Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dokter kandungan senior seperti Natsir Nugroho bisa menangani berbagai persoalan perempuan melahirkan dengan tenang. Natsir bahkan punya kemampuan hipnosis untuk mengurangi rasa sakit ibu dalam proses kelahiran alami. Namun, bila ada kejadian bayi tersedak mekonium air ketuban atau mengalami meconium aspiration syndrome, itu lain persoalan. Menjeritlah alarm bahaya di dalam hatinya.
Contohnya yang terjadi dua pekan lalu di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur. Seorang perempuan hamil baru dibawa ke rumah sakit itu setelah 15 jam gagal mengeluarkan si bayi. Operasi caesar digelar. Natsir melihat air ketuban sudah menghijau. Artinya, si bayi sudah terlalu lama di rahim dan sudah mengeluarkan kotoran. Feses janin itu bercampur dengan air ketuban ibu. Bayi kejang. Tubuhnya membiru. Seahli apa pun seorang dokter kandungan, ia tak punya kuasa menolong si bayi yang baru lahir itu. Sebab, bisa hidup atau tidaknya si bayi bergantung pada kemampuannya mengeluarkan kotoran dari parunya.
Si bayi mengalami meconium aspiration syndrome. Parunya menghirup ketuban yang tercemar. Penanganan pun diserahkan ke dokter spesialis anak. Dokter memindahkannya ke ruang perawatan khusus bayi baru lahir. Tapi kondisinya sudah buruk. Lima hari bernapas dengan mesin, si bayi akhirnya meninggal. ”Terlalu lama merujuknya. Padahal ibu si bayi jelas tak bisa melahirkan normal karena panggulnya terlalu kecil,” kata Natsir.
Gangguan pernapasan menjadi salah satu penyebab terbesar kematian bayi baru lahir. Setelah berat badan rendah, sebanyak 29 persen, gangguan napas menyumbang 27 persen sebagai penyebab kematian bayi. Nah, meconium aspiration syndrome adalah penyumbang terbesar penyebab kematian bayi akibat gangguan napas tersebut.
Mekonium adalah isi perut bayi selama di rahim yang keluar sebagai kotoran awal setelah si bayi lahir. Mekonium berwarna hijau gelap, kental, lengket seperti tar, tapi tak berbau serta cenderung steril. Mekonium mengandung bahan-bahan yang dicerna bayi selama berada dalam rahim, seperti sel-sel epitel usus, lendir, serta air, termasuk air ketuban dan air empedu, juga guguran lanugo—rambut yang melapisi janin di usia awal kandungan.
Menurut dokter spesialis anak Johnwan Usman, yang pernah menangani limpahan kasus tersedak mekonium dari dokter kandungan, dari gambar roentgen, paru bayi memperlihatkan warna putih, seperti ciri flek. Itu menunjukkan mekonium merendam alveoli—kantong-kantong mini tempat oksigen dan karbon dioksida bertukar. Karena tersumbat itulah paru bayi tak bisa mengembang optimal.
Bayi pun harus bernapas dengan bantuan ventilator. Mesin itu memasok oksigen ke paru sambil menjaga tekanannya. Tanpa mesin itu, si bayi tak bisa menghirup sendiri oksigen yang ia butuhkan. Tapi, menurut Johnwan, tidak selalu hal itu berakhir dengan kematian. Dia pernah menangani bayi biru seperti ini, yang bertahan 12 hari dengan bantuan alat napas, lalu mampu menggunakan parunya sendiri. Bayi pun hidup.
Nah, mengapa mekonium mengotori ketuban? Karena bayi kekurangan pasokan oksigen, otot cincin anus (sphincter) tak mampu berkontraksi optimal. Mekonium yang berada di usus besar janin pun lolos ke rahim. Dalam kondisi itu, janin terkadang megap-megap (gasping) mencari udara. ”Mekonium pun masuk ke parunya,” kata Johnwan. ”Selain menyumbat paru, bahan-bahan pada mekonium bisa menyebabkan infeksi pada paru bayi.”
Terhirupnya mekonium disebabkan beberapa faktor. Bisa faktor ibu yang menderita tekanan darah tinggi atau rendah, bayi yang sudah melebihi 42 pekan, atau plasenta gagal memasok cukup oksigen. Penyebab lain, menurut Rinawati Rohsiswatno, spesialis anak di Divisi Perinatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, adalah terlambatnya penanganan kelahiran. ”Ketuban dikotori mekonium sebenarnya normal saja. Sekitar 15 persen kelahiran (di RSCM) mengalami ini. Tapi, bila sampai meconium aspiration syndrome, itu butuh penanganan khusus dan cepat,” ujar Rinawati.
Di ruang Perinatologi RSCM selama Juli Desember 2008, terdapat 13 kasus meconium aspiration syndrome. Dibanding 1.639 kelahiran selama periode itu, kemunculan 0,8 persen memang terhitung kecil, meski terbilang naik dibanding periode sebelumnya. Semuanya rujukan dari rumah sakit lain atau bidan. Ini menunjukkan sindrom tersedak mekonium sebenarnya bisa dicegah bila yang menanganinya paham dan bertindak cepat.
Natsir setuju akan hal itu. Menurut dia, terhirupnya mekonium biasanya terjadi di persalinan oleh bidan. Untuk dipindahkan ke rumah sakit, pasti makan waktu. ”Pernah ada yang lebih dari 24 jam,” katanya. Padahal kondisi itu butuh penanganan secepatnya.
Menghirup mekonium bisa terjadi dalam proses kelahiran normal ataupun caesar. Bila bayi terkena sindrom tersedak mekonium, pertolongan spesialis anak dilakukan di ruang neonatal intensive care unit, yang senantiasa steril. Di sana bayi diberi cairan dan antibiotik, juga di-roentgen dadanya untuk melihat seberapa parah mekonium masuk ke paru. ”Darah diperiksa untuk melihat apakah si bayi ini terkena infeksi. Dengan uji kultur darah, bisa diketahui jenis antibiotik yang tepat,” kata Johnwan.
Bantuan ventilator perlahan dikurangi persentasenya, untuk mendorong bayi belajar bernapas mandiri. Bila bayi kuat, ventilator bisa dibebastugaskan. Itu bukan berarti bayi bisa langsung pulang. Prosedur Johnwan adalah tetap memonitor bayi 24 jam selama beberapa hari pascalepas ventilator. Ibu si bayi tetap bisa memberikan air susu ibu di masa pengawasan itu.
Kondisi paling berat, kata Johnwan, adalah bila pembuluh darah di paru tak bisa berkembang. Paru yang tak bisa mengembang mengakibatkan kemampuannya menyerap oksigen juga lemah, sehingga terjadi hypoxia atau kekurangan oksigen. ”Akibatnya, semua organ bisa rusak,” katanya.
Fungsi paru bayi yang lulus dari perawatan harus dipantau. Seiring dengan pertumbuhan bayi, sel-sel memang terus bereproduksi, termasuk paru yang makin besar. Kadang flek terdeteksi kembali di paru yang pernah tercemari mekonium. Bila ini terjadi, dokter akan memberikan pengobatan.
Bayi yang mengalami hypoxia berat bisa kehilangan kesadaran hingga terhenti detak jantungnya. Bila ini terjadi, akibatnya bisa lebih buruk, seperti kelumpuhan jaringan otak yang dikenal sebagai cerebral palsy. Ciri-cirinya, bayi atau anak mengalami gangguan motorik. Bila ini terjadi, si anak perlu dilatih di klinik tumbuh kembang yang punya berbagai pendekatan merangsang koordinasi gerak.
Meski terhirupnya mekonium tak berhubungan dengan pilihan proses lahir, yaitu secara alami atau melalui operasi caesar, Natsir mendorong perempuan melahirkan normal. Yang penting untuk mengantisipasi kasus terhirupnya mekonium adalah kontrol rutin, terutama di pekan-pekan terakhir kehamilan. Sang ibu juga harus mengetahui apakah dia mengidap faktor risiko seperti hipertensi.
Ibnu Rusydi
Agar Bayi Tak Keracunan Mekonium
Ketahui faktor risiko ibu, baik tekanan darah tinggi maupun darah rendah. Dokter akan menyarankan cara terbaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo