Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang ibu, Melanie, mengais-ngais sisa koin ke seluruh sudut saku celana jins, ke seluruh pojok kamar, dan ah… akhirnya dapat! Dia menggamit lengan Tracy, putri remajanya, yang cemberut sejak tadi. Mereka berdua segera berbelanja baju agar remaja cantik itu tampak lebih representatif di antara kawan-kawannya. Sang ibu, bekas pecandu narkoba, diperankan oleh Holly Hunter; sang putri remaja, juara kelas dan penyair muda berbakat, diperankan oleh Evan Rachel Wood.
Namun yang menyebabkan film berjudul Thirteen karya sutradara Catherine Hardwicke (sutradara film box office Twilight) ini meledak adalah problem remaja yang digarap hingga ke titik ekstrem; bukan untuk daya kejut, tapi memang problem itu terasa nyata. Tracy Freeland, yang semula merupakan murid teladan dan berbakat mengulik kata menjadi puisi, membutuhkan pengakuan dan identitas. Pada akhirnya, dia butuh terlihat keren, meski ”keren” di dalam dunia remaja kadang kelihatan begitu banal dan di luar garis logika. Tracy tidak hanya ikut-ikutan mengutil di toko baju, tapi juga mulai ikut-ikutan menghirup narkoba dan tertarik mencoba hubungan seks (di usia 13, Saudara-saudara).
Yang lebih mengguncang adalah skenario film ini ditulis oleh aktris Nikki Reed (yang kini lebih dikenal remaja sebagai pemeran Rosalie Cullen dalam film Twilight dan New Moon) berdasarkan pengalaman pribadinya. Dalam kehidupan nyata, Nikki ada pada posisi Tracy yang diperankan Evan Rachel Wood; dalam film, Nikki justru memerankan Evie Zamora, si anak populer yang menggeret Tracy ke dunia narkoba dan kesintingan lainnya.
Film ini, jika dikategorikan pada film bertema teenage angst (kegelisahan remaja), mungkin bisa dianggap sebagai film yang berada di spektrum ujung kiri. Meski akhir film ini tetap memberikan sebuah optimisme, Thirteen mengisahkan sebuah horor bagi orang tua. Bahwa remaja, secerdas dan setakzim apa pun, bisa dengan mudah bergeser ke ”seberang sana” dan selekas itu pula mereka membuang segala cita-cita besarnya untuk alasan-alasan yang—bagi orang dewasa—tidak masuk akal: agar bisa terlihat keren, agar bisa diterima ”geng populer” di sekolah, agar tidak lagi dihina-hina oleh kelompok jagoan.
Film dengan tema kegelisahan remaja sebetulnya di khazanah sinema dunia Barat bukan sekadar teen films atau teen pics. Film teen pics, sebuah genre yang mempunyai segmen remaja, lazimnya menyajikan cinta remaja, konflik dengan orang tua, dan pertempuran di sekolah dengan anak atau kelompok lain. Film dengan tema teenage angst, meski berkisah tentang remaja, jangkauannya jauh lebih luas dan lebih dalam. Bahkan segmen penontonnya cenderung untuk remaja hingga dewasa. Persoalan yang diajukan lebih berkisar pada kegelisahan batin mencari identitas, mempertanyakan orientasi seks, soal alienasi, dan tentu saja cinta dan penolakan cinta. Kegelisahan remaja tak harus berkutat pada persoalan eksternal tokoh utama remaja itu (baju, sepatu, model rambut, kawan satu geng), tapi jauh lebih banyak pada pergolakan di dalam tubuh tokoh remaja itu, seperti yang kita temukan pada tokoh Holden Caulfield dalam novel dahsyat The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger.
Di awal 1980-an, nama John Hughes dianggap sebagai salah satu sutradara yang terkemuka untuk genre ini. Filmnya, The Breakfast Club, menjadi salah satu film yang menampilkan kegelisahan remaja yang memperlihatkan sosok khas tokoh yang lazim tampil di dalam film remaja: si cantik populer, si bandel, si pelajar, dan seterusnya. Tapi, meski Hughes menampilkan semua tipe sosok itu, film yang adegannya berlangsung di dalam sebuah kelas (karena para murid ini harus menjalani hukuman) itu lebih banyak berisi diskusi dan perdebatan di antara anak-anak tersebut.
Sebaliknya, film Rob Reiner berjudul Stand By Me (1986) juga menjadi salah satu film genre ini yang mengambil lokasi di luar rumah. Empat remaja yang berupaya mencari tubuh seorang anak kecil yang menghilang—dan diduga tewas—memperlihatkan perkawanan anak remaja lelaki yang kemudian ”diteror” oleh geng remaja besar, sebagai sebuah cerita yang mewakili remaja di dunia. Film ini menjadi langkah karier aktor-aktor yang menjadi besar saat mereka dewasa, seperti River Phoenix (almarhum), Corey Feldman, John Cusack, dan Kiefer Sutherland. Selanjutnya kita mengenal berbagai film dengan tokoh remaja dan film-film remaja. Film dengan tokoh remaja bukan berarti menyajikan persoalan remaja, seperti 16 Candles (John Hughes, 1984), Breakfast Club (John Hughes, 1985), Say Anything (Cameron Crowe, 1989), atau Almost Famous (Cameron Crowe, 2000); sedangkan film remaja dengan persoalan cinta remaja, rebutan pacar, dan seterusnya itu banyak diwakili oleh film seperti Princess Diaries (1 dan 2), serial televisi Hannah Montana, atau film-film remaja yang manis produksi Disney lainnya.
Di Indonesia, film remaja (jika kita bersetuju bahwa remaja diwakili mereka yang berusia 12-18 tahun) masih berkubang dalam soal-soal remeh tadi. Ketika Gita Cinta dari SMA (Arizal, 1979), yang melejitkan pasangan idola masa itu, Rano Karno dan Yessy Gusman, meledak, film-film berikutnya lantas saja menjadi epigon. Film yang menyajikan sosok gadis berusia 18 tahun, berjudul Usia 18 (Teguh Karya, 1980), yang tiba-tiba saja harus menjadi ”ibu” di dalam rumah tangga yang baru saja kehilangan ibu, sebetulnya sebuah film kegelisahan remaja yang pedih, yang menyentuh, dan di luar pakem film-film remaja pecicilan di zaman itu. Sayangnya, justru film seperti inilah yang tampaknya kurang dianggap greng bagi penonton di zaman itu.
Pada 2001, ketika Miles Films melahirkan Ada Apa dengan Cinta? (Rudi Soedjarwo), film bertokoh remaja seperti mengalami sebuah definisi ulang. Tentu saja tokoh Cinta dan Rangga adalah remaja SMA yang jatuh cinta. Tentu saja ada problem remeh-temeh soal geng-gengan, dan betapa pentingnya geng itu dibanding lelaki misterius bermulut pedas seperti Rangga. Namun penggagas ide film Mira Lesmana dan tim penulis skenario (Jujur Prananto, Prima Rusdi) memasukkan beberapa elemen yang tidak khas di arena remaja Indonesia: puisi sebagai medium komunikasi antara pasangan Rangga dan Cinta dan sejumput problem politik yang mewarnai keluarga Rangga. Film ini meledak bukan hanya karena penampilan pasangan Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra, tapi juga karena cerita yang dianggap tak lazim itu tetap disajikan dengan irama pop yang akrab dengan penonton. Setelah itu? Bermunculanlah puluhan atau mungkin ratusan film remaja epigon Ada Apa dengan Cinta? yang lebih baik dilupakan saja.
Di mana sebetulnya letak film Sang Pemimpi karya Riri Riza? Tentu saja ini sebuah film dengan platform baru tentang tiga remaja lelaki dari Belitung. Kita menghela napas lega bahwa kali ini kita tak dijejali persoalan remaja urban. Soal cinta remaja? Masuk. Soal pencarian diri? Masuk. Soal sosial, masuk. Film Sang Pemimpi jelas bukan film ”warna-warni” kisah cinta sekolah seperti film remaja Indonesia umumnya. Juga tidak masuk kategori manisnya film-film remaja produk Disney. Tapi film ini dengan penuh kesadaran juga tidak memasukkan diri dalam keranjang yang sama dengan film-film teenage angst seperti katakanlah Beautiful Thing (Hettie Macdonald, 1996), yang berkisah tentang gay remaja yang mencoba berterus terang dengan situasi dirinya, atau My Own Private Idaho (Gus van Sant, 1991), tentang seorang remaja pria yang menjadi pelacur jalanan dan tengah mencari sang ibu dan remaja pria lain anak pengusaha kaya yang sengaja memilih jadi anak jalanan.
”Kami dengan penuh kesadaran membuat film tentang kegelisahan remaja yang menekankan hubungan antara ayah dan anak,” kata produser Mira Lesmana. Dengan posisi film Sang Pemimpi yang unik ini, ditambah musik GIGI dan sebuah aransemen baru dari lagu lama, Apatis, tampaknya film ini akan menutup 2009 dengan rasa optimisme.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo