PERNIKAHAN agung Putra Mahkota Kekaisaran Jepang berlangsung Rabu pekan ini di Tokyo. Hari itu Pangeran Naruhito, 33 tahun, mengenakan busana ouninohu kuning tua. Pasangannya, Masako Owada, 29 tahun, berkimono junihitoe warna-warni rangkap 12 lapis. Mereka melangkah ke muka altar, dan meluncurlah akad nikah dari bibir calon kaisar Jepang ke-126 itu. Dalam upacara kekkon-no-gi yang menghabiskan duit 286 juta yen (hampir Rp 5,5 miliar) itu, kedua pengantin saling menukar cangkir sake. Mereka lalu pindah ke koreiden untuk memuja para arwah kaisar Jepang, terus ke shinden untuk memuja dewa-dewi Shinto. Puncak pesta itu adalah pawai sejauh 4,5 kilometer. Pangeran Naruhito dan Putri Masako duduk berdampingan di mobil terbuka menuju istana pengantin togu goshu. Pekan depan, digelar perjamuan dengan hidangan 1.500 kakap merah, lambang tradisi bangsa samurai sejak 1.500 tahun silam. Polemik pun mewarnai perkawinan agung ini. Para feminis, misalnya, mengkritik Masako yang mau melepaskan karier diplomatnya dan mengabdikan dirinya sebagai wanita di belakang suami. Sebelum mengundurkan diri Januari lalu, Masako punya posisi penting di Kementerian Luar Negeri Jepang. Banyak yang meramalkan, cewek yang fasih lima bahasa ini bisa menggaet jabatan top di pemerintahan atau bisnis. Masako berarti gadis molek bisa dibilang sosok cewek Jepang yang cantik, pintar, dan sukses dalam karier. Putri bekas wakil menteri luar negeri itu menamatkan pendidikannya di Universitas Harvard dan Oxford dengan predikat magna cum laude dan sempat pula kuliah di Universitas Tokyo. Mengapa ia mau melepaskan kariernya yang cemerlang untuk posisi yang terikat segala tradisi? Jawabnya cuma Masako-san sendiri yang tahu. Kalangan dekatnya menduga, keputusan yang berat itu akhirnya diambil Masako karena cintanya yang begitu mendalam kepada sang Pangeran. Di samping itu, Masako yang kosmopolit itu pasti mempunyai rasa kebangsaan Jepang yang kental, sehingga pernikahan ini pun merupakan panggilan tugas yang harus dilaksanakannya. Pantas saja, soalnya kedua orang tuanya ternyata keturunan samurai. Bagi seorang samurai, tiada kata lain yang berarti selain ''mengabdi''. Apakah Putri Masako mampu menjalani pengabdiannya? Ada yang mengharapkan kehadiran Masako bisa membuka pintu istana bagi rakyat Jepang. Sebaliknya, jika Masako tak kuat menghadapi ''tirai bunga krisan'' yang dipagari kunaicho (badan rumah tangga istana), ''Ia bisa menjadi boneka kerajaan,'' kata Shuichi Kato, seorang intelektual Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini