Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Basuki Resobowo adalah sineas multitalenta.
Dikenal sebagai pembuat set yang estetik dan menyerupai lukisan.
Pernah menjadi aktor dan juri FFI pertama.
DINDING kamar yang menjadi bagian sebuah rumah itu tertutup lembaran koran bekas yang warnanya sudah menguning. Di ruangan itu ada kursi, juga dipan rotan, dan lampu teplok. Dinding bertutup kertas koran itu menjadikan ruangan cukup artistik. Set demikian itu dibuat untuk pengambilan gambar film Terimalah Laguku karya sutradara Djadoeg Djajakusuma yang diproduksi Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) pada 1953.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai penata artistik Basuki Resobowo yang mencetuskan ide membalut dinding ruangan dengan lembaran koran. Walau tampak eksentrik, gagasan Basuki kuat karena berangkat dari keinginan menghadirkan intelektualitas dan kemiskinan sebuah keluarga yang diperlukan film. Basuki menganggap tembok koran dapat merepresentasikan dua nilai tersebut pada saat bersamaan. “Secara visual, set yang dibikin Basuki Resobowo sangat matang karena memperkuat karakter utama Terimalah Laguku yang intelek dan miskin,” kata kurator Umi Lestari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terimalah Laguku adalah film kedua Djadoeg Djajakusuma. Naskah film pertamanya, Embun, juga dipersiapkan bersama Basuki dan Gajus Siagian. Terimalah Laguku berkisah tentang tiga musikus di masa revolusi. Djadoeg mengambil aktor dari para pemusik Radio Republik Indonesia. Tokoh utama film ini adalah Sobari, seorang musikus miskin. Ia memiliki sahabat bernama Iskandar, pemain klarinet, dan gitaris bernama Ben. Sobari menjual alat musik kesayangannya agar Iskandar bisa membeli klarinet. Iskandar kemudian menjadi pemain klarinet tangguh yang sukses dan kaya, tapi ia tidak tahu bahwa semuanya itu berasal dari kedermawanan Sobari.
Namun film ini pada akhirnya dilarang beredar. Badan Sensor Film menganggap film ini tak sesuai dengan semangat Sukarno. Film itu memuat adegan yang dianggap tak elok—suami menjewer istri. Nasibnya serupa dengan Embun yang dibuat Djadoeg pada 1951.
Embun tak bisa beredar karena ada bagian film yang dianggap sebagai wujud tradisi animisme lantaran memuat adegan sebuah ritual di kampung memanggil hujan. “Film Embun itu juga tak bisa beredar luas,” ujar Umi.
Film itu bercerita tentang seorang bekas pejuang revolusi bernama Leman (dimainkan A.N. Alcaff) yang merampok serta menembak secara tak sengaja seorang rekan pejuang dan bersembunyi untuk beberapa lama. Setelah merasa aman, ia kembali di kampungnya mencari kedamaian. Di kampung, ia melihat sahabatnya, Bardjo, yang mengajaknya merampok, tengah berdigdaya membuat tempat perjudian dan mempekerjakan kakak perempuan Leman sebagai pelacur.
Basuki Resobowo melukis Minarsih, dalam adegam film Kedok Ketawa, 1940. Wikimedia
Sebanyak 90 persen gambar adegan film ini diambil secara outdoor di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sisanya, pengambilan gambar dilakukan di studio Perfini. Untuk itu, penata artistik Soemardjono harus bekerja keras menyambung suasana adegan outdoor dan indoor. Namun, menurut Umi, hal demikian telah dilakukan oleh Basuki saat ia menjadi penata artistik The Long March (Darah dan Doa).
Untuk menyamakan latar adegan, Basuki melukis lanskap yang sama di studio dengan lanskap outdoor. Pada film itu sendiri, ada adegan para tentara sedang menggoda pekerja seks. Umi berpendapat, hal ini berasal dari pengalaman Basuki dan kawannya, penyair Chairil Anwar, yang sering dolan ke tempat pelacuran di Senen, Jakarta Pusat.
Basuki terlibat dalam perfilman sejak Perfini memproduksi film pertamanya, The Long March (Darah dan Doa) karya Usmar Ismail. Umi menerangkan, penggarapan film itu menarik karena konon Usmar belum punya kamera yang bisa digunakan untuk mengambil gambar di dalam studio. Kamera miliknya punya fungsi terbatas yang bahkan tak bisa dipakai untuk merekam suara. Walhasil, tim produksi mesti putar otak. “Mereka memikirkan cara membuat film yang bagus dengan alat sederhana,” ucapnya.
Akhirnya Perfini menyewa studio Perusahaan Film Negara dan membuat set yang ciamik untuk mengakali kondisi yang serba terbatas. Di situlah Basuki menumpahkan kemampuannya sebagai perupa. “Seperti saya katakan tadi, latar yang terlihat itu dilukis manual. Mungkin itu dibuat Basuki,” kata Umi.
Enam Jam di Jogja (1950), yang mengisahkan Serangan Umum 1 Maret 1949, menjadi film kedua Perfini yang juga melibatkan Basuki. Salah satu adegannya menggambarkan situasi menjelang gerilya di sebuah markas tentara. Termasuk bagaimana para gerilyawan bertukar informasi dengan telegram atau mengantar selebaran menggunakan sepeda. Ada juga adegan membikin poster anti-Belanda dengan ilustrasi mahkota kerjaan yang disilang. Umi menduga muatan film ini berasal dari pengalaman Basuki sendiri saat menggambar poster-poster revolusi dan ikut menyebarkannya.
Basuki terus mengeksplorasi insting artistiknya dalam film Perfini selanjutnya. Saat menggarap film noir Dosa Tak Berampun, Umi melanjutkan, Basuki menggunakan teknik pencahayaan chiaroscuro. Chiaroscuro berasal dari bahasa Italia, chiaro dan oscuro, yang berarti terang dan gelap. Chiaroscuro mengacu pada teknik lukis yang sering dipakai pelukis klasik Italia, Caravaggio, yang mengeksplorasi kontras cahaya dengan bayangan gelap.
Teknik itu, menurut Umi, dipakai Basuki untuk mendramatisasi cerita. Film ini pun memperkuat bukti kecocokan Basuki dengan Usmar Ismail, karena mereka sama-sama punya bekal pengalaman di seni panggung. Basuki juga disebut Umi dapat mewujudkan ide-ide Usmar, yang saat kembali dari kuliah sinematografi di Amerika Serikat masih amatir.
Umi menduga kemampuan Basuki dalam produksi film mendapat pengaruh dari pengalamannya tinggal di kediaman pasangan suami-istri seniman, Roekiah dan Kartolo, di Tangkiwood—sebutan untuk kawasan Tangki di Jakarta yang dulu dihuni banyak seniman. Basuki juga tercatat pernah ikut dalam rombongan kelompok sandiwara Cahaya Timur yang dikelola Ratna dan Andjar Asmara. Ditambah pengalaman Basuki sebagai pelukis, Usmar Ismail menjadi segan kepadanya.
Dalam pembuatan film Kafedo (1953), misalnya. Menurut Umi, Usmar menghormati keputusan Basuki yang tak hanya menyiapkan set pengambilan gambar, tapi juga ikut meriset tempatnya. Bersama Djadoeg, Basuki menyusuri titik-titik di Jakarta yang sekiranya bisa “disulap” menjadi Mentawai, latar kisah film. Dari penelusuran itu, Djadoeg dan Basuki menemukan suatu tempat yang tepat di Marunda. “Mereka berhasil mendapatkan tempat yang mirip,” tutur Umi.
Peran Basuki dalam perfilman tak hanya ada di koridor tata artistik dan ide cerita. Ia juga tercatat pernah menjadi aktor, seperti saat memerankan seorang pelukis yang jatuh cinta kepada model sendiri dalam film rilisan 1940, Kedok Ketawa.
Dalam film itu Basuki Resobowo bahkan membikin pose melukis yang ikonik. Pose itu kemudian sering ditirukan oleh perupa lain pada zamannya, saat difoto tengah melukis. Kematangan sebagai penata artistik sinema menjadikan Basuki salah satu juri dalam Festival Film Indonesia pertama yang digelar pada 1955, juga Festival Film Asia Afrika III di Bandung.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo