Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah Setangkai Yuni

Film karya sutradara Kamila Andini, Yuni, meraih penghargaan Platform Prize Toronto International Film Festival 2021. Dihiasi puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang populer.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Arwinda Kirana dalam Yuni. tiff.net

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Film Yuni karya sutradara Kamila Andini berjaya di festival film internasional.

  • Film yang berkisah tentang Yuni dan remaja putri lain dalam menghadapi tekanan untuk menikah dini.

  • Film ini meraih penghargaan bergengsi Platform Prize Toronto International Festival 2021.

DI SEBUAH desa di Serang, Banten, Yuni berdiri seperti setangkai bunga ungu. Dia menghadapi keseharian seperti remaja sekolah menengah atas seusianya: berseteru memperebutkan ikat rambut berwarna ungu; belajar sekeras mungkin menghadapi bait-bait puisi Sapardi Djoko Damono meski Yuni (Arawinda Kirana) merasa ia lebih kuat bergulat dengan ilmu pengetahuan alam dan matematika; tertawa geli bersama kawan-kawannya saat membahas tentang pacar, masturbasi, dan segala hal yang mereka ingin ketahui; serta gelisah terhadap peraturan baru sekolah, yakni “tes keperawanan”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di antara keasyikan mengikuti seni bela diri, bergurau dengan kawan-kawan sekelas, dan sesekali melirik Yoga (Kevin Ardilova), yang senantiasa gugup menghadapinya, Yuni adalah gadis biasa yang senang belajar dan masih mencari apa yang hendak dilakukan dalam hidupnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampai suatu saat ada yang menghadang kehidupannya: lamaran demi lamaran mengalir ke ruang tamu keluarganya. Pelamar itu beragam: dari anak muda gondrong yang bekerja sebagai buruh hingga kakek yang datang dengan istri tua serta segepok duit dan menyatakan “jika memang perawan, uang ini pasti ditambah”. Bila sudah dua kali menolak, menurut para handai taulan, itu suatu hal yang pamali. Konon, lamaran ketiga harus diterima.

Adegan dalam film Yuni. Youtube/TIFF

Berbeda dengan dua film sebelumnya yang berbahasa simbol, warna, dan suara, kali ini sutradara Kamila Andini menggunakan narasi linier nyaris gaya dokumenter yang mengasyikkan. Kamila dan penulis skenario Prima Rusdi menggugat patriarkisme tanpa gambar yang meletup-letup atau dialog yang menggelegar bak petir. Deskripsi adegan demi adegan digarap dengan kelancaran seorang storyteller yang unggul, fasih tanpa pretensi.

Yuni digambarkan sebagai remaja SMA yang masih bertanya-tanya tentang dunia yang begitu sempit yang ternyata bisa menguak lebih lebar. Melalui dorongan sang guru, Ibu Lis (Marissa Anita), untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi dengan beasiswa, dunia Yuni terasa makin luas dan pandangannya melebihi paradigma kawin muda, lalu bercerai, dan akhirnya terengah-engah mencari nafkah sendiri seperti yang banyak dialami para perempuan muda di sekelilingnya.

Adegan dalam film Yuni. TIFF

Penggunaan puisi Sapardi Djoko Damono yang populer—“Aku Ingin”, “Hujan Bulan Juni”, danYang Fana adalah Waktu”—tentu saja bukan suatu hal baru mengingat puisi penyair itu juga muncul dalam film Cinta dalam Sepotong Roti (Garin Nugroho, 1991) dan Ada Apa dengan Cinta? (Rudy Soedjarwo, 2002). Tapi kali ini puisi Sapardi digunakan dengan sangat efektif, terutama ketika Yuni menemukan dirinya pada bait-bait “aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang…” dari puisi “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari”.

Puisi-puisi Sapardi dalam film Yuni adalah bagian dari napas para remaja—Yuni dan Yoga—yang sedang meraba dan mengukur seberapa jauh jiwa mereka bisa menyelinap keluar dari peta yang sudah digariskan masyarakat sekelilingnya.

Kevin Ardilova dalam Yuni. TIFF

Film coming-of-age mungkin salah satu tema yang sulit digarap karena kita sebagai orang dewasa selalu merasa tahu dan paham jiwa anak muda. Problemnya, kita sering tak cukup rendah hati untuk betul-betul menyelami serta memahami isi hati dan lonjakan emosi mereka. Sutradara Kamila Andini memiliki kepekaan dan belas kasih kepada tokoh-tokohnya. Yuni, Suci, dan kawan-kawannya mewakili begitu banyak perempuan muda yang ditekan untuk menikah sedini mungkin. Yuni, bagi Kamila, adalah tetesan hujan di bulan Juni yang kemudian memilih jalannya dengan tabah.

Semua pemain tampil pas dan asyik. Dari yang sekadar muncul sekelebat seperti Ayu Laksmi sebagai rocker hingga pemeran utama Arawinda Kirana, sebuah meteor yang melesat dalam perfilman Indonesia. Juga aktor Kevin Ardilova dan Marissa Anita, para bunglon yang betul-betul menyelinap ke dalam tokoh yang diperankan hingga Anda tak akan mengenali mereka. Film ini tak hanya menjadi pemenang di Platform Prize Toronto International Film Festival, tapi juga layak memenangi hati penonton Indonesia. Sebab, Yuni adalah sebuah pernyataan bahwa perempuan, seperti makhluk lain, memiliki pilihan hidup tak terbatas.

YUNI

Sutradara: Kamila Andini
Penulis skenario: Prima Rusdi dan Kamila Andini
Pemain: Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Neneng Risma, Asmara Abigail, Marissa Anita, Ayu Laksmi
Produksi: Fourcolours Films, Starvision, Akanga Film Asia, Manny Films

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Leila S. Chudori

Leila S. Chudori

Kontributor Tempo, menulis novel, cerita pendek, dan ulasan film.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus