TUJUH tahun setelah pelukis Picasso tiada, justru ia lebih
menjadi perhatian ahli warisnya dibanding semasa pelukis itu
masih hidup.
Sementara di New York, Amerika Serikat, kini berlangsung pameran
karya-karya Picasso yang terlengkap sampai September nanti, di
Prancis ahli warisnya sibuk membagi warisan Harta berwujud karya
seni (lukisan, patung, keramik, permadani dan gambar), rumah dan
tanah yang di tahun 1976 dinilai US$ 260 juta (sekitar Rp 160
milyar) dibagikan kepada ahli waris.
Sebenarnya ahli waris Picasso yang sah hanya ada dua. Jandanya,
Jacqueline Roque, yang dinikahinya tahun 1901 yang tak
memberinya anak dan Paulo, anak lelaki dari istri pertamanya
yang meninggal di tahun 1955. Paulo pun ditahun 1975 menyusul
ayahnya. Karena itu warisannya jatuh ke tangan kedua anakya.
Tapi ketiga anak dari dua istri yang dikawininya secara tidak
sah (Maya anak Marie Therese, dan Claude dan Paloma anak
Francoise Gilot) tuntutannya terkabul, karena dijamin
undang-undang Prancis tahun 1972, yang membenarkan anak tak sah
pun berhak mendapat warisan.
Tentu, sebelum warisan tersebut dibagi, pemerintah Prancis ambil
bagian terlebih dahulu: menarik pajak. Yang menarik, pajak itu
dibayar dengan karya-karya Picasso, senilai seperempat nilai
warisan seluruhnya. Dan 'pajak' itulah yang akan menjadi koleksi
inti Museum Picasso yang akan dibuka pemerintah Prancis di
Paris 1982 nanti.
Janda Picasso, akhirnya mendapat bagian sekitar Rp 32 milyar.
Kedua cucunya, anak Paulo, masing-masing mendapat sekitar Rp 22
milyar. Dan ketiga anak tak sahnya masing-masing memperoleh
sekitar Rp 11 milyar. Suatu jumlah raksasa.
Sebelum karya-karya itu dibagi rata senilai hak para waris,
sesudah pemerintall memilih karya-karya sebagai pajak, para
waris diberi kesempatan memilih karya yang sangat mereka
inginkan, sebaga 'pilihan sentimental'. Paloma, misalnya,
memilih sejumlah lukisan boneka yang wajahnya adalah wajah
Paloma. Klaude memilih lukisan potret dirinya. Maya mengambil
patung ibunya. Dan Marina, anak Paulo, mengambil lukisan
neneknya, balerina Olga koklova.
Toh, masalahnya tak selesai di situ.
Siapakah yang berhak atas hak-reproduksi karya-karya itu,
misalnya, masih menjadi masalah Konon, di museum-museum besar di
Eropa dan Amerika reproduksi karya Piasso paling laris.
Masalah ini timbul karena Picasso tak secarik pun meninggalkan
surat wasiat.
Bekas istri tak sahnya Francoise Gilot yang kini telah menikah
lagi, mengira itu kesengajaan Picasso, agar mereka yang
ditinggalkannya bingung. "Meski ia seorang seniman besar" kata
Francoise kepada The New York Times Magazine, "ia pun punya sisi
yang gelap. Ia sadis, suka mengharu-biru orang."
Mungkin hanya Maya, yang kawin dengan bekas kapten kapal
dagang, yang memahami ayahnya. "Ia tak meninggalkan surat wasiat
sebad ia tak ingin mati. Ayah sangat akut dengan kematian,"
katanya.
Juga hanya Maya, dari keenam ahli waris Picasso yang setelah
memperoleh warisan tak berubah gaya hidupnya. Ia tetap
sederhana. Dan memang ada alasannya: "Saya tak ingin dirampok,."
Claude misalnya, langsung saja membeli dua rumah dan dua mobil.
Kakak Paloma itu pun masih mengeluh karena ia berharap dijadikan
direktur Museum Picasso di Paris. Tentu saja tak mudah. Claude
bergerak dalam dunia bisnis, bukan seorang pegawai negeri
apalagi seorang ahli searah senirupa -- syarat untuk jadi
seoran direktur museum senirupa.
Agak ironis memang, di zaman Picasso masih hidup mereka ini tak
pernah berkumpul. Bahkan kecuali Jacqueline Roque, sulit untuk
ketemu Picasso. Claude punya kenangan tak enak. Beberapa waktu
setelah ia menikah, ayahnya telah setuju Claude memperkenalkan
istrinya kepadanya. Tapi setelah mereka berdua benar-benar
datang ke rumah Picasso, penjaga pintu menolak mereka atas pesan
Picasso. Lantas datanglah tukang pembetul pipa air minum. Orang
ahli dengan senyum menasihati Claude: "Kalau mau ketemu Picasso,
harus ada sesuatu yang hendak anda kerjakan baginya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini