Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Basuki Resobowo, Sebuah Kenangan

Sebuah pameran tentang perupa Basuki Resobowo di Galeri Nasional, Jakarta, pada 22 Oktober-5 November lalu. Basuki Resobowo eksil setelah peristiwa 1965. 

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Galeri Nasional menggelar pameran arsip Basuki Resobowo

  • Basuki Resobowo tak hanya aktif di sejumlah organisasi seni dan politik, tapi juga seniman serbabisa

  • Basuki Resobowo berkawan dengan Chairil Anwar, berpisah jalan dengan Sudjojono

Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang! – Coba kalau bisa lebih!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

(“Sajak buat Basuki Resobowo”, Chairil Anwar, 1947)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tahun menjelang Soeharto lengser, Basuki Resobowo pulang ke Jakarta. Setelah lebih dari 30 tahun menjadi eksil di Eropa, itu adalah kemunculan pertamanya di Indonesia. Umurnya saat itu sudah 80 tahun. Pada 1965, saat di Tanah Air terjadi peristiwa 30 September, ia tengah berada di Tiongkok. Ia saat itu diutus Lekra mengedit film dokumenter, Jayalah partai dan Negri. Ia memutuskan tak kembali.  

Ia tinggal di kamp eksil Indonesia di Nanjing beberapa tahun. Pada 1972, ia mendapat suaka politik di Jerman dan beroleh kewarganegaraan Jerman. Ia lama bermukim di Jerman. Selama di Jerman, ia bolak-balik ke Belanda. Basuki lalu memiliki flat di Belanda dan memilih tinggal di sana.  

Pada 1996 itu, pada usianya yang sudah sepuh, dari Belanda, Basuki datang mengunjungi banyak sahabatnya di Jakarta yang masih hidup. Ia antara lain mendatangi sebuah rumah kontrakan di bilangan Cipinang, Jakarta. Di situ mantan anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat, penulis dan penerjemah Joebaar Ajoeb, tengah berkumpul dengan beberapa aktivis muda Jakarta. Joebaar pada 1960-an adalah orang yang banyak membela dan mengapresiasi lukisan Basuki lewat tulisan-tulisannya.

“Saya ingat mereka berdua lalu mengobrol mengenang peristiwa-peristiwa perkawanan di masa lampau,” kata Irwan Firdaus, mantan koresponden kantor berita AP di Jakarta. Saat itu Irwan baru lulus dari Fakultas Sejarah Universitas Indonesia dan bersama beberapa aktivis sering berkumpul di rumah kontrakan tersebut. Irwan ingat, tutur kata Basuki sangat lembut. “Berbeda dengan tulisan-tulisannya yang terlihat garang,” ujarnya. Yang paling mengesankan bagi Irwan: di tengah percakapan, tiba-tiba Basuki meraih kertas dan menorehkan bolpoinnya. Ia membuat sketsa.

Gedung apartemen yang pernah ditinggali oleh Basuki Resobowo, di Jalan Riouw 32, Amsterdam, Belanda. TEMPO/Linawati Sidarto

“Basuki Resobowo membuat sketsa kami tengah bercakap-cakap dengan Joebaar Ajoeb. Ada tiga sketsa. Dalam satu sketsa bahkan ia khusus menggambar saya. Dua sketsa ini saya bawa pulang dan saya bingkai, saya pasang di rumah,” ucap Irwan. Dalam sketsa pertama, tampak Joebaar merokok diapit Irwan dan seorang kawan lain. Di depan mereka terdapat asbak, rokok, dan sebotol bir. Di kanan bawah sketsa, setelah menuliskan namanya dan angka tahun 1996, Basuki membuat kalimat: “Joebaar merenungkan nasib pejuang”. Sketsa kedua adalah sketsa Irwan termangu sendirian.

Irwan merasa pertemuan itu mengesankan. Sketsa dirinya bak sketsa tentang orang-orang kecil yang banyak diciptakan Basuki untuk majalah kebudayaan dan surat kabar, seperti Siasat, Zenith, Mimbar IndonesiaZaman Baru, Harian Rakjat, dan Seni, puluhan tahun sebelumnya. Karena itu, tatkala mendengar kabar Basuki wafat di Belanda tiga tahun setelah perjumpaan tersebut, Irwan merasa kehilangan.

•••

DUA puluh dua tahun setelah kematian Basuki Resobowo, sebuah pameran kecil mengenai dirinya digelar di Galeri Nasional, Jakarta, 22 Oktober-5 November lalu. Kuratornya Umi Lestari. Sebuah pameran sederhana tapi cukup menggambarkan perjalanan kesenian dan pemikiran Basuki. Basuki pada dasarnya adalah perupa sekaligus pemikir kebudayaan.

Ia terlibat dalam pergerakan Persatuan Ahli Gambar Indonesia atau Persagi—kelompok yang didirikan S. Sudjojono untuk melawan kecenderungan Mooi Indie—sampai menjadi salah satu motor Lembaga Kebudayaan Rakyat. Selain menggeluti dunia seni rupa, Basuki tak asing dengan seni pertunjukan. Pada 1940-an, ia mendapat pengalaman menjadi penata dekorasi kelompok tonil seperti Orpheus dan Fifi Young Pagoda. Pada zaman Jepang, ia memilih bergabung dengan Cahaya Timur, kelompok tonil yang didirikan pasangan Ratna dan Andjar Asmara, daripada bekerja di Keimin Bunka Shidoso.

Seni rupa adalah darah Basuki. Keterampilan menata dekorasi tonil membawanya masuk ke dunia film. Ia bisa disebut sebagai salah satu pelopor dunia set artistik perfilman Indonesia. Dia terlibat dalam penggarapan set film sineas Usmar Ismail seperti The Long March (Darah dan Doa, Enam Jam di Jogja, dan Dosa Tak Berampun.  Ia pun menggagas film Tamu Agung yang diadaptasi dari naskah drama The Government Inspector karya Nikolai Gogol. Film Usmar tersebut menang sebagai film komedi terbaik Festival Film Asia 1956 di Hong Kong. “Basuki Resobowo berperan penting dalam membentuk fondasi karya Usmar Ismail. Mereka adalah semacam new wave dalam dunia film saat itu,” kata sineas Riri Reza.

Foto Basuki Resobowo (bawah) dan aktivis saat aksi unjuk rasa di depan kantor Garuda di Amsterdam, dimuat di harian Trouw pada 25 Juni, 1996. Arsip koleksi Aboeprijadi Santoso

Selain terlibat dalam film Usmar Ismail, Basuki menjadi penata artistik film Terimalah Laguku yang disutradarai Djadoeg Djajakusuma pada 1952. Film ini mengadaptasi cerita pendek Tiga Kawan dan Sebuah Lagu karya Asrul Sani. Tatkala Festival Film Indonesia pertama kali diadakan pada 1955, Basuki menjadi salah satu anggota dewan juri. Basuki membidani lahirnya Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) dan dialah pembuat logo Perfini yang bergambar banteng ketaton.

Basuki dikenal banyak bergaul dengan sastrawan. Ia membuat sampul muka buku Habis Gelap Terbitlah Terang karya RA Kartini yang diterjemahkan Armjn Pane. Basuki adalah sahabat bohemian Chairil Anwar. Chairil bahkan sampai membuat sajak yang khusus dipersembahkan kepada Basuki. Sajak itu dibuat Chairil saat Basuki berani memamerkan lukisan telanjang, sesuatu yang pertama kali dilakukan pelukis Indonesia. Lukisan itu dibuat Basuki saat tinggal di Yogyakarta. Yang menjadi model lukisan adalah seorang bakul di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, bernama Irah.

“Perempuan ini kerap mampir di sanggar SIM (Seniman Indonesia Muda) di Yogya di Alun-alun Lor,” ujar Umi Lestari. Dalam sebuah tulisannya, Basuki mengaku takjub saat mengamati kulit Irah yang penuh rintihan hidup, termasuk buah dadanya yang lelah menggantung. Saat dipamerkan di Madiun, Jawa Timur, pada 1947, lukisan itu sempat diambil, diturunkan selama dua hari oleh mereka yang tak suka. Tapi hal itu tak membuat Basuki jera. Ia memamerkan kembali lukisan itu saat tinggal di Jakarta. Basuki menulis, pameran di Jakarta itu membuat Chairil terpana. Apalagi saat ia mengisahkan tubuh Irah yang penuh beban hidup kepada Chairil. Chairil, dalam sajaknya untuk Basuki, lalu kita ketahui berbicara tentang “Sorga”: Lagi siapa bisa mengatakan pasti, di situ memang ada bidadari….

Lukisan Gadis (1947) karya Basuki Resobowo di Pameran Hasil Lokakarya Kurasi Kurator Muda 2021: B. Resobowo di Galeri Nasional, Jakarta. TEMPO/M Taufan Rengganis

Umi membuat lini masa riwayat hidup Basuki yang ditempel pada dinding ruang pameran. Informasi yang disampaikan Umi sangat detail. Tak ada titik penting perjalanan hidup Basuki yang tertinggal. Dari lahir di Palembang pada 1916; menumpang tinggal di kompleks bintang film Tangkiwood di Jakarta, di rumah pasangan legendaris Roekiah dan Kartolo yang membuatnya sadar akan dunia seni; terlibat dalam Seniman Indonesia Muda; membentuk Seniman Merdeka Gelanggang bersama Chairil Anwar; hadir dalam Konferensi Asia-Afrika dan bertemu dengan novelis Amerika Serikat, Richard Wright; menyelenggarakan Kongres Lekra 1959, berpameran dalam perayaan kemerdekaan RI keenam di Gedung Pertemuan Jakarta; sampai dia eksil di Cina pada 1965-1972 dan di sana menerbitkan majalah berjudul Njala.    

Yang juga menarik dalam pameran ini, Umi menyuguhkan cuplikan film-film Usmar Ismail serta Djadoeg Djajakusuma dan di situ mengulas bagaimana Basuki mendesain set artistik dengan perhitungan chiaroscuro (gelap-terang) yang mumpuni. Berbagai kliping tulisan Basuki juga disajikan. Dari situ kita dapat membaca perkembangan pemikiran Basuki terhadap seni rupa.

Dalam tulisannya di Majalah Indonesia pada 1949 berjudul Mempelajari Klasik Indonesia yang mengulas gambar-gambar Oesman Effendi yang bertolak dari relief-relief Candi Borobudur, misalnya, Basuki tampak masih mendorong munculnya kerja-kerja seni rupa bertolak dari warisan-warisan kuno Nusantara.

Ia menulis demikian: “Gambaran-gambaran yang dibuat oleh Saudara Oesman Effendi adalah hasil dari usaha studinya ke arah klasik Indonesia. Motif dari gambaran-gambarannya diambil dari relief-relief Candi Borobudur. Dan dia tidak mengkopi (meniru) begitu saja. Motif-motif tersebut diambilnya setelah dia menyelami relief-relief itu…. Mudah-mudahan dengan jalan classicism ini saudara Oesman Effendi dapat membentuk seni lukis zaman klasik yang baru.”

Tapi, bila kemudian kita simak surat-menyurat antara Basuki dan Oesman pada 1951, terlihat sikap Basuki berubah. Ia menulis: “Saudara Oesman, bagi saya keindonesiaan itu tidak usah ditujukan atau didasarkan kepada yang lama (tinggalan-tinggalan semacam arca, golek, wayang beber, dan lain-lain…. Bentuk seni lukis Indonesia sekarang diwujudkan oleh suasana aliran-aliran pikiran dan masalah-masalah sosial yang berkumandang ke seluruh dunia pada masa ini dan hasil seni adalah pernyataan sikap hidup pada masanya.

Poster Marsinah karya Basuki Resobowo di Galeri Nasional, Jakarta. Repro. TEMPO/M Taufan Rengganis

Puncaknya adalah pada artikel “Membina Seni Rupa Indonesia Baru” yang dimuat dalam harian Bintang Timur edisi Sabtu, 10 Juni 1961. Di sini kita bisa membaca sikap Basuki yang memihak kepada seni progresif: “Jelas pada waktu ini dua tugas yang dihadapi oleh seni rupa Indonesia. Pertama menyingkirkan kebudayaan imperialis dan menyingkirkan kebudayaan feudal. Kedua: membangun kebudayaan nasional yang kerakyatan yang demokratis dan maju. Apa saja yang kita kerjakan harus tetap berpegang pada garis mukadimah Lekra. Yakni seni untuk rakyat….” 

Hanya satu lukisan Basuki yang disajikan dalam pameran, yaitu Gadis (1947). Lukisan cat minyak ini koleksi Galeri Nasional. Dalam catatan Umi, lukisan itu pernah dipamerkan di São Paulo Art Biennial 1953, Brasil. Yang menarik, dalam katalog Umi memberikan informasi tentang lokasi koleksi lukisan lain Basuki selain Galeri Nasional, dari Dewan Kesenian Jakarta sampai Museum Oei Hong Djien. Lukisan Monumen, misalnya, dimiliki kolektor E.Z. Halim.

Kepada Tempo, Halim bercerita, ia mendapatkan lukisan itu dari keluarga (almarhum) Oey Hay Djoen, penerjemah dan anggota Sekretariat Pusat Lekra yang pernah diasingkan di Pulau Buru, Maluku. “Lukisan itu courtesy dari keluarga Oey untuk museum saya. Tapi saya tetap membayar sebagai ‘tanda terima kasih’,” tutur Halim.

Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 78 x 98 sentimeter itu dibuat Basuki pada 1996 di Amsterdam. “Yang menarik, kalau Anda perhatikan, di dekat gambar lilin di lukisan itu ada gambar secarik kertas bertulis. Tulisan itu sesungguhnya puisi karya Rivai Apin yang ditampilkan Basuki dalam lukisan,” Halim menambahkan.

•••

SELAMA menetap di Amsterdam, Basuki pernah tinggal (berpindah) di dua alamat. Semuanya terletak di kawasan Amsterdam Timur. Yang pertama di daerah bersahaja Indische Buurt (kawasan Hindia Belanda). Di kawasan ini banyak nama jalan diambil dari nama tempat di Indonesia. Yang kedua di Riouwstraat (Jalan Riau).

Di Belanda, Basuki tak pernah diam. Ia selalu memantau isu hak asasi manusia. Ia menjadi editor majalah Demi Demokrasi dan bergabung dengan banyak grup, seperti Front Demokrasi Indonesia. Ia aktif berpartisipasi di Komitee Indonesië, kelompok aktivis di Belanda yang peduli terhadap pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk di Timor dan Papua. Basuki dan rekan-rekannya di Komitee Indonesië kerap berkumpul, berkantor di Jalan Minahasa.

Bersama Komitee Indonesië, Basuki kerap melakukan aksi. Pada 5 Juni 1982, misalnya, di kompleks Universiteit van Amsterdam, mereka menggelar aksi “Handel in Onderdrukking” (perdagangan penindasan) menentang jual-beli senjata antara Belanda dan Indonesia. Basuki membuat poster, lukisan, dan sketsa untuk aksi. Dia bahkan membuat dua wayang kulit raksasa yang dijadikan latar panggung acara. Di atas panggung berlatar wayang raksasa tersebut, pemusik muda Belanda keturunan Maluku tampil mengakhiri aksi.

Mural karya Basuki Resobowo di Jalan Lombok, Amsterdam, Belanda, di Pameran Hasil Lokakarya Kurasi Kurator Muda 2021: B. Resobowo di Galeri Nasional, Jakarta. Repro. TEMPO/M Taufan Rengganis

“Cukup lama saya simpan wayang-wayang Om Bas di gudang rumah saya. Wayang-wayang itu masih sering kami pakai ulang untuk acara-acara lain,” ucap Fridus Steijlen, guru besar ilmu sosial dan antropologi Vrije Universiteit Amsterdam yang aktif di Komitee Indonesië antara 1970-an dan 1980-an. Steijlen mengenang, Basuki adalah sosok yang hangat, serius, dan penuh komitmen. Seni begitu lekat dengan kehidupan Basuki di Amsterdam. Hunian sempit Basuki selalu penuh kanvas dan cat.

“Kami sering melukis bersama di rumahnya,” kata Mutia Samoen, 66 tahun, yang juga aktif di Komitee Indonesië. “Siapa yang masuk rumahnya pasti disambut sengatan bau terpentin,” ujar Reza Muharam, 57 tahun, aktivis Komitee Indonesië yang bertahun-tahun akrab dengan Basuki. Sering Basuki begitu asyik melukis hingga hampir lupa makan. “Kadang dalam sehari dia hanya makan dua butir telur rebus,” Reza melanjutkan. Tapi bukan berarti Basuki tidak punya makanan kesayangan, seperti udang goreng di pasar Dappermarkt dekat rumahnya. “Kalau itu, dia bisa habis sampai tiga porsi,” ucap Reza.

Sahabat-sahabat Basuki ingat, humor dan tawa juga bagian dari Basuki. “Apalagi kalau sudah minum,” Reza mengenang. Basuki memang tidak pernah melepas gaya hidup bohemian—dia memakai istilah “menggelandang”—yang ia jalani sejak masa mudanya. “Dia sering cerita bagaimana dulu kerjanya sering nongkrong bersama Chairil Anwar di tempat pekerja seks di bilangan Senen,” kata Reza. Basuki, yang terpisah dari keluarganya sejak menjadi eksil, menurut Reza, punya cukup banyak teman, baik laki-laki maupun perempuan. Tapi, setahu Reza, persahabatan yang ia jalin dengan teman lawan jenis tidak pernah berkembang lebih jauh. “Perkawanan biasa saja.”

Gambar yang dijadikan mural di Belanda karya Basuki Resobowo di Pameran Hasil Lokakarya Kurasi Kurator Muda 2021: B. Resobowo di Galeri Nasional, Jakarta. Repro. TEMPO/M Taufan Rengganis

Adapun bagi Steijlen, Basuki saat itu tak ubahnya sosok “paman” untuk banyak aktivis muda seperti dirinya. “Dia bahkan mendesain kartu kelahiran anak saya,” tutur Steijlen, 65 tahun, yang juga tenaga ahli di pusat studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV) di Leiden.

Di lingkungan aktivis HAM Indonesia di Amsterdam, kegiatan Basuki tidak hanya terbatas di bidang seni rupa, tapi juga mencakup teater. Ia juga masih terus menulis. Di Amsterdam, Basuki menghasilkan sejumlah buku, seperti Riwayat Hidupku dan Bercermin di Muka Kaca, serta novel grafis Karmiatun. “Dia selalu aktif berdiskusi dan kerap menjadi pembicara kalau ada acara,” kata Aboeprijadi Santoso, 74 tahun, pensiunan wartawan Radio Nederland.

Menurut Aboeprijadi, tidak seperti kebanyakan kaum eksil yang memilih bungkam tentang sejarah politik mereka, Basuki kukuh berpegang pada ideologi kiri dan terbuka mengenai masa lalunya sebagai anggota Partai Komunis Indonesia.

“Tapi Basuki tidak pernah memaksakan ideologinya kepada orang lain,” ujar Steijlen. Namun ketegaran prinsip Basuki, bahwa ia tetaplah orang yang pernah menjadi anggota Lekra dan PKI, menurut Steijlen, menimbulkan konsekuensi. “Dia dikucilkan oleh sesama eksil yang waktu itu sangat terganggu oleh aktivitas Pak Bas yang mereka anggap terlalu sering dan high,” tutur Reza.

Sampai usia lanjut, Basuki masih ikut serta dalam berbagai aksi, seperti mogok makan berhari-hari untuk memprotes hukuman mati beberapa mantan anggota PKI pada 1992. Selaku kurator pameran, Umi Lestari menjelaskan, saat itu Basuki menggelar aksi mogok makan bersama anak muda untuk menentang ancaman eksekusi terhadap tokoh PKI, Ruslan Wijayasastra.

Basuki sempat menggelar pameran lukisan di Belanda. Ia menyuguhkan 35 karyanya dalam pameran tunggal, termasuk lukisan potret penyair W.S. Rendra. Umi menyebutkan lukisan itu adalah bentuk pernyataan Basuki terhadap sosok Rendra yang ia anggap punya semangat, tak seperti aktivis lain.

Bahkan, saat mengikuti kasus pembunuhan Marsinah (1993), Basuki sempat membuat poster buruh perempuan itu. Dalam pameran di Galeri Nasional, poster Marsinah itu dipasang oleh Umi. “Walau hidup dengan kejadian traumatis, Basuki tetap rajin membikin poster-poster kritis, baik ke pemerintah Belanda maupun ke pemerintah Indonesia, seperti kasus terbunuhnya Marsinah,” ujar Umi.

•••

IRWAN Firdaus mengenang, saat Basuki Resobowo bertandang ke rumah kontrakan para aktivis di Cipinang dan bertemu dengan Joebaar Ajoeb pada 1996, kondisinya sudah tampak rapuh. “Memang saat bertemu itu dia sudah tampak sangat renta,” kata Irwan. Menurut Aboeprijadi Santoso, pada usia senja, ketika kondisi kesehatannya menurun, Basuki berkeinginan menengok Indonesia. Kesempatan itu datang tatkala rezim Orde Baru meredup.

Pada 1996, Basuki akhirnya berhasil mewujudkan mimpinya. “Dia menjual banyak lukisannya untuk mengongkosi perjalanannya ke Indonesia,” ucap Aboeprijadi. “Dia menjualnya kepada seseorang atau beberapa pihak di Hamburg (Jerman), tapi tidak jelas persisnya siapa.”

Pengunjung di Pameran Hasil Lokakarya Kurasi Kurator Muda 2021: B. Resobowo di Galeri Nasional, Jakarta, 3 November 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Menurut Aboeprijadi, Basuki, pada 80 tahun usianya, sesungguhnya ingin agak lama tinggal di Indonesia. Sayangnya, realitas di Indonesia tidak seperti yang ia impikan. “Dia bertolak ke Indonesia dengan penuh harapan, tapi ternyata di Indonesia ia hanya bertahan sebulan, sesudah itu kembali ke Belanda dengan kecewa,” kata Reza Muharam. “Padahal semula Basuki berencana tinggal jauh lebih lama di Indonesia,” ujar Mutia Samoen. Reza menduga penyebabnya adalah anaknya di Indonesia tidak mau menerima. “Memang kabarnya mereka putus hubungan,” tutur Reza.

Basuki menjalani dua tahun terakhir kehidupannya di Amsterdam di Amstelhof, pusat Kota Amsterdam. Rumah jompo tempat bermukim terakhir Basuki ini kini sudah tak ada karena oleh pemerintah Amsterdam dirombak menjadi Museum Hermitage, yang merupakan cabang dari Museum Hermitage di St. Petersburg, Rusia. Di rumah itulah Basuki meninggal pada 4 Januari 1999.

Jenazah Basuki tidak dimakamkan, melainkan dikremasi. “Ratusan orang, tua dan muda, datang ke kremasi Basuki,” begitu bunyi tulisan obituari berjudul “Basuki Resobowo, a man against the stream” yang ditulis di buletin aktivis Tapol Nomor 152, Mei 1999.

Banyak sesama eksil 1965 dari negara Eropa lain, seperti Jerman, Swedia, dan Prancis, datang berkabung, mengucapkan salam perpisahan terakhir kepada Basuki di kompleks Westgaarde di barat Amsterdam. “Setelah kehilangan begitu banyak, yang masih dia coba pertahankan adalah komitmennya untuk tetap berjuang sampai akhir,” ujar Reza.

Menurut Reza, diam-diam anak Basuki Resobowo pun datang ke rumah kremasi tersebut. “Kalau tidak salah dia datang secara anonim ke Westgaarde.”

SENO JOKO SUYONO, LINAWATI SIDARTO (AMSTERDAM)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus