Perhubungan selama lima tahun sejak 1973. Masa ini ditandai oleh peluncuran satelit Palapa dan transportasi perintis. Saya bangga betul pada jalur perintis. Meski merugi, bagi saya transportasi perintis memberikan keuntungan besar bagi masyarakat Indonesia timur.

Saat menjadi Menteri Perhubungan ini saya punya pengalaman ditekan dua perusahaan Amerika Serikat yang ingin memonopoli telekomunikasi di Pulau Sumatera. Sebelum bertemu dengan saya, mereka menggandeng pihak "operasi khusus". Bahkan, saat menghadap, mereka ditemani aparat. Dengan dalih demi keamanan negara, mereka meminta proyek telekomunikasi Sumatera. Padahal proyek ini akan saya tenderkan secara terbuka.

Saya langsung melapor ke Pak Harto. Saya tanyakan pada beliau, apa betul ada kepentingan keamanan negara pada proyek telekomunikasi Sumatera. Pak Harto mengatakan tak ada. Saya pun memanggil kedua perusahaan asing itu. Mereka masih berdalih, ini urusan keamanan negara, jadi tak bisa ditenderkan. Saya katakan saya sudah bicara dengan number one. Mereka serentak terdiam. Pengalaman ini mengajarkan pada saya agar tetap tegas dan harus jujur pada presiden.

Pak Harto pun mempercayai saya menempati posisi Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1978-1983). Berikutnya pada 1983-1993, saya diangkat sebagai Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup.

Saat pensiun pada 1993 saya pindah ke rumah anak saya di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ketika pensiun, saya tak punya rumah, tak punya mobil, tak punya telepon. Sewaktu menjabat menteri, saya memang membeli rumah, tapi untuk anak saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus