Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Mendunia berkat Nyamuk

Melalui tim World Mosquito Program Yogyakarta yang dipimpinnya, Adi Utarini menggunakan nyamuk ber-Wolbachia untuk menurunkan kasus demam berdarah dengue. Orang paling berpengaruh versi majalah Time.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Adi Utarini di depan ember berisi telur nyamuk Wolbachia di rumahnya di Sleman, 26 September 2021. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Adi Utarini masuk daftar 100 orang paling berpengaruh 2021 versi majalah Time.

  • Ia dinilai sukses menekan kasus demam berdarah dengan nyamuk yang diinfeksi bakteri Wolbachia.

  • Melinda Gates terkesan dengan pendekatan penelitian Utarini yang memberdayakan perempuan.

BERAWAL dari penelitian demam berdarah di Yogyakarta, Adi Utarini memperoleh pengakuan kelas dunia. Guru besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada ini kaget namanya masuk daftar 100 orang paling berpengaruh 2021 versi majalah Time, 15 September lalu. Ia masuk kategori pionir atas penelitian yang dipimpinnya selama hampir satu dasawarsa terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengajar dan peneliti yang akrab disapa Prof Uut ini mengingat ketika satu bulan lalu tim World Mosquito Program (WMP) mengabarkan bahwa Melinda Gates, pemimpin Bill and Melinda Gates Foundation, hendak menulis di majalah Time tentang perannya dalam riset nyamuk yang diinfeksi bakteri Wolbachia untuk menyetop demam berdarah. “Timnya bilang tulisan itu wujud apresiasi Melinda terhadap penelitian di Indonesia,” tutur Uut, 56 tahun, saat ditemui Tempo di rumahnya di Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahad, 26 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan perdana keduanya berlangsung saat Melinda berkunjung ke Yogyakarta pada 2017. Saat itu Melinda takjub melihat warga di Kampung Kricak, Kota Yogyakarta, menerima ember berisi telur nyamuk Aedes aegypti yang dititipkan Uut. Aedes aegypti adalah vektor demam berdarah, penyakit yang menginfeksi hampir 400 juta orang setiap tahun. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan demam berdarah dengue sebagai salah satu dari sepuluh ancaman terbesar bagi kesehatan global.

Di kampung itu, Melinda sempat mengobrol dengan orang tua asuh, sebutan untuk keluarga yang bersedia dititipi dan merawat nyamuk ber-Wolbachia. Ia juga banyak bertanya kepada Uut tentang peran perempuan dalam kesehatan di Indonesia. Uut menceritakan peran penting kader kesehatan lingkungan dan ibu-ibu pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK).

Melinda kesengsem dengan pelibatan perempuan kader kesehatan lingkungan untuk pelepasliaran nyamuk ber-Wolbachia di wilayah berpenduduk padat dengan kasus demam berdarah tinggi atau endemis. Ia melihat perempuan berperan besar dalam riset tersebut. “Peran perempuan itu sejalan dengan ketertarikan Melinda pada isu pemberdayaan perempuan,” ucap Uut.

Melinda juga mampir ke laboratorium serangga UGM. Bersama peneliti serangga UGM, Warsito Tantowijoyo, Uut mengajak Melinda melakukan tur laboratorium. Menurut Uut, Melinda sempat menjajal memasukkan tangannya ke dalam kotak berisi nyamuk.

Keberhasilan tim WMP Yogyakarta menggandeng perempuan bisa dilihat dari peran aktif kader dalam menyebar ember-ember kecil yang masing-masing berisi 150 telur nyamuk mengandung bakteri Wolbachia di kampung-kampung. Kini terdapat lebih dari 3.000 kader kesehatan perempuan di Kabupaten Sleman, salah satu wilayah endemis demam berdarah.

Uut menjadi perekat bagi 90 anggota tim dari berbagai latar belakang. Ada yang ahli serangga, peneliti biologi molekuler, dan epidemiolog. Setiap peneliti, kata Uut, memiliki karakter berbeda. Ia menyebutkan ada peneliti yang bekerja di laboratorium secara penuh sehingga kurang berinteraksi dengan warga. Sebaliknya, ada peneliti yang sehari-hari terjun ke masyarakat.

Uut juga menjadi pemecah masalah saat penelitian menghadapi ketidakpastian. Pada 2018, misalnya, hanya ada 30 kasus demam berdarah di Yogyakarta. Perubahan iklim membuat tahun itu kering sehingga populasi nyamuk berkurang dan tak banyak orang terjangkit demam berdarah. Padahal tim peneliti harus mendapatkan setidaknya 500 kasus penderita demam berdarah untuk membuktikan hipotesis penelitian mereka.

Peneliti yang gemar bermain piano ini pun bergegas melobi pemberi dana penelitian untuk menjelaskan bahwa dalam riset selalu ada unsur ketidakpastian di luar kendali peneliti. Akibatnya, penelitian itu mundur setahun dengan jumlah biaya tidak sedikit.

Uut mulai memimpin tim WMP saat ia menjadi Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM pada 2013. Baru dua bulan menjabat wakil dekan, tim WMP dari Monash University dan Yayasan Tahija menunjuknya untuk menakhodai riset. “Saya menerima amanah, berangkat dari keyakinan bahwa penelitian ini luar biasa,” tutur Uut.

Riset tidak seketika berjalan mulus. Sebagian kecil warga Sleman sempat menolak pelepasan nyamuk ber-Wolbachia pada 2014. Mereka tidak mau menjadi kelinci percobaan. Padahal Wolbachia adalah bakteri yang tidak berbahaya bagi manusia. Bakteri ini justru mampu menghambat replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk sebagai penyebab demam berdarah.

Uut dan anggota timnya tak menyerah. Mereka mengevaluasi metode pendekatan kepada masyarakat. Para peneliti lalu melibatkan perempuan kader kesehatan lingkungan untuk pelepasliaran nyamuk ber-Wolbachia di wilayah endemis demam berdarah, salah satunya Sleman.

Menurut Uut, timnya perlu waktu satu setengah tahun meyakinkan masyarakat agar menerima nyamuk ber-Wolbachia. Penelitian itu juga memakan biaya hingga Rp 15 miliar per tahun. Seluruh dana penelitian berasal dari keluarga Tahija, filantrop Indonesia yang menaruh perhatian terhadap penelitian yang berisiko seperti nyamuk ber-Wolbachia. Mereka tertarik menerapkan pelibatan kader perempuan di kota lain, misalnya Jakarta.

Citra Indriani, kolega Uut di tim WMP, mengatakan soliditas tim menjadi faktor penentu keberhasilan mereka. Soliditas itu tak terlepas dari kuatnya kepemimpinan Uut. Menurut Citra, Uut membagi peran setiap peneliti sesuai dengan porsi dan berjalan dengan kecepatan yang sama. Uut juga berperan mencari solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi tim. Bila ada anggota tim yang kelewat batas terhadap perannya, Uut bertugas mengingatkan agar mereka kembali ke tujuan awal. “Prof Uut menjadi lem bagi tim,” ujar Citra.

Uut bekerja intensif bersama pemimpin tim epidemiolog, Warsito Tantowijoyo yang memimpin tim entomologi, Eggi Arguni pemimpin tim diagnostik, dan Riris Andono Ahmad sebagai peneliti pendamping.

Soliditas tim besutan Uut berbuah manis. Dari hasil penelitian di 24 kluster di Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul, sebanyak 12 kluster yang diberi nyamuk ber-Wolbachia 77 persen lebih rendah terjangkit demam berdarah ketimbang kluster-kluster yang tidak diberi Wolbachia. Penyebaran Wolbachia juga mengurangi jumlah pasien rawat inap demam berdarah hingga 86 persen.

Perjuangan Adi Utarini tak berhenti di situ. Ia dan timnya terus menjalankan program yang sama di Sleman dan memperluas cakupan wilayah penelitian di Bantul.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus