SEJARAH singkat dan muram pemerintahan Khmer Merah tercermin dalam kata-kata Andrew Walder: ''Praktek tiranisasi di tangan teori.'' Satu contoh dari proses itu adalah cara rezim ini mengatur kembali luas tanah pertanian hingga terbagi dalam seratusan meter persegi, tanpa mempedulikan hasil pemetaan topografi. Tujuannya, supaya peta itu mirip kotak-kotak permainan dam yang simetris, lambang Khmer Merah. Juga, jenis padi yang disesuaikan dengan jenis tanah setempat, diseragamkan untuk daerah-daerah tertentu. Pemutusan dengan masa lalu yang kedua adalah dihapuskannya pasar dan gaji, tak dipakainya uang, dan dihapuskannya status tuan dan pembantu -- secara teoretis. Kecuali petani miskin, tentara revolusioner, dan sejumlah buruh industri, pekerjaan dan posisi sosial semua orang dihapuskan. Kebijaksanaan itu untuk menghapuskan sistem produksi, hierarki, eksploitasi, dan basa-basi upacara penghormatan dari masa lalu. Pemerintah Khmer Merah memaksakan persamaan dengan cara menghapuskan pekerjaan. Mereka menawarkan kekuasaan kepada para miskin dan generasi muda. Tentu saja dalam pemerintahan Khmer Merah pun segera tampak hierarki. Tapi mereka yang di lapisan atas bukanlah orang-orang masa lalu yang statusnya tercermin dari uang, harta, atau pangkat. Mereka yang punya kekuasaan dalam Khmer Merah adalah mereka yang memiliki tiga akses yang tak dipunyai sebagian besar rakyat: makanan, senjata, dan informasi. Bagi para revolusioner di Kamboja itu kerja sama, agresi, menaruh kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi adalah yang menyebabkan kemenangan militer. Faktor-faktor itu kemudian dikumandangkan lagi untuk dijadikan pedoman di masa pascaperang. Perdamaian memberi kesempatan solidaritas, kekerasan, dan patriotisme masa perang berlanjut. Juga dibiarkan terus berlangsung campur tangannya para pejuang bersenjata di tanah-tanah pertanian dan perlawanan terhadap musuh. Politik merupakan kelanjutan dari kebijaksanaan pada zaman perang dan dijalankan dengan cara yang sama. Di bawah Sihanouk dan Lon Nol, kaum miskin Kamboja hidup dalam kondisi yang sangat buruk dan hampir tak punya hak apa pun. Antara tahun 1970 dan 1975, ribuan kaum miskin itu bergabung dengan Khmer Merah. Mereka dilatih bagaimana hidup bebas dari eksploitasi (kata eksploitasi dalam bahasa Kamboja adalah chi cho'n, artinya ''menunggang dan menyepak''). Masa lalu yang pahit dan janji kekuasaan mempercepat proses kemenangan. Antara tahun 1970 dan 1975 itu anggota Khmer Merah menggelembung dari 4.000 menjadi lebih dari 14.000, anggota penuh dan kader. Mereka yang dipilih sebagai kader partai, menurut seorang pengungsi, selalu ''mereka yang paling miskin dari para miskin itu, yang tak memiliki ternak ataupun peranti pertanian, yang tak memiliki segenggam tanah pun.'' Pengungsi lain mencatat bahwa kader juga diangkat dari kalangan ''buruh yang sangat miskin dan mahasiswa yang malas.'' Bahkan, sebelum kemenangan Khmer Merah, remaja-remaja usia 13 atau 14 tahun di wilayah yang mereka kuasai dikumpulkan dan diindoktrinasi, menurut sebuah studi yang diadakan oleh Kedutaan Amerika di Kamboja tahun 1975, agar ''mengecam pedas 'masa lalu', melecehkan tradisi, dan dengan penuh semangat melawan agama dan orang tua.'' Dilepaskan dari perlindungan orang tua masing-masing, para remaja itu menjadi setia tanpa syarat pada organisasi. Dalam wawancara yang dilakukan pada tahun 1979, para remaja menjadi komunis, antara lain, karena itu berarti ''mereka tak usah bekerja, dan boleh membunuh.'' Anak-anak laki-laki dan perempuan itu menjadi mata pisau revolusi. Banyak orang Kamboja menemui dua kesulitan berhadapan dengan zaman ketika para miskin diangkat dan para remaja diberi kekuasaan. Mereka merasa sungguh mustahil menjadi budak dari mereka yang tanpa pendidikan, dari mereka yang latar belakangnya gelap. Kesulitan kedua, menurut kata-kata George Steiner, adalah ''dampak revolusi yang menyebabkan setiap laki- laki dan perempuan menjadi binatang politik, menjadi penghuni sejarah.'' Desa-desa miskin menjadi wilayah terdepan. Revolusi menyenangkan sejumlah orang, tapi membuat jutaan yang lain merasa terhina dan bingung. Mayoritas orang Kamboja itu telah biasa hidup dalam lingkungan ajaran Budha, saling berbagi pengalaman, kesenangan, perlindungan, dan kesetiaan pada keluarga untuk menengahi kekerasan dan ketidakadilan, dan untuk menjelaskan penderitaan dan kerusuhan. Di bawah Khmer Merah, kekeluargaan, individualisme, milik pribadi, kepribadian, dan kesombongan, dan praktek keagamaan, semuanya itu ditolak. Riwayat hidup siapa pun lalu diselidiki, bukan untuk mencari mereka yang bisa diajak bekerja, tapi untuk menentukan asal- usul kelas dan afiliasi seseorang. Riwayat hidup dianggap kunci yang menentukan sikap dan peri laku. Akibatnya, banyak orang dengan cepat belajar bagaimana berbohong. Perintah dari Organisasi Revolusioner mengatur semua aspek hidup individu. Perintah itu mengatur dari soal pakaian, potongan rambut, perbendaharaan kata, hiburan, sampai hubungan seks. Perintah datang dari penguasa desa, di beberapa wilayah itu berarti datang dari mereka yang buta huruf. Anak-anak dengan senjata berat melakukan patroli di malam hari. Untuk perbuatan yang dianggap oleh mereka sebagai ketidakpatuhan, biasanya pelakunya dijatuhi hukuman mati. Khmer Merah memberikan kekuasaan otonom pada kader setempat, tapi kontrol ketat dilakukan lewat radio-telepon dan para pembawa pesan dikirimkan dari pusat ke daerah, dari daerah ke distrik, dan seterusnya. Para remaja itu dicekoki setidaknya dengan satu lagu revolusioner yang sama, dipungut oleh rezim komunis dan diberi kepercayaan memegang kekuasaan -- kekuasaan yang harus dipatuhi secara eksplisit. Dan dengan menyembunyikan diri, kepemimpinannya tak disebut- sebut, dan maksud mereka disamarkan, Organisasi Tingkat Atas, dikenal sebagai komite sentral, menjadi begitu berjarak, misterius, sewenang-wenang, dan tak mungkin digugat sebagaimana penguasa monarki dalam sejarah Kamboja di masa kolonial. Bedanya, Pol Pot dan rekan-rekannya tak membina kultus pribadi, yang dinilainya merupakan hal yang melukai Kamboja sejak tahun 1950-an. Perbedaan yang lain, penguasa monarki tak bisa memaksakan kehendaknya lebih dari beberapa kilometer wilayah dari pusat kekuasaan dan biasanya juga tak begitu dipaksakan, sedangkan Khmer Merah bisa memaksakan komandonya ke segenap penjuru dengan cepat dan dengan cara brutal. Mengosongkan kota Dalam dua pekan terakhir April 1975, Phnom Penh dan ibu kota provinsi dikosongkan. Dalam dua bulan berikutnya, dua sampai tiga juta orang dipindahkan dari kota-kota ke wilayah pedesaan, dijadikan pekerja pertanian. Pertama-tama, para kader partai bilang bahwa kota-kota akan dibom oleh Amerika. Tapi setelah kota-kota kosong, para pejabat partai yang lebih tinggi mengatakan alasan yang tidak konsisten. Suatu kali mereka bilang, pengosongan itu untuk menggagalkan operasi CIA, dinas intelijen Amerika. Lain kali mereka mengatakan itu untuk mencegah epidemi, atau karena jumlah makanan di kota tidak cukup lagi untuk semua warga kota. Saloth Sar atau Pol Pot dan koleganya tidak menghabiskan waktunya di dalam hutan, karena dicalonkan menjadi anggota dewan kota Phnom Penh. Ketika mereka bersembunyi, mereka menjadi yakin akan kebenaran strategi antiurban yang akan memberikan kekuasaan ke petani miskin dan mengubah penduduk kota menjadi pekerja pertanian. Dengan memilih tinggal di kota, orang-orang itu menjadi musuh revolusi. Jika mereka ditarik ke desa-desa ketika musim tanam, mereka akan menjadi pekerja yang produktif. Jika tidak, revolusi akan berjalan tanpa mereka. Semboyan yang mendirikan bulu kuduk yang diteriak-teriakkan oleh para kader partai dan yang masih diingat oleh mereka yang selamat dari zaman itu adalah: ''Mempertahakan (warga kota) tidak menguntungkan, kehilangan mereka tak ada ruginya.'' Sebenarnya, warga kota senang bahwa perang sudah usai. Tapi mereka pun tak menghendaki evakuasi. Umumnya warga kota menyambut baik serdadu Khmer Merah yang muda-muda itu, yang tampak serius dengan persenjataan beratnya. Mereka mengenakan celana hitam atau hijau pudar, seragam tentara Vietnam. Mereka masuk Phnom Penh dan Battambang di pagi pertengahan April. Warga kota begitu terkesan akan wajah-wajah yang serius, terkesan akan kedisplinan mereka, akan kemudaan mereka. Banyak serdadu membawa mortir yang berat, amunisi, dan senapan mesin. Sebagian besar mereka tak lebih dari 15 tahun usianya. Mereka semua tampak ''waspada dan penuh kecurigaan, seperti tentara sedang patroli,'' dan menatap orang-orang kulit putih seperti mereka ''makhluk dari planet lain.'' Ketika warga kota mencoba memberi selamat dan para wartawan berusaha mewawancarainya, mereka menghindar dan tetap menunjukkan rasa permusuhan. Warga kota ingin melihat serdadu-serdadu muda itu tersenyum, ingin mendengar usul mereka. Mereka ingin menjabat tangan mereka. Kalah dalam peperangan, mereka ingin mendapatkan alasan agar bisa melanjutkan hidup. Mereka diperas secara fisik dan psikis. Anggota keluarga dan teman mereka termasuk di antara setengah juta orang Kamboja yang menjadi korban perang saudara. Lebih dari setahun, Phnom Penh, kota yang padat itu, menjadi sasaran mortir dan roket, menderita kekurangan pangan, dan penyakit. Kebanyakan pengungsi dari desa-desa tak lagi punya hubungan dengan asalnya sejak tahun 1972 atau 1973. Kebanyakan mereka tak bekerja, menggelandang, kurang makan. Hanya sedikit yang masih percaya pada sistem politik dan sosial masa lalu, dan kebanyakan ingin menyaksikan akhir dari zaman pemerintahan republik yang korup. Mereka yang berpendidikan tinggi berharap mendapatkan posisi, dan hak-hak istimewa. Tapi jika kata aneh padevat (revolusi) membutuhkan sumbangan materi, kesetiaan, penghormatan untuk menghidupkan kembali Kamboja, sebagian besar mereka siap memberikannya. Khmer Merah toh orang Kamboja juga. Mestinya semuanya bisa diatur. Tapi sepekan kemudian, sebagian besar harapan itu terjungkir balik. Bergema pernyataan Khmer Merah bahwa 2.000 tahun sejarah Kamboja berakhir hari itu. Buat sebagian besar warga kota hari itu adalah keruntuhan hidup mereka. Mereka yang masih hidup masih bisa mengingat dengan tajam bagaimana hidup mereka terjungkir balik. You Hon Chea, seorang insinyur yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum di Phnom Penh, masih ingat sore itu ia pulang kerja sebagaimana yang lain. Esok paginya, ketika ia sampai di kantornya, ia mendapat tahu bahwa Khmer Merah masuk kota. ''Kami senang pertempuran sudah usai,'' katanya, menyuarakan pendapat banyak warga kota. Ia capek, dan agak optimistis. Ia pulang tanpa menunggu untuk memberi selamat pada tentara yang menang itu. Dari 12 anggota keluarga di rumah Chea, nanti, dalam empat tahun pemerintahan Khmer Merah, enam di antaranya tewas karena penyakit dan karena dihukum mati. Tapi ketika itu, pada hari Khmer Merah masuk kota, prospek yang menakutkan itu belum tampak. Sebagaimana umumnya lulusan Lycee Sisowath, Chea mengagumi kejujuran dan dedikasi. Ia belajar bahasa Inggris dari Khieu Thirith, dan sastra Khmer dari saudara perempuannya bernama Ponnary. Setelah tahun 1968, pada tahun-tahun terakhir di lycee, ia kecewa terhadap Sihanouk. Banyak pemuda seangkatan Chea ketika itu merasa berdiri di kiri, sebagaimana orang-orang republik. Sebagian dari mereka kemudian menghilang bergabung dengan gerakan bawah tanah. Yang lain, sebagaimana istri dosennya, menjadi anggota Khmer Merah. Chea menganggap cerita- cerita tentang kekejaman Khmer Merah hanya sebagai propaganda. Apa pun yang terjadi di desa-desa, pikirnya, tak mungkin lebih buruk daripada korupsi dan kesemrawutan pemerintahan Lon Nol. Kol Touch, menteri pertanian tahun 1960-an, bahkan lebih optimistis daripada Chea. Touch beberapa tahun mengelola kebun karet di Kompong Cham dan berteman dengan penduduk setempat. Ia bertemu dengan banyak tentara Khmer Merah dan tentara Komunis Vietnam. Tak sebagaimana elite Kamboja yang lain, Touch mengagumi warga desa dan menikmati berteman dengan mereka. Ia biasa berburu dan berkemah dengan ayahnya pada tahun 1930-an. Mungkin persahabatannya dengan warga desa dan pengetahuannya tentang liku-liku daerah pedesaan telah menyelamatkannya dari zaman Khmer Merah. Touch, seorang demokrat yang menjauhi politik dan memisahkan diri dari Sihanouk karena pangeran itu dinilainya korup. Pada tahun 1975, menurut penilaiannya, keadaan Kamboja demikian buruknya hingga ia ''ingin Khmer Merah menang.'' Anak laki- lakinya, Dorothy, mahasiswa teknik di Perancis, anggota Partai Komunis Perancis tahun 1960-an, dan kemudian bergabung dengan organisasi mahasiswa Maois. Pada tahun 1973, Dorothy bersama sekitar 30 mahasiswa terbang ke Beijing, berharap bisa ambil bagian dalam revolusi Kamboja. Dorothy harus melewati Jalur Ho Chi Minh sebelum bertemu dengan para pemimpin Partai Komunis Kamboja. Touch lama tak bertemu dengan anaknya, tapi ia bangga akan idealisme anaknya. Dengan kemenangan Khmer Merah, ia berharap bisa bertemu kembali dengan anaknya itu dan ingin membantu pembangunan kembali Kamboja. Mereka yang menemui Touch pada pertengahan April itu menurut penilaiannya cukup sopan, meminta Touch dan keluarganya meninggalkan rumahnya setelah mereka merasa siap. Suatu malam, Kol Touch dan sebelas anggota keluarganya bergerak dalam arus kemanusiaan menuju ke timur, melewati Jembatan Monivong. Touch melakukan semua itu dengan harapan bisa bertemu kembali dengan anaknya di wilayah timur Kamboja. Touch memang tak sempat bertemu anaknya, tapi ia selamat melewati zaman ini (lihat Mereka yang Selamat dari Badai). Tragedi sejarah Kamboja Sejarah politik Kamboja pada tahun 1945 hingga 1979 agaknya terbentuk dengan rapi sebagai sebuah narasi, dengan jatuh dan bangunnya para demokrat, dengan Sihanouk yang perlahan-lahan ditinggalkan zaman, dan pecahnya perang dan revolusi tahun 1970-an. Dan kini di Kamboja, seperti juga di mana pun, perjalanan politik selalu mengenai -- dan secara terus-menerus -- kehidupan rakyatnya. Kurang dari 50 tahun, pria dan wanita Kamboja diminta mengubah dan menyesuaikan diri dengan kepentingan para pemimpinnya atau sesaat untuk kepentingan negeri lain. Mereka diminta, tahun 1950-an, untuk lebih demokratis. Pada tahun 1960-an, mereka diminta agar lebih patuh, dan pada tahun-tahun berikutnya, dengan patokan yang membingungkan, mereka diminta lebih bersifat republik, lebih sosialis, dan terus-menerus lebih bercuriga, dan lebih toleran terhadap Vietnam. Dalam banyak kasus, mereka diminta bergabung bukan dengan membawa kepentingan mereka, tapi dengan kepentingan para pemimpin dan ancaman dari pihak asing. Hanya sedikit politikus, setelah kemerdekaan, yang berang dengan keprihatinan atau kesejahteraan orang-orang yang tabah, rakyat yang melarat yang setengahnya atas nama merekalah para pemimpin itu mengklaim berhak memerintah. Selama bertahun-tahun, rakyat biasa itu dipaksa memenuhi tuntutan itu, dibayangi trauma ekonomi dan perubahan sosial. Dan dengan memperhebat kekerasan yang tersebar, mereka juga diharapkan membina keluarga, menghasilkan panen untuk dijual dan diekspor, diminta agar lebih bijaksana sesuai dengan bertambahnya usia, dan menyuplai serdadu yang akan menjadi sasaran meriam untuk rezim satu dan yang lainnya. Mereka dipandang sebagai budak bagi penguasa. Keprihatinan mereka lebih dalam dan lebih luas daripada hanya politik. Tapi perhatian itu direndahkan, dipersempit oleh orang-orang yang kurang menderita daripada mereka, orang-orang yang acuh tak acuh terhadap kondisi Kamboja, dan tak punya tanggung jawab pada kelangsungan Kamboja. Apa yang oleh kekuasaan di luar Kamboja, yang terpesona oleh masalah-masalah Kamboja, dianggap sebagai permainan, bagi orang Kamboja adalah bencana yang berketerusan. Orang-orang itu berusaha menghubungkan prioritas personal mereka, dan sejarah hidup mereka ke dalam masyarakat yang menganggap politik, begitulah mereka menjelaskan -- sebagai hukuman atau rahmat dari langit -- kehilangan nilai, mungkin untuk kebaikan. BBU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini