Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kisah perjuangan atlet angkat besi kelas dunia Eko Yuli Irawan diabadikan dalam sebuah film pendek.
Peraih rekor dunia panjat tebing Aries Susanti Rahayu grogi memerankan diri sendiri dalam film biopik.
Legenda bulu tangkis Liem Swie King terkenang nostalgia saat membintangi film.
PRESTASI internasional mempertemukan atlet angkat besi Eko Yuli Irawan dengan dunia film. Kagum akan kisah perjuangannya, sebuah merek pakaian olahraga, SFIDN FITS, memproduksi film biopik tentang lifter 32 tahun itu. Berdurasi sekitar 10 menit, film berjudul Eko Yuli Irawan the Movie tersebut dirilis pada 3 Agustus lalu dan dapat ditonton di YouTube. “Saya menceritakan kisah saya sejak awal,” tutur Eko pada 10 November 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eko tidak hanya membacakan narasi film yang mengisahkan perjalanannya meniti karier sebagai atlet angkat besi. Ia juga muncul dalam sebuah adegan singkat pada bagian akhir film yang dijalin dengan potongan-potongan klip ketika ia memenangi sederet kejuaraan. Adapun sebagian besar film berkisah tentang Eko kecil yang berkenalan dengan dunia angkat besi dan menempa diri menjadi atlet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Eko melejit ketika merebut medali perunggu dalam Olimpiade Beijing 2008. Sejak saat itu, ia berlangganan mengikuti kejuaraan dunia empat tahunan tersebut. Eko tercatat sebagai satu-satunya atlet Indonesia yang meraih empat medali Olimpiade secara beruntun. Ia terakhir kali meraih medali perak dari nomor 61 kilogram dalam Olimpiade Tokyo 2020 pada 25 Juli lalu. Eko juga merupakan lifter kedua di dunia yang sukses meraih empat medali Olimpiade setelah legenda Yunani, Pyrros Dimas.
Pembuatan film Eko Yuli Irawan the Movie terbilang singkat. Prosesnya diawali dengan diskusi antara produser dan Eko dua bulan sebelum dia berangkat ke Tokyo. Eko menceritakan detail perjalanan kariernya. Dua-tiga pekan kemudian mereka kembali bertemu untuk pengambilan gambar. Eko menjalani syuting sekitar enam jam. “Scene saya cuma sebentar, seperti flashback doang,” ujar Eko. Beruntung ia pernah membintangi iklan sehingga tidak grogi tampil di depan kamera.
Melalui film pendek itu, Eko berharap dapat menginspirasi para atlet muda ihwal perjuangan menjadi kampiun kelas dunia. Kisah hidupnya sekaligus memberikan edukasi bahwa menjadi atlet memerlukan pengorbanan, jerih payah, kerja sama tim, dan proses selama bertahun-tahun. “Untuk jadi juara enggak bisa instan. Jangan dilihat enaknya saja ketika menjadi juara dan mendapatkan bonus,” ucapnya.
Kisah perjuangan atlet nasional panjat dinding Aries Susanti Rahayu juga diangkat ke layar sinema. Sutradara Lola Amaria menggarap film biopik Aries yang berjudul 6,9 Detik pada 2019. Film drama berdurasi 1 jam 18 menit itu terinspirasi prestasi Aries yang sukses menyabet dua medali emas di Asian Games 2018.
Atlet panjat tebing, Aries Susanti. Dok. Pribadi)
Aries, 26 tahun, membutuhkan waktu dua bulan untuk menjalani syuting. Satu bulan pertama dihabiskannya untuk pembacaan naskah bersama tim Lola Amaria Production. Satu bulan berikutnya adalah pengambilan gambar. Sebelumnya Aries diwawancarai untuk penggalian cerita. “Saya menceritakan semua hal tentang saya dari kecil sampai dewasa hingga Asian Games kemarin,” kata Aries saat dihubungi Tempo, Selasa, 9 November lalu.
Didapuk sebagai pemeran utama, perempuan berjulukan Spiderwoman ini justru kesulitan memerankan dirinya sendiri. Apalagi atlet yang memecahkan rekor dunia dengan catatan waktu 6,995 detik dalam Kejuaraan Dunia IFSC Climbing Worldcup di Cina pada 2019 ini baru pertama bermain film. “Ternyata enggak semudah yang saya bayangkan. Menurut saya lebih asyik menjadi atlet daripada pemain film karena jam istirahatnya juga kurang, he-he-he...,” katanya.
Di antara sederet adegan yang diperankannya, Aries masih terkesan oleh adegan saat ia berbincang dengan ibunya sewaktu masih membungkus jajanan jagung di rumah, lalu berpelukan dengan Ibu, hingga berbicara dengan pelatih dan diberi target menjadi juara. Aries berharap film biopik ini bisa menularkan semangat kepada siapa pun yang menontonnya. Menurut dia, kesuksesannya menjadi atlet kelas dunia membuktikan Indonesia tak pernah kekurangan atlet berbakat.
Dari dunia bulu tangkis, perjalanan hidup legenda nasional Liem Swie King juga pernah diabadikan dalam sinema. Dirilis pada 2009, film berjudul King menceritakan lika-liku perjuangan seorang anak bernama Guntur dalam meraih cita-cita sebagai juara dunia bulu tangkis. Guntur, yang diperankan Rangga Raditya, dalam film tersebut, dikisahkan mengidolakan Liem Swie King.
Liem Swie King. Dok. TEMPO/Novi Kartika
Dalam kehidupan nyata, Guntur merupakan nama Indonesia Liem. Ia tumbuh pada era Orde Baru yang mewajibkan semua warga keturunan etnis Tionghoa menggunakan nama Indonesia. “Saya bermain di film itu sebagai inspirasi,” tutur Liem, 65 tahun, Selasa, 9 November lalu.
Film besutan Ari Sihasale itu film kedua yang dibintangi Liem. Pada 1979, pemain yang tiga kali menjuarai All England ini pernah beradu peran dengan aktris Eva Arnaz dalam film Sakura dalam Pelukan. Dalam King, Liem terkesan akan adegan yang berlatar di lapangan Perkumpulan Bulu Tangkis Djarum di Kudus, Jawa Tengah. “Saya merasa seperti nostalgia zaman dulu,” ujar Liem, yang mendapat julukan The King of Smash semasa jadi atlet.
Melalui film itu, Liem ingin memberikan semangat, inspirasi, dan motivasi kepada atlet-atlet muda. Apalagi tim nasional sepanjang tahun ini sukses menjadi juara di Olimpiade Tokyo hingga Piala Thomas. Dengan bibit yang berkualitas, Liem berharap para atlet memiliki semangat juang yang lebih besar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo